Kamis, 24 November 2011

Guru Politik!


Guru Politik!

M. Fauzi Sukri, PENULIS, BERGIAT DI BALE SASTRA KECAPI SOLO
Sumber : KORAN TEMPO, 25 November 2011



Di Indonesia, partai dan tokoh politik pernah mengangankan tak menjadi mesin pengeruk kekuasaan, tapi lebih sebagai organisasi pendidikan politik dan guru politik.
Saat itu, pada 1932, Mohammad Hatta menulis dengan sedikit geram,“ Pendidikan! Bukan atau belum lagi partai. Bukan karena chilaf atau tjuriga diambil nama ‘Pendidikan’, melainkan dengan sengadja.”

Saat itu banyak yang mempertanyakan nama Pendidikan Nasional Indonesia, kenapa tidak menggunakan kata “partai”.Tulisan pendek berjudul “Pendidikan” itu semacam respons pendek Hatta tapi menentukan, penting, dan mendesak.“Baik, kita tidak akan berketjil hati atau marah. Memang kita mau ‘bersekolah’ dahulu, bersekolah membentuk budi dan pekerti, bersekolah dalam memperkuat iman.Ternjata dalam riwayat jang berlalu, bahwa budi, pekerti dan iman itu jang paling perlu bagi pergerakan kita,”jawab Hatta dalam Daulat Rakyat Nomor 37, tanggal 20 September 1932.

Hatta harus menulis kata “pendidikan”dengan tanda seru karena ada kesan bahwa Pendidikan Nasional Indonesia, terkait dengan pembubaran Partai Nasional Indonesia
oleh pengurusnya sendiri, akan bergerak dalam dunia pendidikan, bukan politik. Hatta sadar, tampaknya ada yang hilang saat itu dari roh pergerakan kemerdekaan: pendidikan (politik). Hatta benar bahwa pada akhirnya, dalam alam demokrasi, pendidikan politik menjadi sesuatu yang penting, tapi selalu saja (sengaja!) diabaikan, terutama oleh para pemimpinnya sendiri.

“Sebab itu Pendidikan Nasional Indonesia mendidik rakjat, supaja insaf akan kedaulatan dirinja dan paham kepada makna dan maksud dasar kedaulatan rakjat. Djalan jang diturut bukan memaksa atau menipu, melainkan mejakinkan rakjat. Sebab itu Pendidikan Nasional Indonesia bersifat pendidikan, sekalipun ia akan menjadi partai dan susunannya bersifat seperti partai,”kata Hatta (1953: 80).

Kata-kata Hatta itu mungkin saat ini semacam lelucon bagi para politikus. Kita lebih banyak disodori kehidupan politik hedonistis yang mencederai rasa keadilan sosial, hilangnya etika publik sebagai laku berpolitik, hancurnya akhlak politik sebagai perwakilan rakyat, dan beralihnya karakter kepemimpinan serta gagasan politik pada citra dan simulakra politik yang dijejalkan kepada rakyat.

Guru Politik

Hatta banyak memberikan kursus politik. Dalam tahanan politik di Banda Neira, Hatta mengajari temantemannya politik dan ekonomi, bahkan menyelenggarakan semacam kuliah filsafat untuk mempertajam pikiran serta meningkatkan kecerdasan.Tan Malaka merintis perguruan bagi “rakyat murba”di Semarang. Bagi Tan Malaka, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. Dengan itu, belenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus “hawa nafsu jahat”permainan judi bisa dihilangkan.“Kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan,”kata Tan Malaka.

Yang paling menonjol tentu saja salah satu dari tiga pendiri National Indische Partij, Soewardi Soerjoningrat, yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Dia sadar bahwa sejak banyak tokoh membaca surat-surat Kartini yang menggugah roh pendidikan dan pengajaran, berdirinya Budi Utomo, Sarekat Islam, National Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, dan seterusnya, pendidikan dan pengajaran menjadi roh kesadaran kultural serta kebangkitan politik.

Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan kebangsaan Taman Siswa. Asas pendidikan dan pengajarannya menggunakan Among System. Among System menggarisbawahi dua hal. Pertama, kemerdekaan dan zelfbeschikkingsrecht (hak menentukan nasib sendiri) sebagai syarat menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir-batin menuju hidup yang merdeka. Kedua, kodrat alam, sebagai syarat mencapai kemajuan dan sekaligus penghormatan kepada kodrat manusia.

Maka tugas para pemimpin yang dipancarkan dari Taman Siswa adalah terlibat secara intensif dengan rakyat, menceburkan diri ke dalam hidup dan penghidupan rakyat, serta menggerakkan rakyat ke arah kemajuan bukan sebagai penuntun yang memaksa menarik dari depan, tapi sebagai pendorong yang berdiri di belakang. Dan kita bisa menyebutkan juga nama H O.S. Tjokroaminoto yang menjadi guru politik bagi Alimin, Musso,Sukarno, dan Kartosoerjo, serta Agus Salim, RA Kartini, Dewi Sartika, dan seterusnya.

Riwayat bangsa ini adalah riwayat pendidikan dan pengajaran bagi rakyat. Para perintis bangsa ini sebagian besar guru yang bergerak dalam pendidikan dan pengajaran, bahkan sebelum tokoh politik. Sebagian besar tokoh politik juga bergerak dalam dunia pendidikan, menjadi guru-pendidik, dan memposisikan dirinya sebagai guru-negarawan yang bisa diteladani rakyat. Mereka tetap mempertahankan diri sebagai guru dalam  kehidupan politik bagi diri mereka, lawan politik mereka, dan terutama rakyat mereka.

Guru Chiron

Tapi yang tampak mengemuka dewasa ini adalah politikus yang sudah berhasil berguru kepada Chiron, makhluk setengah hewan dan setengah manusia. Dalam bukunya yang masyhur, Il Principe, pemikir renaisans Niccolo Machiavelli menganjurkan agar para calon penguasa mengingat kisah Achilles dan banyak penguasa zaman kuno yang berguru kepada Chiron. “Arti alegori ini ialah, dengan menjadikan guru itu setengah manusia dan setengah binatang, seorang raja harus mengetahui bagaimana bertindak menurut sifat baik manusia maupun binatang, dan ia tak akan hidup tanpa keduanya,”
tulis Machiavelli (1987: 71-72). Seorang penguasa,“ Harus meniru rubah dan singa, karena singa tidak dapat membela diri sendiri terhadap perangkap, dan rubah tidak dapat membela diri terhadap serigala. Karena itu, orang harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap, dan seperti singa untuk menakuti serigala.”

Dalam bentuknya yang mutakhir, kita menyaksikan bagaimana ritus politik citra dipropagandakan, janji dikumandangkan tapi dikhianati, slogan politik bombastis-
fantastis digemakan tapi nihil substansi, retorika dipertontonkan tapi miskin kekayaan gagasan, serta kekuatan dibangun tapi rakyat ditakut-takuti, dilemahkan, dan diperbodoh. Ada sinisme moralitas, pembangunan mengabaikan kemanusiaan dan peradaban. Machiavellibarangkali benar sepanjang untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan.

Tapi, sejarah membuktikan, kita tak mengenang penguasa selama mereka berkuasa, apalagi jika dengan kekerasan, tapi mengutuknya.“Apakah kenang-kenangan yang kita cantumkan kepada guru-guru kebangunan ini?”tanya Soekarno (1964: 616) dalam esai yang masih ditulis tangan,“Menjadi Guru di Zaman Kebangunan”. Dari masa renaisans Eropa, kita lebih banyak mengenang mereka yang mengukir sejarah dalam dunia keilmuan dan peradaban-kemanusiaan. Begitu juga di belahan dunia lain, termasuk di Indonesia.

Sejarah sudah membuktikan, bangsa atau komunitas yang besar, dihormati, dan disegani adalah mereka yang peduli, membangun, membesarkan, serta menjunjung
tinggi pendidikan dan pengajaran. Dan itu diinspirasi dan dibangun oleh guru (politik) yang bervisi pendidikan. Tapi tampaknya saat ini tidak akan ada lagi tokoh politik yang akan berteriak: “Pendidikan! Bukan dan belum lagi partai!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar