Tampilkan postingan dengan label Benny Susetyo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Benny Susetyo. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Desember 2011

Nurani Rakyat Papua


Nurani Rakyat Papua
Benny Susetyo, PASTOR DAN PEMERHATI MASALAH SOSIAL
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Desember 2011



Para tokoh lintas agama Papua dalam pertemuan dengan tokoh lintas agama di Maarif Institute Jakarta beberapa waktu lalu menyerukan dukacita terdalam. Perasaan terluka akibat kekerasan yang terjadi di bumi Papua belakangan ini menunjukkan tiadanya perubahan dalam cara memperlakukan rakyat negeri ini. Amat mengherankan karena
kekerasan selalu menjadi pilihan utama (sejak Orde Baru hingga kini), khususnya untuk menghadapi saudara-saudara kita di Bumi Cenderawasih.

Tragedi demi tragedi terjadi tanpa ada kesudahan dan penyelesaian yang jelas. Aksi kerasan yang dilakukan aparat memperpanjang deretan luka yang dialami rakyat Papua. Watak represi negara dipraktekkan dengan mengabaikan segala pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi. Negara begitu semena-mena dan mengabaikan seluruh pendekatan, kecuali kekerasan. Bahkan nyaris tak terhitung berapa banyak pelanggaran HAM yang sudah terjadi di sana.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan Komnas HAM, ada empat jenis pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa itu. Pertama, perampasan hak hidup (rights to life), karena ada tiga orang mengalami pembunuhan di luar putusan pengadilan (extra-judicial killing). Kedua, pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.Terdapat temuan yang menunjukkan adanya
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga yang ditangkap. Keempat, pelanggaran hak atas rasa aman. Jelas bahwa peristiwa ini menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami oleh semua pihak, baik masyarakat di sekitar tempat kejadian maupun di wilayah Jayapura dan Papua umumnya.Kelima, pelanggaran hak milik. Akibat peristiwa
tersebut, sejumlah harta benda hancur.

Akar Masalah

Peristiwa seperti demikian mengingatkan kita pada rentetan peristiwa kekerasan lain sebelumnya di tanah Papua. Semua terjadi di tengah deru eksploitasi besar-besaran sumber alam dari tanah tumpah darah mereka. Di tengah isu kemiskinan dan ketidakadilan, mereka tersandera oleh isu nasionalisme.

Bagaimana sesungguhnya konsep visi kebangsaan Indonesia? Max Lane dalam Bangsa yang Belum Selesai menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide serta pikiran dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa.Kedaulatan politik memang sudah ada di tangan bangsa ini sejak merdeka lebih dari setengah abad lalu, tapi nation-building memerlukan dinamika baru secara dinamis.

Mempertimbangkan segi dinamika politik, kerumitan, pluralitas sekaligus kekhususan Indonesia sebagai bangsa “yang belum selesai”justru lahir pertanyaan haruskah kita memang mengarah pada suatu garis akhir kebangsaan sekaligus mengabaikan diri atas semua gejolak yang timbul di dalamnya serta melihatnya sebagai semata-mata ancaman. Dinamika politik kebangsaan tak lepas dari berbagai gejolak, tapi bila gejolak
itu dilihat semata-mata ancaman, bukan tak mungkin cara pandang kebangsaan ini tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan Orde Baru.

Jauh lebih penting membicarakan Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana seharusnya cara pandang kita melihatnya. Kita berpengalaman, saat melihat Indonesia dengan mata buta nasionalisme, memperlakukan paham kebangsaan ini layaknya agama. Yang terjadi adalah kekerasan dan penistaan nilai-nilai kemanusiaan. Papua adalah wilayah yang teramat sering menjadi korban keberingasan tangan-tangan berdarah atas nama nasionalisme ini.

Nasionalisme yang dipahami sebagaimana agama hanya akan menghasilkan sikap kebangsaan yang picik, yang selalu melihat perbedaan sebagai musuh. Bila memang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah konsep utama kebangsaan ini, yang perlu diperhatikan bagaimana cara menegakkannya dengan landasan keadilan.

Nasionalisme yang telah mengubah dirinya menjadi “agama baru” akan melahirkan imajinasi kaum nasionalis hampir sama persis dengan bagaimana saat mereka membayangkan agama yang mereka peluk.Konsekuensinya, mereka harus menjaganya dari serangan musuh yang mencoba mengganggunya. Nasionalisme diperlakukan dengan segala macam cara, termasuk yang paling utama kekerasan,
agar tak roboh.

Upaya nation-building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas sikap elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan merebut Indonesia dari penjajah. Tidak jarang mereka membunuhi rakyatnya sendiri karena dianggap melawan dan bertentangan dengan pandangan elite.

Berikan Keadilan

Kita harus membaca persoalan Papua ini dengan searif-arifnya. Kiranya kita perlu becermin pada diri sendiri, mengapa warga Papua dari dulu hingga kini—yang tercipta dari waktu yang sama dan juga ikut berjuang menegakkan Bumi Pertiwi—belum sejahtera, padahal kekayaan alamnya sangat berlimpah.

Kita memang harus bertanya sejauh mana Indonesia memberikan kontribusi bagi Papua.Kekayaan alam yang begitu berlimpah justru tidak membuat rakyatnya mendapatkan kesejahteraan. Realitas seperti ini akan mengajak kita  bersama berpikir ulang, di manakah tanggung jawab republik ini, agar kita bersama-sama merasakan penderitaan kemiskinan rakyat Papua. Harus diakui itu adalah bagian dari kesalahan kita sebagai bangsa yang selama ini tidak pernah memiliki perhatian serius terhadap mereka.

Kebijakan elite politik Jakarta yang hanya berorientasi sekadar menguras kekayaan mereka adalah kesalahan terbesar kita dalam mengelola suatu bangsa.Keadilan belum
pernah menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Karena itu, saat ini yang lebih urgen adalah bagaimana pemerintah lebih proaktif mendekati warga Papua dengan memberikan bukti yang nyata bahwa rakyat Papua adalah bagian terpenting Republik Indonesia. Rakyat Papua berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam segala hal, terutama dalam mengelola sumber daya alamnya. Otonomi pengelolaan sumber daya alam ini akan bermanfaat besar bagi warga Papua, bila ada kemauan
politik ke sana.

Pemerintah harus mengoreksi kebijakan yang tidak memberi kesempatan kepada rakyat Papua memperoleh akses dalam ikut serta mengelola sumber daya alam. Rakyat Papua bisa menjadi “Indonesia”hanya bila politik Jakarta berorientasi memanusiakan warga Papua. Pendekatan kekerasan jelas harus ditanggalkan dan
dibuang jauh-jauh. Pendekatan kekerasan harus digantikan dengan budaya dialog lewat usaha mencerdaskan kehidupan masyarakat Papua.

Perubahan orientasi inilah yang sebenarnya diharapkan rakyat Papua agar Jakarta memahami bahwa selama ini mereka kurang dimanusiakan. Dibutuhkan sebuah tata ekonomi baru dengan sumber alam yang harus digunakan untuk kemakmuran bagi penduduk pemiliknya.

Sabtu, 03 Desember 2011

Gaya Hidup Konsumtif


Gaya Hidup Konsumtif
Benny Susetyo, PEMERHATI SOSIAL, SEKRETARIS EKSEKUTIF KOMISI HAK PGI
Sumber : SINDO, 3 Desember 2011



Puluhan orang terjepit dan pingsan akibat saling berdesakan saat antre mendapatkan BlackBerry murah di pusat perbelanjaan Pacific Place, Jakarta (25/11).

Ribuan orang rela antre sejak malam hari. Orang rela mendapatkan barang mewah dengan harga murah. Mereka berebut memiliki BlackBerry, sebuah barang yang kini bukan saja merupakan alat memperlancar komunikasi, melainkan juga merupakan simbol kemewahan kelas.

Masyarakat Konsumtif

Fenomena ini merupakan gambaran gaya hidup masyarakat urban. “Saya membeli maka saya ada.” Status sosial seseorang ditandai dari kemampuannya memiliki produk- produk baru dan mewah. Seseorang akan merasa diri bukan bagian dari ‘modern’ bila melewatkan hiruk-pikuk kepemilikan teknologi modern sebab status sosial itulah yang penting dan harus dikejar. Eksistensi manusia diukur sejauh mana ia mampu membeli.

Kehidupan dikendalikan oleh mereka yang mampu mendikte atas apa saja yang harus dibeli. Kapitalisme tidak akan berhenti mengajari mode.Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup dan produk-produk yang membuat kehidupan lebih instan, mudah, dan menyenangkan.Iklan produk-produk terbaru begitu piawai membujuk konsumen untuk menjadi bagian terpenting dalam kehidupan.Semua menawarkan janji surga kenikmatan yang tidak akan didapatkan tanpa memiliki apa yang mereka tawarkan.

Inilah yang membuat orang akan melakukan cara apa saja tanpa memedulikan etika untuk memperoleh apa yang diinginkan.Semua dilakukan demi mewujudkan janji muluk kapitalisme dengan produkproduk yang mempermudah kehidupan. Masyarakat semakin dikendalikan oleh budaya konsumerisme. Tiada hari tanpa berbelanja dan membeli. Masyarakat pun semakin sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Konsumerisme mengajarkan agar semua ‘keinginan’ dipandang sebagai ‘kebutuhan’ yang harus dipenuhi. Kenyataan hidup seharihari dipenuhi dengan iklan yang penuh bujuk rayu.

Iklan datang bukan saja di ruang publik, melainkan juga masuk ke ruang-ruang privat individu. Tidak peduli siang dan malam. Berbagai barang baru siap ditawarkan dan didesakkan sedemikian rupa agar dimiliki dan dinikmati. Nilai-nilai yang ditawarkan kerapkali membuat pertahanan hidup kita tak berdaya akibat rayuan serta jebakan hedonisme. Materialisme membuat manusia terasing dari realitas. Tak jarang karena kesibukan mengejar materi belaka, kita kehilangan solidaritas dan memudarnya aspek kemanusiaan.

Di tengah dunia yang sibuk dengan segala urusan komersialisme dan memberikan penekanan yang sangat berat pada materialisme, kita digugah agar menyadari bahwa manusia bukan semata-mata sebagai alat produksi. Manusia hidup bukan hanya untuk kepentingan materi,yang kerap menjadikan manusia bermusuhan satu sama lain.Manusia hidup juga tidak hanya untuk dirinya sendiri dan memupuk keserakahan individualnya.

Budaya Instan

Kompetisi ekonomi yang semakin sengit memacu orang untuk melakukan tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan. Meningkatnya kriminalitas merupakan pertanda dari semakin permisifnya perilaku yang membolehkan segala cara. Orang terpancing dan terjebak untuk melakukan tindakantindakan di luar batas kemanusiaan, demi mengejar pemenuhan ‘keinginan’ yang sudah menjadi ‘kebutuhan’.

Dalam konteks globalisasi pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat pancaindra. Pilihan ini bukan digerakkan daya nalar yang sehat, melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan indrawi belaka. Media iklan yang begitu dahsyat kerapkali membuat mata kita tidak lagi awas. Ini menciptakan mentalitas konsumtif. Fenomena ini sekarang membudaya pada bangsa ini. Semua serbainstan. Budaya instan alias siap saji membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Di tengah karut-marut persoalan sosial bangsa, kita justru tidak memperoleh teladan dari elite.

Mereka yang ada di Senayan berlomba-lomba menjadi pemimpin sikap hidup individualis. Bukan teladan hidup sederhana, melainkan kemewahan. Begitu pula para pejabatnya. Seolah hilang keabsahan mereka sebagai elite bila tidak hidup dalam kemewahan. Hal ini menciptakan masyarakat tidak produktif karena gaya hidup menjadi bagian status sosial sehingga masyarakat berbudaya konsumtif. Gaya hidup seperti membuat biaya hidup menjadi tinggi karena masyarakat tidak tahu lagi mana yang penting dan urgen dalam hidup.

Dibutuhkan sebuah kesadaran baru akan pentingnya pendidikan nilai-nilai mengedepankan solidaritas dan kesetiakawanan agar pola hidup konsumerisme tidak menjadi gaya hidup masyarakat.

Jangan Salah Pilih Ketua KPK

Jangan Salah Pilih Ketua KPK
Benny Susetyo, PENGAMAT MASALAH SOSIAL, AKTIF DI SETARA INSTITUte
Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011


Komisi III DPR hari-hari ini mengadakan uji kelayakan terhadap calon-calon pemimpin KPK. Semoga saja ketua dan anggota yang terpilih adalah tokoh yang terbaik, karena mereka termasuk orang yang akan menentukan masa depan bangsa ini.

Bila Komisi III salah memilih orang maka publik akan makin pesimistis menghadapi masa depan, mengingat korupsi di bangsa kita sudah masuk tahap paling “sempurna”, yakni merasuki lembaga politik dan kekuasaan.

Karena itu, dibutuhkan pemimpin KPK yang bukan hanya berani, cerdas, dan memiliki kejujuran dan moralitas, namun mampu menekan angka korupsi oleh para pejabat publik. 
Pemberantasan korupsi harus memiliki efek terhadap kesejahteraan.

Pemimpin baru harus memiliki visi yang jelas untuk memberantas korupsi di lingkup birokrasi pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan yang terbukti cenderung korup. Sangat jelas bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan. Tanpanya, upaya itu akan berjalan di tempat.

 Tugas pemberantasan korupsi itu begitu berat, mengingat virus korupsi sudah mendarahdaging (internalized) di tubuh birokrasi. Perlu proses yang terencana dan sistematis untuk mengembalikan keadaban pemerintahan kita menuju tata kelola yang baik dan bersih.

Harus diperhatikan secara saksama bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar pencitraan. Kita belum sampai pada proses inti "pemerintahan yang bersih", baru sekadar citra pemerintahan yang bersih. Di dalam kemolekan pemerintahan yang tercitrakan bersih itu, publik secara sadar masih melihat dengan jelas masih begitu banyak kasus korupsi yang dibiarkan begitu saja.

Sebagai bangsa, sepatutnya kita malu, kok manusia Indonesia hampir setiap tahun bertengger di papan atas negara koruptor.

Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, kita berada di tebing kehancuran, hanya selangkah lagi untuk masuk zaman kegelapan. Ketika hukum dan pemerintahan hanya sebatas citra dan goresan kata-kata, kepercayaan sudah hancur.

Negara Hukum

Selama ini, keadilan hukum ditegakkan karena hal tersebut menguntungkan kepentingan penguasa, dan akan diabaikan bila dianggap mengganggu kepentingan politik penguasa.
Jadi, keadilan hukum itu sebenarnya untuk siapa? Sepatutnya para pelaku korupsi dihukum seberat-beratnya, agar menimbulkan efek jera itu. Susahnya, banyak oknum aparat penegak hukum juga pelaku korupsi.

Karena itu, langkah politik pemimpin untuk berada di garda terdepan memimpin pemberantasan korupsi harus disertai dengan teladan agar rakyat mendukung. Untuk mewujudkan keadilan hukum, dibutuhkan iktikad politik yang kuat dari penguasa. Tanpanya, tak mungkin keadilan hukum terwujud.

Selain itu, di negara demokrasi, semua entitas yang berproses di dalamnya tetap harus tunduk di bawah payung hukum. Karena itulah Indonesia memilih sebagai negara hukum (rechstaat) dan bukan negara berciri kekuasaan (machstaat). Kekuasaan, seberapa pun besar dan kuatnya, tetap harus tunduk di bawah norma hukum.

Kekuasaan berperan besar melahirkan hukum yang peka terhadap perasaan publik, hukum yang dipercaya sebagai satu-satunya pijakan atas segala perselisihan yang muncul dalam proses berdemokrasi. Tentu berat dan begitu banyak konsekuensi yang harus ditanggung dari kenyataan ini.

Meski sulit dilaksanakan, kekuasaan tetap harus tunduk dan berada dalam payung hukum. Hukum berkeadilan adalah hukum yang dipercayai dan ditaati. Hukum bisa dipercaya apabila diterapkan prinsip kesetaraan dalam hukum, serta ada ketaatan yang dilandasi komitmen kesederajatan.

Pengawasan Masyarakat

Beberapa kasus korupsi yang muncul dewasa ini sebagian besar terbuka karena kontrol publik yang semakin hari semakin ketat. Walau masih banyak jumlah kasus korupsi yang belum terkuak, lambat tapi pasti dengan kemauan politik yang kuat dan kontrol publik yang semakin disiplin, akan berhasil menguak satu per satu tindakan yang merampok uang negara ini.

Momentum ini bisa mempertegas kembali bahwa korupsi merupakan penyakit kronis yang mengancam kita semua. Karena itu, pemberantasan korupsi akan minim hasilnya tanpa dukungan semua kalangan. Rakyat adalah pihak yang paling dirugikan dalam setiap tindak korupsi.

Kekuasaan seharusnya memelopori pemberantasan korupsi, bukan malah menghambat seperti yang terjadi belakangan ini. Publik berharap Komisi III benar-benar memilih ketua KPK yang tepat. ●