Selasa, 29 November 2011

Koalisi Soekarno-Soeharto versus Sarwo Edhie


Koalisi Soekarno-Soeharto versus Sarwo Edhie

Christianto Wibisono, PENULIS BUKU WAWANCARA IMAJINER DENGAN BUNG KARNO 1977
Sumber : KORAN TEMPO, 30 November 2011



Pada Kamis, 13 Oktober, saya mengikuti seminar bertema “Krisis Keuangan dan Pangan, Peluang atau Ancaman?” Ketua Umum PDIP Megawati dalam pidato pembukaan langsung menyindir Sofjan Wanandi. “Pak Sofjan ini dulu yang demo menjatuhkan bapak saya, Bung Karno. Tapi sekarang ini dia justru curhat sama saya, mengadu, ‘Ini krisis keuangan dan pangan dunia gawat, Bu. Kita harus melakukan sesuatu.’ Maka, FPDIP menggelar seminar ini untuk mencari masukan demi kepentingan nasional. ”Disindir demikian, Sofjan Wanandi tidak kurang lincah.“Bu, dulu itu saya demo tidak anti-Bung Karno, tapi anti-PKI yang memperalat Bung Karno dan komunisme yang mengancam RI.”

Menyaksikan debat berciri “In politics, there are no permanent friends or enemies, only permanent interest”, karena itu saya langsung menimpali: “Wah, kita sedang menyaksikan koalisi Sukarno-Soeharto melawan Sarwo Edhie.”Hadirin tertawa riuh menangkap yang tersirat dari pernyataan saya. Sekarang ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus dibayangi oleh nama besar sang mertua, Sarwo Edhie Wibowo.

Karl D. Jackson, Indonesianis yang pada tahun 1960-an bermukim di Indonesia, membela sikap alon-alon asal kelakon SBY dengan pernyataan di pelbagai pertemuan
bahwa SBY belajar dari riwayat mertuanya, yang disingkirkan oleh rekan pesaing sesama jenderal sekitar Soeharto, karena dianggap terlalu ambisius dan berbahaya bagi posisi lingkaran dalam Soeharto. Sarwo Edhie termasuk yang cepat disingkirkan ke luar Jakarta dalam tempo 10 tahun sejak ia menjadi “gladiator penumpas PKI” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi tersingkir oleh klik istana Alamsyah, Ali Moertopo, dan kawan-kawan.

Meskipun TNI/AD seolah kompak di bawah Panglima Soeharto, eselon I jenderal sekitar Soeharto saling sikat dan sikut. Pada 1978, Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia menuntut agar MPR tidak memilih Soeharto lagi.Koran termasuk Kompas dibredel bersama buku putih mahasiswa ITB dan buku saya, Wawancara Imajiner  dengan Bung Karno. Sebab, dalam wawancara ini Bung Karno memberi nasihat agar
Soeharto meniru George Washington dalam membatasi masa jabatan presiden hanya
dua periode.

Bersama Fahmi Idris dan Abdul Latief, saya berada di Seoul menjajaki kepulangan Sarwo Edhie karena Dharsono telah ditahan oleh Benny Moerdani. Tapi situasi Jakarta tetap terkendali dan Soeharto bahkan akan tetap berkuasa 20 tahun ke depan, sedangkan Sarwo tetap di pinggiran sampai akhir hayatnya sebagai mantan anggota DPR. Sarwo mengundurkan diri dari DPR karena Soeharto tidak memilihnya menjadi Ketua DPR, yang diberikan kepada Kharis Soehoed. Padahal Sarwo sudah meninggalkan posisi Kepala BP7 yang memimpin penataran P4.

Karl D. Jackson memakai teori behavioral politics sebagai pembelaan terhadap sikap SBY yang dinilai kurang tegas. Sebetulnya memang ironis bahwa kritik para oposan SBY sekarang ini membandingkannya dengan Soeharto. Kenapa SBY tidak berani seperti Soeharto. Tentu saja tidak, karena sejak Reformasi, maka sistem presidensial telah disandera oleh sistem parlementer. Karena partai presiden terpilih tidak berhasil menjadi mayoritas, maka partai berkuasa harus berkoalisi dengan mitra untuk mempertahankan kursi presiden. Siapa pun tokohnya yang menjadi presiden, jika berada dalam posisi minoritas di parlemen pasti harus melakukan koalisi, kalau tidak ingin dimakzulkan seperti Sukarno, Soeharto, Habibie, dan Gus Dur.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli, Djuanda menjadi Menteri Pertama sampai wafat pada November 1963. Bung Karno menunjuk presidium tiga waperdam untuk mendampingi
memimpin kabinet sampai mereka dijatuhkan oleh Soeharto pada 1966. Sama seperti Syahrir yang mengkup Sukarno dari posisi perdana menteri melalui dominasi parlemen yang waktu itu bernama KNIP, Soeharto melengserkan Bung Karno juga melalui mekanisme Sidang Istimewa MPRS. Setelah itu, dengan manuver intrik politik yang manipulatif dan opresif, Soeharto menjadi presiden otoriter sampai 1998,walaupun pada 1978 pernah mengalami ancaman Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia yang menuntut masa jabatan presiden dibatasi dua kali saja.

Benang merah dari jatuh-bangun atau bangkit lengsernya elite Indonesia penuh dengan intrik Ken Arok. Orang kedua selalu mengancam orang pertama dan menjadi Ken Arok terhadap mentornya. Syahrir mengkup Bung Karno melalui perubahan sistem presidensial ke parlementer dengan alasan Sukarno adalah kolaborator Jepang. Amir Syarifuddin sesama Partai Sosialis menggulingkan Syahrir dengan sentimen garis keras anti-Belanda, Sukiman sesama Masyumi menggantikan Natsir. Wilopo dari PNI dirongrong oleh ancaman kudeta 17 Oktober 1952 yang memensiunkan Simatupang dan A.H. Nasution, KSAP dan KSAD saat itu. Simatupang pensiun, sedangkan Nasution sempat kembali sebagai KSAD karena diangkat kembali oleh PM Burhanudin Harahap 1955, tapi kemudian Nasutionlah yang menahan mantan Perdana Menteri Syahrir, Natsir, termasuk Burhanudin Harahap, yang mengangkatnya sebagai tapol Orla.

Bung Karno mengangkat Soeharto yang muncul karena kematian Yani di tangan G30S, dan memecat Nasution pada reshuffle kabinet yang akan memicu kejatuhan Bung Karno ketika Soeharto memaksakan keluarnya Supersemar. Soeharto akan menerapkan kekejaman mirip Zia ul Haq yang menggantung Presiden Zulfikar Ali Bhutto yang mengangkat Zia sebagai KSAD Pakistan. Soeharto sendiri akan ditinggalkan oleh Habibie dan 14 menterinya pada kudeta berdarah “The Rape of Jakarta” Mei 1998.

Habibie memperoleh hukum karma, karena pertanggungjawabannya ditolak dan gagal memperoleh Hadiah Nobel, walaupun telah memberi referendum dan kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia. Ia mundur dari kepresidenan dan digantikan oleh Gus Dur, melalui manipulasi politik Poros Tengah yang diprakarsai Amien Rais. Karena bukan haknya,maka koalisi semu Poros Tengah bubar dan Megawati memperoleh haknya sebagai partai terbesar pemilu menjadi presiden.Tapi, sebagai petahana, Megawati justru dikalahkan oleh mantan menterinya, SBY. Dalam persepsi Megawati, SBY adalah Ken Arok yang menikam dirinya yang menimbulkan luka sulit diobati bahkan hingga detik ini. SBY sendiri tentu merasa Jusuf Kalla sebagai Ken Arok yang kemudian memang menantang secara terbuka dalam pilpres periode kedua.

Problem utama SBY sekarang ini ialah keluar dari trauma tragedi mertua Sarwo Edhie, yang tersingkir oleh intrik rivalitas antarjenderal lingkaran dalam Soeharto, paranoid terhadap pemakzulan atau kudeta istana sejak Sukarno, Soeharto, Habibie, dan bersaing dengan wapresnya sendiri (JK) untuk dengan percaya diri melakukan gebrakan politik mewariskan suatu legasi kepresidenan yang dicapai dalam sisa masa
jabatan tiga tahun mendatang. SBY sudah bertahan dan terpilih kembali. Apakah ia hanya akan defensif, takut dimakzulkan, berkoalisi terus-menerus dengan partai korup dan membiarkan negara melayang bagaikan pesawat dengan autopilot?

Pesawat RI terbang melaju 6 persen ketika pilotnya waswas, ragu ragu, dan tersandera
sesama kru model Pansus, Panja, demo ochlocracy. Setelah sekarang melakukan reshuffle kabinet dengan memasang birokrat profesional, maka pilot SBY harus berani menjadi Sebastian Vettel mengemudikan KIB hasil reshuffle ini menjadi Formula 1. Jika SBY masih tersandera oleh momok sejarah reshuffle dan kudeta kabinet di Indonesia, maka 54 menteri dan wakil menteri hanya akan menjadi ojek yang tenggelam dalam kemacetan kehidupan politik ekonomi nasional di tengah kemelut lalu lintas geopolitik. Menantu Sarwo Edhie sedang menghadapi koalisi Sukarno-Soeharto. Itulah sebabnya SBY menjadi sangat ekstra hati-hati. 

Tapi, kalau SBY tidak berhasil melakukan sprint seperti Vettel dalam tiga tahun ini, ia akan dikenal sebagai “do-nothing surviving president”. Hanya sukses dalam bertahan mencegah pemakzulan, tapi tidak mencapai apa-apa bagi bangsa dan negara Indonesia. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar