Tampilkan postingan dengan label Hak Azasi Manusia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hak Azasi Manusia. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 November 2011

Menghapus Remisi, Melanggar HAM?

Menghapus Remisi, Melanggar HAM?

Victor Silaen,  DOSEN FISIP UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 23 November 2011


Kalau benar kita semakin muak mengamati praktik korupsi yang kian lama kian merajalela, logikanya, kita pun mendukung kebijakan pemerintah untuk menghapus pemberian remisi bagi para koruptor.

Tak penting benar apakah kebijakan itu disebut “moratorium” atau “pengetatan syarat pemberian remisi”, sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan tersebut: demi menggentarkan para koruptor maupun calon koruptor, agar jangan melaksanakan niat busuknya.

Tak sepatutnya merasa “iba” kepada para koruptor. Korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan atas dasar itu koruptornya layak disebut penjahat luar biasa. Karena perbuatan merekalah perlahan-lahan negara ini bangkrut dan rakyat makin sengsara.

Terkait itu, jawablah pertanyaan ini dengan logika sederhana: layakkah koruptor mendapatkan diskon masa tahanan (remisi)? Pantaskah negara berbelas kasihan kepada mereka lalu mengurangi masa tahanan yang harus mereka jalani?

Berdasarkan itu saya terheran-heran atas sikap dan pernyataan dari sejumlah pihak yang mengkritik kebijakan baru dari Kementerian Hukum dan HAM ini.

Kalau yang menjadi keberatan mereka adalah soal prosedur hukum yang harus ditempuh agar kebijakan baru tersebut tidak bertabrakan dengan UU No 12/1995 dan PP No 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Namun, jika yang dikritik adalah substansi kebijakan itu sendiri, pertanyaannya: seriuskah mereka mendukung upaya pemerintah memerangi korupsi?

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, misalnya, menilai kebijakan baru itu sebagai sesuatu yang bertentangan dengan HAM, sebab mendiskriminasi narapidana.

Pertanyaan saya: sebaik apakah pemahaman kita tentang HAM? Mengertikah kita tentang bedanya hak asasi dan hak (tanpa “asasi”)? Siapa sajakah yang mempunyai hak (baik tanpa “asasi” maupun dengan “asasi”) itu? Manusia (persona) sajakah atau lembaga (non-persona) juga? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan, mengingat Indonesia pada 20 Mei 2011 untuk ketiga kalinya terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Itu berarti, sebagai konsekuensinya, Indonesia harus betul-betul menghargai dan menegakkan aturan main soal HAM.

Pemahaman kita perihal HAM itu pun harus betul-betul klir. Ini karena beberapa tahun silam, seorang guru besar pernah mengatakan “Indonesia tidak menganut hak asasi individual”.
Menurut dia, Indonesia berbeda dengan dunia Barat yang menganut HAM sebagai hak asasi individual. Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara, yaitu warga negara juga memiliki kewajiban asasi untuk menghormati hak-hak asasi warga negara lain.

HAM di Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat individual yang sebebas-bebasnya. Manusia Indonesia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual. Karena itu di Indonesia, kepentingan masyarakatlah yang utama.

Pemikiran seperti ini jelas patut dikritik. Pertama, setiap manusia di seluruh dunia sama dalam hakikatnya sama-sama merupakan mahkluk sosial. Itu berarti setiap manusia cenderung selalu berkawan dengan sesamanya, sehingga karena perkawanan itulah selanjutnya terbentuk perkumpulan-perkumpulan, baik yang kecil maupun besar, baik yang bersifat sosial, budaya, ekonomis, maupun politis.

Kedua, Tuhan telah memberikan setiap manusia hak-hak yang tak dapat dicabut pihak manapun juga. Itulah yang disebut hak asasi. Hanya manusialah yang menerima hak-hak seperti itu, dan bukan makhluk lainnya, karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia.

Jadi, apa yang disebut HAM itu bersifat given (terberi) dari Tuhan. Karena itu, hanya Tuhan jualah yang boleh mencabutnya, sedangkan pihak lain tidak boleh, termasuk negara.
Itulah hak asasi, yang berbeda dengan hak (tanpa “asasi”). Barang (milik) saya itu adalah hak saya. Orang lain tak boleh mengambilnya, kecuali dengan seizin saya. Tapi, setelah barang itu saya jual, hilanglah hak saya atas barang itu. Itulah hak (tanpa “asasi”), yang dapat saja dicabut atau terlepas dari diri manusia karena alasan yang bermacam-macam.

Ketiga, pendekatan partikularistik yang memandang bahwa HAM di Indonesia berbeda dengan HAM di negara-negara Barat sudah seharusnya diusangkan. Apalagi ini era globalisasi yang membuat berbagai pandangan, sikap, dan nilai-nilai antarbangsa kian lama kian mirip satu sama lain.

Salah satunya adalah pemaknaan atas HAM itu tadi. HAM adalah hak asasi setiap manusia yang bersifat universal, yang diberikan Sang Pencipta kepada manusia sebagai mahkluk ciptaan-Nya yang secitra dengan-Nya. Jadi, selain bersifat ilahi, HAM itu juga bersifat individual atau tak terbagi (in-divere, asal kata untuk individu).

Demi tercapainya kehidupan manusia yang sungguh-sungguh bermartabat, negara harus menjamin pemenuhan HAM bagi setiap warga negaranya. Dalam rangka itu pula negara membuat hukum sebagai landasannya. Karena ada hukum maka tak mungkin kebebasan yang merupakan HAM setiap orang menjadi ”liar”.

Apalagi kita tak hidup di ruang hampa yang tak ada hukum maupun pedoman budayanya. Kita hidup di ruang-ruang bersama yang memiliki sejumlah aturan main demi terwujudnya ketertiban hidup bersama.

Kondisi-kondisi itulah yang membuat HAM dalam pemenuhannya juga harus diimbangi dengan kewajiban-kewajiban. Jadi, menghormati HAM orang lain merupakan keniscayaan, seperti orang lain pun harus menghormati HAM yang kita miliki.

Lantas, mana yang utama: kepentingan individual atau kepentingan masyarakat? Keduanya sama-sama penting. Mementingkan diri sendiri atau individualistik, yang umumnya sangat dihayati orang-orang Barat, ini tak sama dengan egois. Dengan egois, itu berarti kita menuntut orang-orang lain untuk mementingkan diri kita, sehingga mereka harus selalu mengalah atau berkorban untuk kita.

Sementara individualistik berarti setiap orang sadar betul bahwa ia memiliki “kedirian” (selflessness) yang harus diurusinya sendiri, demi diri sendiri. Penghayatan yang mendalam atas nilai individualistik inilah yang niscaya menumbuhkan nilai independensi, yang terbiasa mengandalkan diri sendiri dan bertanggung jawab atas nama dan kepada diri sendiri. Berbagai contoh untuk itulah yang disebut swa- (dalam bahasa Indonesia misalnya swalayan) atau self- (dalam bahasa Inggris misalnya self-service).

Namun, bukan berarti karena penghayatan yang mendalam atas nilai individualistik itu masyarakat menjadi tak penting bagi kita. Masyarakat tetap penting, karena dengan dan di dalam masyarakatlah kedirian setiap orang menemukan maknanya.

Tapi, bagaimana mungkin kita dapat mementingkan masyarakat jika mementingkan diri sendiri saja tak mampu? Dalam konteks inilah maka manusia menjadi mahkluk yang bersifat individual sekaligus juga sosial (homo socius). Manusia memiliki kedirian, tetapi juga membutuhkan sesamanya yang lain. Jadi, masing-masing bernilai penting dalam konteksnya masing-masing.

Kembali pada HAM, sesungguhnya pemenuhan HAM tidaklah membedakan warga negara atau bukan warga negara. Jadi, sekalipun ada banyak orang asing (bukan warga negara Indonesia) yang tinggal di Indonesia, HAM mereka tetap harus dihormati.

