Minggu, 20 November 2011

“Quo Vadiz” Revolusi di Suriah?

“Quo Vadiz” Revolusi di Suriah?  

Zuhairi Misrawi, ANALIS POLITIK DAN PEMIKIRAN TIMUR TENGAH
Sumber : KOMPAS, 21 November 2011


Jika revolusi di Libya memerlukan waktu enam bulan untuk menjatuhkan rezim Khadafy, revolusi di Suriah memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah memasuki bulan kesembilan, belum ada tanda-tanda kejatuhan rezim Bashar al-Assad.

Sebaliknya, justru rezim yang berkuasa makin brutal dalam menghadapi para demonstran. PBB merilis jumlah demonstran yang tewas di Suriah selama berlangsungnya revolusi lebih dari 3.500 orang. Bahkan, menurut data aktivis HAM di Suriah, jumlah korban yang tewas mencapai 5.000 orang. Kematian Mashaal Tamoo, oposisi asal suku Kurdi, semakin meningkatkan perlawanan untuk menjatuhkan rezim Bashar al-Assad.

Jatuhnya korban dalam jumlah besar tersebut terkait respons dunia internasional yang lamban dalam menyikapi Bashar al-Assad. Negara-negara Arab juga terlihat sangat hati-hati bersikap karena Suriah didukung kekuatan lainnya di Timur Tengah, seperti Hizbullah (Lebanon), Hamas (Palestina), faksi Syiah (Irak), dan Iran. Di samping itu, veto Rusia dan China di PBB semakin menghambat arah revolusi.

Pasca-jatuhnya rezim Khadafy di Libya, tensi revolusi di Suriah mengalami eskalasi yang semakin masif. Menurut kalangan oposisi, jika rezim totaliter sekuat Khadafy bisa dijatuhkan, tidak ada alasan untuk tidak melengserkan Bashar al-Assad yang kekuatannya jauh di bawah Khadafy. Hanya saja, belajar dari Tunisia, Mesir, dan Libya, revolusi membutuhkan gerakan yang terorganisasi. Revolusi bukan wahyu yang tiba-tiba turun dari langit.

Dua Alasan

Menurut Salwa Ismail (2011), ada dua faktor yang menjadi alasan kenapa rezim Bashar al-Assad harus dilengserkan. Pertama, faktor obyektif. Ketidakpercayaan publik terhadap rezim Bashar al-Assad meluas di sejumlah kota, antara lain Homs, Hama, Latakia, Aleppo, dan beberapa wilayah di Damaskus. Demonstrasi melibatkan sejumlah kelompok masyarakat, dokter, pengacara, dan kalangan profesional lainnya. Mereka yang semula mendorong agar dilakukan reformasi politik berubah menuntut Bashar al-Assad mundur dari jabatannya.

Sikap tersebut diambil karena rezim yang berkuasa dalam empat dekade terakhir itu tidak punya iktikad serius melakukan reformasi politik. Alih-alih melakukan reformasi, justru menangkap, memenjarakan, bahkan membunuh para demonstran yang jumlahnya sudah mencapai ribuan akibat aksi brutal militer.

Kedua, faktor subyektif. Kepercayaan negara-negara Arab dan Barat terhadap rezim Bashar al-Assad kian defisit. Turki yang semula masih memberikan ruang negosiasi dengan Suriah, belakangan mendukung tuntutan rakyat Suriah untuk tegaknya demokrasi. Di samping itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah menegaskan sikapnya bersama tuntutan rakyat Suriah untuk mengakhiri rezim Bashar al-Assad. Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Mesir, dan Kuwait juga secara eksplisit meminta agar Bashar al-Assad menghentikan sejumlah tindakan biadab terhadap kalangan oposisi.

Kedua faktor tersebut merupakan modal sangat penting bagi kalangan oposisi untuk melengserkan rezim Bashar al-Assad. Menyusul protes keras Uni Eropa atas pelanggaran HAM berat, Uni Eropa juga sudah lama melakukan embargo minyak. Langkah tersebut akan mengakibatkan krisis ekonomi bagi Suriah mengingat minyak sebagai sumber pendapatan ekonomi yang sangat determinan. Embargo minyak akan memberikan pukulan telak bagi rezim yang berkuasa karena dapat menyebabkan krisis ekonomi yang serius di Suriah.

