Tampilkan postingan dengan label Koruptor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Koruptor. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Desember 2011

Menyoal HAM Para Koruptor


Menyoal HAM Para Koruptor
Peter Lewuk, PENGAMAT POLITIK THE ADAM MALIK CENTER, JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 12 Desember 2011



Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati hari hak-hak asasi manusia atau HAM sedunia. Dalam rangka itu menarik untuk dipersoalkan HAM para koruptor di negeri ini.

Di tengah-tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi, justru belakangan ini para koruptor dan penasihat hukumnya berteriak lantang tentang hak asasi para koruptor sebagai manusia.

Gejala itu muncul lantaran adanya pro dan kontra soal obral remisi yang diberikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada para narapidana korupsi.

Selama ini, para koruptor kerah putih itu juga menikmati fasilitas mewah ala hotel di penjara. Tidak itu saja, kolusi antara koruptor dan oknum pejabat rumah tahanan membuat mereka dengan leluasa keluar masuk rumah tahanan, malah ada yang jalan-jalan ke luar negeri.

Gencarnya pemberitaan media massa tentang “keistimewaan” itu tentu saja membuat publik marah. Ini karena selain tak memberikan efek jera dan penggentar, keistimewaan itu juga melukai rasa keadilan masyarakat maupun para narapidana lainnya yang tak mampu “membeli” oknum aparat penegak hukum.

Atas Nama HAM

Memang betul bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak asasi, tetapi janganlah disalahgunakan. Seolah-olah atas nama HAM orang bisa berbuat apa saja termasuk korupsi.

Padahal, harus dipahami HAM hanya mutlak bagi orang perorangan atau individu sejauh dia tidak pernah berada dan hidup bersama orang lain, namun ini adalah sesuatu yang mustahil. Manusia pada hakikatnya adalah “ada bersama” atau makhluk sosial, semenjak di dalam rahim ibu.

Oleh karena itu, HAM tidak pernah mutlak melainkan ada batasnya. Dengan kata lain, yang menjadi batas dari HAM seseorang adalah HAM orang lain, terlebih lagi karena manusia hidup bersama dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

Jadi, HAM tidak penah berdiri sendiri, melainkan selalu dalam konteks sosial dan konteks negara. Oleh karena itu, dalam konteks bernegara, misalnya, sekalipun seorang pejabat memiliki kekuasaan yang besar, dia tidak bisa menggunakan kekuasaannya itu sebebas-bebasnya atas nama HAM.

Bahwa, misalnya, pejabat negara dan aparatur pemerintah di eksekutif, legislatif, dan yudikatif menuntut hak mereka dari negara karena mereka telah bekerja untuk negara. Ingat, hak itu telah diberikan oleh negara dalam bentuk gaji yang pantas, tunjangan, dan beberapa privilese lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Harus diingat bahwa pelaksanaan HAM para pejabat negara dan aparatur pemerintah dari pusat sampai daerah justru dibatasi oleh HAM ratusan juta rakyat Indonesia, terutama hak untuk menikmati kesejahteraan dan keadilan sosial-ekonomi.

Bila para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah mencuri uang negara secara masif-kuantitatif dari pusat sampai ke daerah di seluruh Indonesia, bisa dibayangkan jutaan rakyat Indonesia yang miskin tak akan mendapatkan hak mereka itu.

Itulah sebabnya, korupsi dikategorikan sebagai pelanggaran berat atas HAM rakyat atau kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Hal tak lain karena dampak korupsi sangat luar biasa merugikan rakyat Indonesia.

Satu contoh saja, ketika didesak untuk mengesahkan RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS, DPR dan pemerintah tampak setengah hati dan ogah dengan alasan uangnya dari mana.

Padahal, ratusan bahkan ribuan triliun uang negara dirampok oleh para pengusaha hitam yang berkolusi dengan oknum-oknum pejabat yang berwatak korup dan tidak punya rasa malu.

Meski akhirnya disahkan menjadi UU, keluhan tentang dari mana uang yang akan dikelola BPJS membuktikan betapa DPR dan pemerintah tidak sadar, atau pura-pura tidak sadar, bahwa kalau untuk urusan berkorupsi ria, selalu ada uang, tetapi untuk jaminan sosial bagi rakyat, maka tidak ada uang.

Nah, apabila para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah menjadi koruptor, yang berarti melanggar berat atas HAM seluruh rakyat Indonesia, pantaskah para koruptor itu berbicara tentang HAM yang melekat pada diri mereka?

Hilangnya HAM

Sangat tak pantas kalau seorang pelanggar HAM masih berbicara lantang tentang hak asasinya sebagai manusia. Ketika para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah “berubah menjadi tikus”, mereka tidak pernah berpikir tentang HAM rakyat atas kesejahteraan sosial-ekonomi, yang mereka langgar atau rampas.

Tetapi, ketika sekarang dipidana karena kejahatan korupsinya, malah para koruptor bersama para penasihat hukum berteriak lantang membela hak-hak koruptor sebagai manusia. Pembelaan HAM model ini, tentu akan menjadi bahan cemoohan, cibiran, dan tertawaan orang banyak, yang menyaksikan perilaku para koruptor dan para penasihat hukumnya.

Karena itu, menurut saya, HAM para koruptor untuk jangka waktu tertentu hilang dengan sendirinya karena kejahatan yang dilakukannya. Masih beruntung koruptor tidak dijatuhi hukuman mati.

Padahal, hukuman mati untuk para koruptor itu dimungkinkan oleh undang-undang. Jadi, para koruptor itu sudah menghilangkan HAM mereka sendiri selama berapa tahun masa tahanan sesuai vonis hakim.

Nah, kalau diargumentasikan bahwa moratorium atau penghentian pemberian remisi kepada para koruptor adalah sebuah bentuk pelanggaran atas HAM para koruptor, harus dikontra-argumentasikan pula bahwa HAM para koruptor itu telah ditukar atau dibayar dengan kejahatan korupsi yang mereka lakukan, sehingga remisi tidak perlu diberikan kepada mereka. Biarlah para koruptor itu menikmati hotel prodeo hingga batas waktunya mereka dibebaskan.

Lebih bijaksana bagi negara untuk “menghilangkan HAM” para koruptor yang merampok uang rakyat sebagai impas terhadap hak rakyat atas keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang dirampas para koruptor.

Meski uang yang dikorupsi itu tidak dapat kembali ke negara, tetapi dengan penghilangan HAM, terutama melalui hukuman seberat-beratnya, diharapkan menimbulkan efek jera, rasa takut, dan rasa malu serta berpikir sejuta kali sebelum mencuri dari negara.  

Minggu, 06 November 2011

Pangkas Kemewahan Koruptor

Pangkas Kemewahan Koruptor
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
Sumber : KOMPAS, 07 November 2011



Mengapa penegakan hukum seperti gagal menimbulkan efek jera dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi? Jawaban paling sederhana, penyebab utama yang dirasakan selama ini, aturan hukum dan proses penegakan hukum terlalu banyak memberikan kemewahan kepada mereka yang tersangkut kasus korupsi.

Barangkali, karena alasan itu pula, begitu dilantik menjadi Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, duet Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana mengumumkan langkah ”besar” dalam agenda pemberantasan korupsi. Sebagaimana dikemukakan, upaya yang akan dilakukan adalah menaikkan batas minimal ancaman pidana pelaku korupsi dari satu tahun menjadi lima tahun.

Tak berhenti sampai di situ, sebagai komandan baru di Kementerian Hukum dan HAM, Amir-Denny juga akan melakukan moratorium pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi. Ini dilakukan karena selama ini, obral remisi dan pembebasan bersyarat telah melumpuhkan upaya penjeraan dalam memberantas korupsi.

Jika jeli melacak dinamika agenda pemberantasan korupsi, langkah yang akan dilakukan Amir-Denny bukan gagasan baru. Dalam beberapa tahun belakangan, gagasan serupa telah didorong berbarengan dengan kian masifnya praktik penyalahgunaan kuasa ini. Namun, seperti teriakan di tengah gurun pasir: gayung tak bersambut, kata pun tak berjawab.

Dengan adanya rencana Amir-Denny melakukan lompatan besar, publik seperti mendapatkan tiupan angin segar di tengah potret buram pemberantasan korupsi. Karena itu, tak berlebihan apabila keinginan itu dipandang sebagai harapan baru untuk mengurangi praktik perampokan uang negara. Bagaimanapun, banyak kalangan percaya, sekiranya tidak ada keberanian untuk melakukan langkah besar, banyak kemewahan yang dinikmati mereka yang tersangkut korupsi kian sulit dipangkas.

Hulu ke hilir

Kemewahan yang dinikmati oleh mereka yang tersangkut kasus korupsi tak hanya terjadi pada bagian hilir, yaitu dengan begitu mudahnya mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Bahkan, misalnya, melihat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada Artalyta Suryani, publik seperti sedang disuguhi ”sandiwara hebat” dalam penegakan hukum. Dalam banyak kasus, koruptor telah menikmati kemewahan sejak awal proses penegakan hukum.

Di tingkat hulu, masalah yang terjadi bukan hanya kian masifnya vonis atau hukuman di bawah lima tahun, melainkan juga berupa kemewahan sejak dari proses penyidikan sampai ke vonis hakim. Dalam proses penyidikan, penyidik masih terbatas menahan para pelaku tindak pidana korupsi. Padahal, alasan penahanan (baik subyektif maupun obyektif) telah terpenuhi untuk menahan seseorang. Bahkan, banyak fakta menunjukkan, ruang untuk menahan atau tidak menahan acap kali digunakan untuk memeras tersangka.

Jika hendak melakukan perbaikan, ruang untuk terjadinya penyalahgunaan kuasa oleh para penyidik harus segera ditutup. Cara yang paling sederhana, seperti di KPK, mereka yang tersangkut korupsi yang ditetapkan sebagai tersangka segera ditahan. Selain cara mempercepat proses penyelesaian perkara, langkah demikian sekaligus dimaksudkan untuk mendorong penyidik menjadi lebih berhati-hati. Bukankah sejumlah fakta menunjukkan, ketidakhati-hatian dalam menyusun dakwaan menyebabkan banyak tersangka kasus korupsi dibebaskan hakim.

Sebetulnya, bukan hanya masalah itu yang terjadi di daerah hulu pemberantasan korupsi. Paling tidak, gambaran itu membuktikan bahwa di luar pemikiran menaikkan batas ancaman pidana minimal, harus pula dicarikan solusi mendasar guna menutup masalah yang terjadi. Tanpa itu, celah yang tersedia akan selalu dimanfaatkan demi menikmati kemewahan dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.

Tantangan Amir-Denny

Untuk masalah di tingkat hilir, duet Amir-Denny telah melakukan identifikasi dengan benar: masalah paling akut adalah fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat. Sejauh ini, hak remisi dan pembebasan bersyarat benar-benar menjadi sebuah kemewahan yang dinantikan para koruptor. Sekalipun merupakan hak, hak yang diberikan itu dapat dikatakan telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Dengan kemewahan itu, penjara lebih menjadi tempat persinggahan sementara untuk ”menghilang” dari penglihatan orang banyak.

Sebagai sebuah hak yang diberikan UU bagi narapidana, sulit untuk menghilangkan hak pemberian remisi kepada para koruptor. Alasannya, UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyerahkan syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana kepada peraturan pemerintah. Cara sederhana adalah melakukan Perubahan Kedua PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Langkah darurat yang seharusnya ditempuh, melakukan perubahan terbatas Pasal 34 PP No 32/1999 jo PP No 28/2005 terutama memperketat syarat ”berkelakuan baik” dan syarat ”telah menjalani satu pertiga masa pidana”. Pilihan pada langkah darurat ini lebih karena hampir dapat dipastikan tak mudah melakukan perubahan secara cepat atas UU No 12/1995. Kalaupun bisa dilakukan, melihat suasana politik di DPR, waktu yang diperlukan untuk revisi pasti lebih lama.

Sebagai lokomotif baru di Kementerian Hukum dan HAM, duet Amir-Denny ditantang segera merealisasikan langkah moratorium pemberian hak remisi dan pembebasan bersyarat. Jalan ke arah itu pasti tidak mudah. Langkah memangkas kemewahan ini pasti mendapatkan perlawanan mahahebat dari para koruptor yang seharusnya segera menikmati fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat. Jika Amir-Denny serius, publik akan memberikan dukungan untuk menghadapi kemungkinan perlawanan itu. Mereka tak perlu surut dengan meralat kata moratorium jadi pengetatan.

Tantangan Amir-Denny paling serius adalah meyakinkan Presiden SBY untuk segera melakukan revisi kedua atas PP No 32/1999. Tanpa itu, sampai ke langit pun mereka bersikukuh, jika tak mendapatkan dukungan konkret SBY, tak mungkin merealisasikannya. Pengalaman menunjukkan, gagasan acap kali terbentur karena SBY lebih menimbang ancaman serangan balik yang berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahannya. Jika revisi itu bisa segera diwujudkan, harapan melakukan perubahan besar di ranah pemberantasan korupsi kemungkinan dapat dilakukan.  Namun, apabila upaya revisi bertele-tele dan perlu waktu lama, jangan pernah berharap pemerintah sekarang akan mampu memangkas kemewahan yang dinikmati para koruptor.