Mereka, misalnya, berhak hidup, dan karena itu tak boleh dibunuh siapa pun. Tetapi, untuk dapat menikmati hidup di Indonesia, mereka harus memenuhi terlebih dulu sejumlah syarat tertentu yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, HAM juga bersifat dapat diatur (regulable) sekaligus dapat dibatasi (limitable).

Dalam contoh-contoh yang lain, sifat HAM yang regulable dan limitableitu sebenarnya juga berlaku bagi warga negara Indonesia. Bahkan, ada juga HAM yang bersifat derogable (dapat ditangguhkan pemenuhannya) karena kondisi-kondisi tertentu dan sebaliknya, non-derogable (tak dapat ditangguhkan pemenuhannya) tak hirau dalam kondisi apa pun (Gromme, 2001).
Lantas, bagaimana dengan narapidana? Mereka terpenjara karena dipenjarakan secara paksa itu berarti hak asasi mereka (kebebasan) telah dibatasi negara.

Itulah kewenangan negara: menghukum orang-orang yang bersalah. Kalau di kemudian hari negara memberi remisi bagi napi, itu bukan hak si napi, melainkan kebijakan negara sendiri. Jadi, terpulang kepada negara, mau mengubah kebijakan pemberian remisi itu atau tidak. ●

Minggu, 30 Oktober 2011

Kegilaan Dunia Baru


Kegilaan Dunia Baru
Haedar Nasher, KETUA PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH
Sumber : REPUBLIKA, 28 Oktober 2011




Terganggukah para ilmuwan dan pemimpin di berbagai belahan dunia dengan tragedi Libya dan negeri-negeri Timur Tengah saat ini? Mestinya tak ada kegelisahan yang paling membuncah bagi para pencari kebenaran, keadilan, dan kebaikan universal kecuali menyaksikan tumbangnya rezim-rezim kekuasaan di Timur Tengah secara tragis dan mengenaskan yang melibatkan aliansi Amerika Serikat dan NATO yang bernafsu mengekspansi.

Kediktatoran Saddam Hussein, Husni Mubarak, Muamar Qadafi, dan pemimpin-pemimpin dunia Arab lainnya yang kini juga tengah diguncang memang naif dan inilah barangkali kereta terakhir transisi politik dari sistem otoritarian menuju demokrasi. Bahwa tumbangnya para tiran di Timur Tengah itu merupakan wujud perlawanan dari rakyatnya, juga tidak terbantahkan. Namun, menyaksikan agresivitas para pemimpin negara-negara sekutu Barat untuk mengintervensi dan menjatuhkan rezim negeri-negeri lain yang sesungguhnya berdaulat, sungguh merupakan bentuk kediktatoran lain yang tidak kalah naif dan destruktif.

Demikian halnya soal ketragisan terbunuhnya Muamar Qadafi, yang meski dilakukan oleh tangan-tangan anak negeri Libya, tetapi ruang politik yang menyertainya tidak lepas dari angkara serdadu-serdadu sekutu yang menularkan virus keganasan perang dan invasi. Diktator pun seolah tak layak mati wajar, dia harus terbunuh atau dibunuh dengan keji, padahal di belahan negeri-negeri yang konon mengklaim beradab watak-watak dan praktik-praktik kediktatoran tetap bertakhta dan menularkan perangainya ke seluruh jagad. 

Kita tidak menemukan bagaimana para pemimpin negara adidaya itu tidak memperagakan watak dan perilaku kepemimpinan yang otoritarian terhadap pemimpin negeri-negeri lain yang dianggapnya dunia ketiga atau periferal. Hitam-putihnya dunia, mana benar dan mana salah, mana baik dan mana buruk, mana yang berhak naik takhta, dan mana yang harus digulingkan seolah milik negara-negara adidaya, baik melalui atau tanpa keabsahan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sudah tersandera lama.

Ironi dan tragedi
Beginikah wajah dunia abad ke-21 yang diagung-agungkan bertumpu pada demokrasi, hak asasi manusia, dan nilai-nilai universal modernitas? Para pejuang demokrasi dan hak asasi manusia begitu sensitif pada peristiwa-peristiwa lain yang dianggap melanggar demokrasi dan hak asasi manusia. Tetapi, mereka banyak bungkam dalam menyikapi tragedi dijatuhkan dan kematian Muamar Qadafi yang mengenaskan, invasi Irak yang luluh lantak hingga saat ini, dan bara kekacauan tak berkesudahan di Afghanistan.

Belum untuk berbagai kesewenang-wenangan lain yang sering kali bersembunyi di balik otoritas PBB seperti penindasan rakyat Palestina di tangan kekejaman Israel yang selalu mendapat restu negara-negara adidaya. Di mana tatanan dunia yang adil dan berkeadaban sebagaimana sering didengungkan oleh para pemimpin dan diplomat dunia saat ini?

Irak, Libya, Afghanistan merupakan contoh dari ladang pembantaian manusia dan kedaulatan negara atas nama demokrasi dan hak asasi manusia yang absurd. Inilah tragisme dunia modern dan postmodern yang tidak jauh beda dan seolah merupakan penjelmaan baru dari Auschwitzt. Sebuah peristiwa keganasan Perang Dunia II yang dilakukan Nazi Jerman yang membantai lebih dari 1,5 juta Yahudi di kamp konsentrasi dan kamp pemusnahan, sekaligus lambang dari kegagalan proyek modernisme di Barat. 

Kini, yang dilecehkan dan diruntuhkan, bukan lagi modernisme tetapi juga dunia postmodernisme yang pada awalnya ingin mengoreksi kegagalan modernisme, namun bungkam dalam menghadapi banyak tragedi yang terjadi di belahan dunia saat ini. Narasi-narasi indah politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keadaban hubungan internasional sekadar pembungkus manis dari tindakan-tindakan barbar yang masif dan sistematik.

Hasil akhirnya sama: nyawa-nyawa tak berdosa berjatuhan dengan murah, negeri-negeri berdaulat dihinakan dan dijatuhkan tanpa ampun. Lalu, dari reruntuhan yang mengenaskan itu, bercokol rezim-rezim baru yang menjamin pelanggengan kepentingan politik dan ekonomi negara-negara adidaya.

Auschwitz adalah nama yang digunakan untuk mengidentifikasi tiga kamp konsentrasi dan pembantaian oleh Jerman Nazi. Nama ini diambil dari versi Jerman atas sebuah nama kota Polandia di O?wi?cim, terletak 60 km barat daya Krakow. Proyek biadab ini dimulai pada 1940, sebagai bagian utama dari holocaust.

Kini New-Auschwitz dan holocauts tengah diproduksi di banyak belahan dunia yang dipandang 'primitif' oleh negara-negara adidaya yang mengklaim diri 'beradab'. Yang menempatkan negeri-negeri maju itu sebagai penjaga utama demokrasi dan hak asasi manusia universal. Penguasa dan negara mana pun yang dimasukkan sebagai rezim otoriter atau diktator, tidak demokratis, melanggar hak asasi manusia, bahkan mengembangkan proyek nuklir dapat dengan mudah diinvasi dan dihancurkan oleh negara-negara adidaya itu.

Berbagai aturan internasional hingga perlindungan institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dijadikan otoritas untuk mengabsahkan proyek pemusnahan bangsa atau negara lain yang sekiranya mengancam status quo negeri-negeri adidaya itu. Fakta pelanggaran hak asasi manusia dan demokrasi menjadi tidak penting seperti tidak terbuktinya Irak mengembangkan senjata kimia pemusnah, yang penting ketika dipandang mengancam status quo para polisi dunia itu, maka dengan gampang diinvasi dan diluluhlantakkan.

Akankah tragedi-tragedi Irak dan Libya akan terus terulang? Sejauh tidak ada pemberontakan baru dari negara-negara nonadidaya di belahan benua mana pun, rasanya sulit menghentikan bentuk kesewenang-wenangan atau kediktatoran baru yang membuana ini. Hampir pada umumnya rezim kekuasaan di setiap negara berkembang telah banyak diikat oleh berbagai regulasi politik, ekonomi, dan budaya yang mengabsahkan dan melanggengkan praktik Autschwitz dan holocaust baru itu.

Lembaga-lembaga dunia seperti PBB, G-20, NATO, ditunjang IMF, Bank Dunia, plus globalisasi yang meraksasa itu justru menjadi institusi pengabsah dan pengawet kamp-kamp konsentrasi dan pemusnah di abad modern tersebut. Setiap negara yang menunjukkan gelagat perlawanan, seperti Iran, Kuba, dan sejenisnya akan dengan mudah dimasukkan dalam daftar pelanggar demokrasi, hak asasi manusia, dan idiom-idiom modern lainnya, yang kapan saja siap untuk diinvasi dan diganti rezim.

Dunia saat ini telah kehilangan sosok Soekarno, Nehru, Nasser, Tito, dan tokoh-tokoh yang berjiwa merdeka lainnya. Mereka menjadi bagian dari dunia, tetapi kesadaran kritis dan kemandiriannya untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara sungguh luar biasa. Sementara, tokoh-tokoh dunia lain saat ini telah mengalami penjinakkan dan menjadi bagian dari rezim kekuasaan adidaya yang lembek dan penurut.

Boleh jadi, Cina tampil menjadi pusat hegemoni baru, tetapi negeri ini lebih sibuk membangun imperiumnya sendiri. Sedangkan Rusia tak juga beranjak untuk menjadi kekuatan penyeimbang karena telah terlumpuhkan oleh pilihannya menjadi negara 'demokrasi'.

Sementara itu, para pemimpin civil society dan kaum intelegensia dunia pada umumnya tenggelam dalam rutinitas dan mobilitas yang justru bukan hanya masuk dalam perangkap dunia yang semakin mengokohkan posisi negara-negara adidaya. Bahkan, tidak sedikit yang berperan menjadi bagian dari aktor-aktor yang sadar atau tidak sadar ikut melanggengkan dan membesarkan hegemoni dunia yang sarat ketidakadilan dan menularkan virus Auschwitz dan holocaust baru itu.

Imperialisme baru
Ketika Michel Foucault mengkritik dunia modern yang melahirkan tragedi kegilaan (madness) yang meluas di negeri-negeri Eropa awal abad ke-20, bukankah apa yang terjadi di Irak, Libya, Afghanistan, dan negeri-negeri yang mengalami invasi dan penghancuran sesungguhnya merupakan bentuk kegilaan baru yang jauh lebih massif di abad ini? Tidakkah proyek Freeport, Newmont, dan proyek-proyek MNC atau TNC lainnya tidak jauh berbeda dari VOC di masa lampau dengan tampilan dan kontrak yang tampak lebih demokratis? Tidakkah yang terjadi di negeri-negeri Timur Tengah merupakan bentuk imperialisme baru?

Jika Foucoult sang pemikir postmodernis itu menyebut kegilaan sebagai unreason atau ketakmasukakalan, maka kegilaan NATO, Amerika Serikat, dan ulah sekutu lainnya yang terjadi di Irak dan Libya akan berlalu begitu saja sebagai reason atau masuk di akal oleh keabsahan demokrasi dan hak asasi manusia yang telanjur menjadi hegemoni baru yang mengikat atau lebih tepat mencengkeram relasi antarbangsa dan antarnegara saat ini.

Atas nama demokrasi dan hak asasi manusia yang dipatok universal, siapa pun dan negeri mana pun harus siap diintervensi, diinvasi, dan diluluhlantakkan oleh pa ra polisi dunia tanpa rasa sungkan dan perlawanan. Semua bentuk Autschwitz dan Holocaust baru itu menjadi reason atau masuk akal, bukan ketakmasukakalan apalagi kegilaan baru. Mungkin, inilah tragedi dunia di abad ini, yang entah sampai kapan akan berlangsung. ●