Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Global. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Global. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 November 2011

ASEAN dan Rivalitas China Vs AS


ASEAN dan Rivalitas China Vs AS

Bawono Kumoro,PENELITI THE HABIBIE CENTER
Sumber : SUARA KARYA, 23 November 2011



Ada pernyataan menarik yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memberikan pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-19, di Nusa Dua Bali, baru-baru ini. Pada kesempatan itu, Presiden SBY berharap para pemimpin negara-negara anggota ASEAN bersikap proaktif agar tidak rentan menjadi korban rivalitas yang terjadi di antara negara-negara besar.

Pernyataan itu sekilas memang terdengar sebagai hal biasa. Namun, di tengah gejolak ekonomi dunia dan dinamika politik global saat ini, statement Presiden SBY agaknya perlu mendapatkan perhatian ekstra. Gejolak ekonomi dunia dipastikan akan membuat negara-negara ASEAN menjadi sasaran negara-negara maju.

Paling tidak, kini ada dua negara besar yang tengah berusaha menjadikan negara-negara ASEAN sebagai sasaran untuk memulihkan dan memperkuat kondisi perekonomian mereka. Kedua negara itu adalah China dan Amerika Serikat (AS).

Negeri Tirai Bambu tengah mencari pasar baru karena gejolak ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat telah mematikan pemasaran produksi mereka. Untuk itu, China sangat berkepentingan untuk memperdalam cengkeraman mereka di kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, Amerika Serikat dipastikan berusaha menguasai negara-negara ASEAN guna mengimbangi kekuatan ekonomi China yang sedang menggeliat sekaligus meningkatkan volume perdagangan mereka dalam rangka menyelamatkan kondisi fiskal mereka yang tengah mengalami defisit besar.

Di samping itu, dewasa ini ASEAN juga rentan terseret dalam rivalitas politik antara AS dan China, terutama terkait masalah konflik di Laut China Selatan dan rencana AS memperkuat basis militer di Asia. Sebagaimana kita ketahui bersama, Laut China Selatan merupakan perairan yang membentang dari pesisir China dan Taiwan di sebelah utara, Vietnam di sebelah barat, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura di selatan dan barat daya, hingga ke Filipina di sebelah timur. Perairan ini telah lama menjadi sumber konflik antara Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, China, dan Taiwan, terutama terkait batas zona ekonomi ekslusif.

Memang, Laut China Selatan memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi jalur lalu lintas bagi pengapalan minyak mentah dan perdagangan dunia. Selain itu, Laut China Selatan juga menyimpan berbagai potensi lain, seperti hasil laut, sumber minyak, dan gas alam. Dalam hal penyelesaian masalah sengketa ini, China ingin menggunakan jalur negosiasi secara bilateral, bukan melalui forum multilateral. Sedangkan negara-negara lain menginginkan penyelesaian melalui forum multilateral atau regional.

Sementara itu, meskipun tidak berkonfrontasi secara langsung, Amerika Serikat turut berkepentingan atas Laut China Selatan. Negeri Paman Sam jelas sangat tergiur dengan berbagai potensi yang dimiliki Laut China Selatan, seperti hasil laut, sumber minyak, dan gas alam. Bahkan, bukan tidak mungkin Amerika Serikat juga menginginkan penguasaan penuh terhadap Laut China Selatan mengingat nilai strategis perairan itu sebagai salah satu jalur lalu lintas utama bagi pengapalan minyak mentah dan perdagangan dunia.

Rencana Amerika Serikat, baru-baru ini untuk memperkuat basis militer di Australia Utara merupakan wujud dari ketertarikan mereka terhadap pesona Laut China Selatan. Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Presiden Barack Obama mengatakan bahwa Amerika Serikat kini telah mengalihkan fokus keamanan dari Irak dan Afghanistan. Saat ini fokus keamanan negara adikuasa ini adalah kawasan Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara.

Amerika Serikat berdalih bahwa pengalihan fokus keamanan itu dilakukan untuk menjaga stabilitas di Asia Pasifik sekaligus dapat diberdayakan untuk operasi kemanusiaan dan bantuan keamanan. Namun, kuat dugaan hal itu tidak lebih dari sekadar taktik Amerika Serikat untuk menandingi kekuatan China di Laut China Selatan.

Dalam konteks itu, pernyataan Presiden SBY menjadi terasa sangat penting untuk direnungi dan direalisasikan oleh negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia sendiri. Rivalitas ekonomi dan politik antara China dan Amerika Serikat, jangan sampai membuat negara-negara ASEAN terbawa dan terjebak di tengah arus pusaran persaingan kedua negara tersebut. Sebaliknya, negara-negara ASEAN justru harus dapat memanfaatkan rivalitas kedua negara itu. Bukan saja untuk memperluas wilayah sasaran ekspor, tetapi juga untuk menarik investor semaksimal mungkin.

Singkat kata, rivalitas ekonomi dan politik yang saat ini tengah terjadi antara China dan Amerika Serikat harus dimanfaatkan dan diarahkan untuk keuntungan negara-negara ASEAN, bukan untuk menyerahkan diri dan dikuasai. Jika hal itu gagal dilakukan, maka dapat dipastikan perkumpulan negara-negara Asia Tenggara ini akan segera meregang nyawa.  

Minggu, 06 November 2011

G-20, Eurozone, dan Tantangan Ekonomi Global


G-20, Eurozone, dan Tantangan Ekonomi Global
Beginda Pakpahan, DOSEN FISIP UI, PENELITI DI UNIV. OF EDINBURG, UNITED KINGDOM
Sumber : SINDO, 07 November 2011



Pertemuan tingkat tinggi G-20 di Cannes,Prancis, telah berakhir 4 November 2011. Pertemuan tersebut bersamaan dengan perdebatan di Uni Eropa (UE) atas penanggulangan krisis ekonomi di eurozone, khususnya di Yunani.

Lalu, apa hal-hal utama pada pertemuan G20 tersebut? Konsentrasi isu berfokus pada tiga wilayah.Pertama,menyambut rencana penanganan masalah keuangan dan stabilitas keuangan di eurozone oleh negara-negara UE.Kedua, memperkuat peranan IMF dan berkomitmen untuk memberikan kontribusi dana kepada IMF jika dibutuhkan. Ketiga, mendukung penciptaan lapangan kerja, proteksi sosial, dan pelbagai tantangan ekonomi global lainnya. Pertemuan G20 dibayangi oleh krisis keuangan di eurozone.

Perhatian Eropa dan dunia menunggu keputusan apa yang akan diambil Pemerintah Yunani dan Pemimpin UE (khususnya Jerman dan Prancis) terkait dengan pengucuran dana talangan kedua untuk Yunani sebesar 100 miliar euro serta 50% pengurangan utang.Apakah Pemerintah Yunani langsung menerima resep penanganan ekonomi dari UE atau langkah selanjutnya setelah membatalkan rencana referendum nasional sebelum menerima resep tersebut? Situasi tersebut membuat krisis keuangan di eurozone menjadi lebih dalam dan kompleks dari yang dibayangkan sebelumnya.

Kondisi ekonomi Yunani berdampak sistemik pada krisis keuangan di Italia dan negara-negara eurozone lainnya. Oleh karena itu,tidak menutup kemungkinan para pemimpin di UE membuka opsi untuk mendorong Yunani meninggalkan eurozone sebagai pilihan terakhir dan mencegah meluasnya krisis keuangan. Kompleksitas di atas berimplikasi terhadap beragamnya posisi dari para anggota G- 20, khususnya Jerman dan Prancis, yang berharap mendapatkan bantuan dana talangan dari negara-negara G-20 seperti China.

China menyatakan tidak bisa menalangi dana untuk eurozone.Amerika Serikat juga menaruh perhatian khusus atas apa yang berkembang dan rencana penanganan yang akan dilakukan oleh Jerman dan Prancis sebagai pendukung euro.Pada akhirnya,G- 20 tidak secara jelas menyatakan sikap atas yang terjadi di eurozone selain menyambut rencana UE untuk menangani krisis keuangan di eurozone.

Selanjutnya,G-20 berusaha memperkuat peranan IMF sehingga efektif dalam mengawasi sistem keuangan global dengan fokus pada sektor keuangan, fiskal, kebijakan nilai tukar, dan dampak dari perkembangan dari hal-hal tersebut untuk stabilitas ekonomi global yang sistemik.G-20 juga berkomitmen untuk mendukung rencana IMF sebagai pelaksana dari precautionary and liquidity line (PLL). PLL ditujukan untuk negaranegara yang membutuhkan dana yang cair dan fleksibel dalam jangka pendek sesuai kasus per kasus per negara yang terkena dampak dari krisis ekonomi eksternal yang sistemik.

Fokus ketiga diberikan pada penciptaan lapangan kerja, proteksi sosial, dan pelbagai tantangan ekonomi global lainnya. Penciptaan lapangan kerja dan proteksi sosial menjadi masalah krusial karena melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang berdampak pada meningkatnya angka persentase pengangguran dari total populasi di UK (8,1 %),Prancis (9,9 %),Jerman (5,9 %), eurozone (9,7 %), Spanyol (22,6 %),Yunani (17,6 %), dan Amerika Serikat (9,1 %) (Eurostats,September 2011:1).

Tingginya persentase pengangguran di negara-negara tersebut mayoritas didominasi para generasi muda. Situasi tersebut berdampak langsung pada kondisi sosial masyarakat seperti pelayanan kesehatan, minimnya penciptaan lapangan kerja, jaring pengaman sosial untuk penduduk miskin dan pemutusan hubungan kerja, serta melemahnya bantuan keuangan untuk anakanak, penyandang cacat, dan orang tua.

G-20 juga mencapai kesepakatan untuk memasukkan pelbagai tantangan ekonomi dunia seperti isu pertanian yang menekankan peningkatan jumlah produksi dan produktivitas pertanian, peningkatan transparansi informasi pasar dan menurunkan risiko harga pangan yang meningkat. G-20 juga mendorong efektivitas dan transparansi pasar energi serta perluasan akses untuk teknologi yang ramah lingkungan. G-20 mendukung pembangunan yang berkesinambungan dan merespons perubahan iklim yang berkembang saat ini.

Diharapkan, G-20 bisa mendorong mekanisme pembiayaan (green climate fund) yang berimbang dan efektif pada negara-negara berkembang yang terkena dampak dari perubahan iklim global. Lalu,G-20 menaruh perhatian pada isu pembangunan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang dan tertinggal, khususnya keamanan pangan dan pembangunan infrastruktur. Dukungan pembangunan di negara-negara berkembang dan tertinggal akan mendorong pencapaian tujuantujuan pembangunan milenium.

G-20 berusaha mencari alternatif pembiayaan untuk pembangunan di negaranegara berkembang dan tertinggal melalui kerja sama dengan pelbagai pihak terkait seperti pemerintah, sektor bisnis,NGO,individu dan organisasi regional/subregional seperti pemotongan pajak rokok, tanggung jawab sosial dari perusahaan, dan pelbagai pajak keuangan lainnya. Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil pertemuan G-20 tempo hari. Pertama, agenda-agenda G-20 terkesan cukup luas dan umum.

Artinya, G-20 belum menerjemahkan pelbagai agenda tersebut pada langkah-langkah koordinasi atas kebijakan yang konkret dan cara pencapaian yang detail serta terukur untuk mencapai tujuan-tujuan seperti diuraikan di atas. Kedua, konsentrasi isu di pertemuan G-20 di Cannes terlalu didominasi oleh isu krisis keuangan di eurozone dibandingkan isu-isu penting lainnya seperti pertumbuhan ekonomi global, pertanian, penciptaan lapangan kerja, proteksi sosial, dan perubahan iklim.

Ketiga, G-20 mendorong penguatan peranan IMF sebagai institusi penengah dan penyeimbang atas pelbagai kepentingan negara anggota G-20 (China dan Amerika Serikat) untuk terhindar dari komitmen langsung atas penanggulangan dana bagi eurozone.