Meskipun demikian, perjalanan revolusi di Suriah masih panjang. Sejauh ini, para loyalis Bashar al-Assad yang berada di pemerintahan dan militer masih di pihaknya. Para diplomat juga masih loyal kepada Bashar al-Assad. Kondisi ini berbeda jauh dengan Libya yang ditandai pengunduran secara besar-besaran dari lingkaran dalam Khadafy, tak terkecuali para diplomat yang bertugas di negara-negara Barat.

Keberhasilan Bashar al-Assad menjaga soliditas kekuasaannya tidak lain karena ia berhasil membangun kekuasaan politik dan militer dari sekte Alawi, yaitu salah satu sekte dalam Syiah yang berada di Suriah. Sejak Hafedz al-Assad memimpin Suriah pada tahun 1974, kekuasaan dikontrol oleh Partai Baaths yang dikuasai sepenuhnya oleh sekte Alawi, yang jumlahnya sekitar 12 persen dari jumlah penduduk Suriah.

Sejak berada di tampuk kekuasaan pada 2000, Bashar al-Assad melanjutkan kekuasaan ala pendahulunya, yaitu memberlakukan kekuasaan dalam darurat militer. Tidak boleh ada kekuatan oposisi yang dapat menggoyang kekuasaannya. Pada 1982, Ikhwanul Muslimin melakukan demonstrasi besar-besaran di Hama, tetapi diredam dengan aksi militer yang menyebabkan jatuhnya korban hingga 10.000 orang tewas. Sejak saat itu, hampir tidak ada perlawanan politik terhadap rezim Bashar al-Assad.

Gejolak revolusi yang merambah Hama, Idlib, Homs, Latakia, Aleppo, Douma, dan sebagian wilayah di Damaskus dalam enam bulan terakhir mempunyai kelebihan dibanding aksi massa yang terjadi pada 1982. Ketidakpercayaan terhadap rezim Bashar al-Assad lebih bersifat masif karena rakyat Suriah merasakan tak mempunyai masa depan yang cerah dalam bidang politik dan ekonomi. Korupsi, kolusi, nepotisme, dan kekerasan militer merupakan realitas sosial-politik yang menghantui rakyat Suriah. Mereka tak punya alternatif selain menjatuhkan rezim Assad.

Makin Limbung

Tentu, yang menjadi inspirasi dalam revolusi di Suriah adalah revolusi di Tunisia, Mesir, dan Libya. Rakyat Suriah sedang menyongsong lahirnya zaman baru demokratisasi, yang meniscayakan kedaulatan rakyat dan penegakan hukum di atas segala- galanya. Mereka sudah tidak mau lagi hidup di bawah rezim yang totaliter dan militeristik. Rakyat Suriah memandang, negara-negara tetangganya sudah merayakan kemerdekaan politik, maka saatnya mereka juga merayakan pesta demokrasi, yang memberlakukan politik dari bawah ke atas (bottom up), bukan dari atas ke bawah (top down).

Rezim Bashar al-Assad, cepat atau lambat, akan mengalami delegitimasi dari dalam, termasuk dari para loyalisnya. Liga Arab sudah membekukan keanggotaan Suriah. Beberapa pihak dari sekte Alawi yang selama ini menyokong rezim Assad sudah mulai berpihak kepada oposisi.

Jaksa Agung Suriah Adnan Bakkour sudah mengundurkan diri dari pemerintahan Assad, sebagai simpati terhadap ribuan korban yang tewas akibat aksi brutal militer. Kalangan oposisi sudah membentuk Dewan Nasional yang dipimpin oleh seorang pemikir Muslim, Burhan Ghalyoun.

Posisi Bashar al-Assad kini semakin limbung. Satu-satunya pihak yang masih loyal adalah militer. Dalam situasi seperti sekarang, militer Suriah mesti belajar dari revolusi Tunisia, Mesir, dan Libya. Dalam ideologi militer, kepentingan negara-bangsa harus diutamakan daripada kepentingan rezim yang berkuasa. Jika tidak, korban akan berjatuhan dalam jumlah yang lebih besar dan revolusi akan berumur panjang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar