Tampilkan postingan dengan label Krisis Eropa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Krisis Eropa. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Desember 2011

Hello ASEAN+3, good-bye Europe

Hello ASEAN+3, good-bye Europe
Fithra Faisal Hastiadi, RESEARCH ASSOCIATE AT THE ASIAN DEVELOPMENT BANK INSTITUTE (ADBI), TOKYO
Sumber : JAKARTA POST, 13 Desember 2011



A Distinguished Speakers Seminar (DSS) held by the Asian Development Bank Institute (ADBI) in Tokyo in November came to the powerful conclusion that the European mess was getting messier.

As stated by Wyplosz (2011), since late 2009 the European debt crisis has not shown any sign of recovery.

For several reasons, apparently, the policy responses have been wrong. Wyplosz argues that the mother of all mistakes may lie in the policy options to provide ¤110 billion to save Greece through its tough austerity program.

There were two major flaws in this policy. First, it violates the no-bailout clause in the European Central Bank (ECB) system; and second, austerity in the midst of recession cannot act as a remedy.

These factors eventually led to a liquidity crisis that has overwhelmed the European banking system (Collignon, 2011).

Colloquially speaking, the liquidity shock caused a sudden deterioration in specific classes of assets that has spilled over into banks, which are in dire need of liquidity.

The liquidity shortage then put banks in distress as the deteriorating asset prices affected their balance sheets and thus reduced bank capital. These difficulties then spilled over into the real economy in the form of a recession. This recession will most likely see Europe sinking into irrelevance.

Meanwhile, ASEAN is fueled by a youthful spirit that could bring new hope during the current global imbalances. ASEAN members are becoming increasingly connected. The ASEAN region has experienced sustainable growth of intra-regional trade share. In 1990, the intra-regional trade share was only 17 percent but in 2010 the figure swelled to 25.2 percent.

If we expand the coverage to include ASEAN’s plus three countries (China, Japan and Korea), the intra-regional trade figure is becoming more robust.

In 1990, it already reached 47.2 percent and developed over a decade as it leapt to 58.4 percent.
The FTAs and EPAs that have been emerging since mid-2000 have had made a significant contribution to warming of relations among ASEAN+3 countries.

An important factor explaining the success of the ASEAN+3 economies has been their participation in a dynamic, regionally integrated economic structure beyond just ASEAN+3. Strong and dynamic production networks have progressively linked East Asian and ASEAN+3 countries.

The fragmentation of manufacturing production and “fragmented trade” linked to rising intra-industry trade has enabled ASEAN+3 countries to maintain their competitiveness and successfully pursue an export-led development strategy. ASEAN+3 countries have also developed robust, flexible and vibrant small and medium size enterprise (SME) sectors.

While this region has experienced two periods of economic crisis (late 1997 and late 2008), it did well in bouncing back afterward.

During the first crisis, the total ASEAN+3 intra-regional exports fell from US$179,732.1 million in 1997 to $146,166.3 million in 1998. Imports also declined from $186,630.5 million in 1997 to $141,979.3 million in 1998. This number contributed to an almost 3 percent decline of ASEAN+3’s intra-regional trade from 49.9 percent in 1997 to 47.2 percent in 1998. But in 1999 this bounced back well to 49 percent, followed by 51.4 percent in 2000. This figure gave a big boost to East Asian countries at that time to recover from the crisis.

The second crisis in late 2008 also caused regional trade imbalances in ASEAN+3 countries as the total exports and imports fell from $547,427.5 million and $518,966.8 million in 2008 to $450,665.6 million and $411,663.3 million in 2009.

But, again, the regional economy bounced back in 2010 to $630,089.6 million for exports and $609,465.3 million for imports. This bounce was also seen in the intra-regional trade share figure that experienced a hike from 55.8 percent in 2008 to 58.4 percent in 2010.

Comparing these two crisis periods, we can draw the general conclusion that East Asia has learned well in coping with crises. This is reflected by the speed of recovery in 2010 which was better than that of 1999. Also, the closer integration among the countries has created a vaccine-like treatment in the region.

Looking into the future, based on ADB projections, in 2030, per capita GDP in 2007 constant US dollars, will reach 9,012 for ASEAN, 12,361 for China, 40,415 for Japan and 41,674 for Korea.

These figures surely indicate a very optimistic path for the region in taking a powerful role globally, but in order to play that role the region, especially the ASEAN countries, must pay more attention to several crucial factors.

The first of these is infrastructure. The simulation result confirms the importance of infrastructure to create greater room for the region to evolve. The second is industrialization. A one point rise in the industrial index will most likely increase the tendency of economic growth by 0.04 percent. The third is population.

Population is regarded as the most important variable that serves as a foundation for strong growth. A 1 percent increase in the total population will increase the likelihood of regional growth by 0.86 percent.

The sheer size of the East Asian population creates not only the potential demand for the goods traded in the region but also the supply of labor and low absolute level of wages.

This trend is very important since homogeneity in industrialization among countries in the region will assist the progress of economic integration, and thus economic growth.

To wrap up, ASEAN+3 countries should ensure countries within this region that are lagging behind to eventually catch up with the rest.

Sound policy measures that incorporate the expansion of production networks should be set as a common goal for the future of this region. Whether ASEAN+3 moves forward or ends the story like the Europeans is a matter of political will.
 

Minggu, 11 Desember 2011

Berita Gembira (?) dari Eropa


Berita Gembira (?) dari Eropa
Sunarsip, CHIEF ECONOMIST  
Sumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011



Pada 8-9 Desember lalu, telah berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Uni Eropa (UE). Tujuan utama digelarnya KTT ini adalah untuk merumuskan pakta kebijakan fiskal baru sebagai syarat untuk menjamin kelancaran program penyelesaian krisis di Eropa.

Terdapat dua butir kesepakatan penting dari pakta kebijakan fiskal baru ini. Pertama, negara UE berkewajiban menjaga defisit struktural anggaran pemerintah sebesar 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ketentuan ini harus diinternalisasikan ke dalam konstitusi mereka. Ketentuan ini juga harus mengandung mekanisme koreksi secara otomatis ketika terjadi penyimpangan.

Kedua, kesepakatan fiskal baru ini juga akan memiliki prosedur dan kontrol bagi negara-negara yang defisit anggarannya melebihi 3 persen dari PDB (sesuai Maastricht Treaty). Konsekuensinya, akan ada penalti bagi anggota UE yang memiliki defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB.

KTT UE juga menyepakati sejumlah rencana percepatan penyelesaian krisis di Eropa. Pertama, menghentikan keterlibatan swasta dalam penyelesaian utang dan akan lebih mengandalkan IMF. Kedua, UE akan menaikkan plafon dana talangan melalui the European Stability Mechanism (ESM) atau the European Financial Stability Facility (EFSF) hingga 500 miliar euro (670 miliar dolar AS) pada Maret 2012.

Ketiga, UE juga sepakat untuk menyuntikkan dana tambahan kepada IMF sebesar 200 miliar euro (270 miliar dolar AS) dalam bentuk pinjaman bilateral untuk menjamin IMF memiliki dana yang cukup guna mengatasi krisis di Eropa. Dari jumlah itu, sebesar 150 miliar euro berasal dari negara-negara Zona Euro.

Secara umum, hasil kesepakatan dari KTT UE menyiratkan sentimen positif bagi proses pemulihan krisis Eropa. Setelah kesepakatan tersebut, negara-negara lain juga menyatakan minatnya untuk membantu penyelesaian krisis di Eropa, terutama setelah dibukanya mekanisme penyelesaian krisis melalui IMF. Cina yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia menegaskan kesediaannya untuk membantu Eropa. Negara-negara G-20 juga membuka diri ikut terlibat dalam penyelesaian krisis Eropa melalui peminjaman dana kepada IMF dengan syarat negara-negara tersebut melakukan hal yang sama seperti yang telah digariskan dalam kesepakatan KTT UE tersebut.

Serangkaian kejadian pada akhir pekan lalu tersebut menjadi berita gembira bagi pemulihan krisis di Eropa. Faktanya, pascadicapainya kesepakatan tersebut, pasar keuangan global memberikan reaksi positif. Indeks Dow Jones pada Jumat (9 Desember) mengalami kenaikan 186,56 poin atau 1,6 persen menjadi 12.184,26 poin. Pasar saham Eropa secara umum juga menguat. Sayangnya, pasar obligasi pemerintah tidak bergerak setelah European Central Bank (ECB) menegaskan tidak akan melakukan pembelian obligasi pemerintah secara agresif. Padahal, pasar berharap ECB aktif membeli obligasi pemerintah, terutama obligasi dari negara Eropa yang terkena krisis.

Namun, sinyal positif ini diperkirakan belum akan memberikan keyakinan yang cukup bahwa krisis Eropa akan cepat berakhir. Ini mengingat di saat yang sama juga terdapat berita negatif terkait dengan krisis Eropa. Belum lama ini, Standard & Poor's (S&P) mengancam akan menurunkan credit rating untuk EFSF sebesar satu-dua peringkat jika ada penurunan credit rating dari negara-negara yang menjadi penjaminnya.

Di sisi lain, Moody's juga telah memotong peringkat utang tiga bank raksasa asal Prancis, seperti BNP Paribas, Societe Generale dan Credit Agricole. Moody's menurunkan peringkat utang BNP dan Credit Agricole sebanyak satu tingkat menjadi Aa3, sedangkan peringkat Societe Generale dipotong satu tingkat menjadi A1.

Seiring dengan penurunan peringkat utang yang dialami sejumlah negara dan lembaga keuangan di Eropa, harga obligasi sejumlah negara di Eropa kembali tertekan. Secara otomatis, imbal hasil atau yield obligasi tersebut terkerek naik. Pemangkasan peringkat utang itu tentunya akan meningkatkan biaya utang yang secara tak langsung akan menambah beban bagi negara Eropa yang memperoleh pembiayaan dari surat utang tersebut.

Krisis di Eropa ini tentunya perlu dicermati secara serius. Ini mengingat krisis yang disebabkan akibat membengkaknya utang pemerintah ini diperkirakan masih akan berlangsung lama akibat ketidakpastian atas penyelesaiannya serta dimensi permasalahannya yang sangat luas. Saat ini tengah terjadi suatu lingkaran buruk yang secara negatif saling memengaruhi, yaitu antara krisis utang pemerintah, kondisi perbankan yang merapuh, dan aktivitas ekonomi yang melambat, yang pada gilirannya dapat mengeskalasi krisis lebih buruk dan berkepanjangan.

Krisis Eropa jelas telah memberikan efek negatif terhadap perekonomian kita sekalipun masih relatif minimal. Pengaruh dari krisis Yunani telah kita rasakan sejak pertengahan 2010. Pada 2011, optimisme yang tumbuh pada awal tahun atas prospek ekonomi global kembali memudar ketika lembaga pemeringkat kredit Fitch menurunkan peringkat kredit utang Portugal dan Yunani pada April dan Mei 2011. Pada awal September 2011, skala krisis meluas ke Italia dan Spanyol dan memicu investor menilai ulang risiko berinvestasi serta mereposisi portofolio pada aset emerging market, termasuk di Indonesia.

Kita menyaksikan rupiah mengalami tekanan dalam beberapa bulan terakhir di tengah kondisi pasokan valas yang tidak berimbang. Cadangan devisa kita dalam beberapa bulan terakhir juga mengalami penurunan signifikan, baik karena capital outflow maupun untuk kebutuhan stabilisasi nilai tukar. Pada akhir November 2011, cadangan devisa turun menjadi 111,32 miliar dolar AS dari posisi 113,96 miliar dolar pada Oktober 2011. Dalam tiga bulan terakhir ini, cadangan devisa menurun sebesar 13,3 miliar dolar AS.

Dari jalur perdagangan, krisis Eropa juga telah memperlihatkan pengaruh negatifnya. Ekspor pada Oktober lalu memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan, yaitu sebesar -4,21 persen, sedangkan impor mengalami kenaikan sebesar 3,18 persen. Kinerja ekspor impor ini menyebabkan surplus perdagangan mengalami penurunan signifikan menjadi 1,15 miliar dolar dari 2,37 miliar dolar AS pada September 2011. Beruntung, selama 2011, ekonomi Indonesia relatif masih terisolasi dari dampak rambatan krisis Eropa melalui jalur perdagangan karena kuatnya basis permintaan domestik dalam struktur perekonomian.

Pengalaman menunjukkan bahwa penanganan krisis sering menelan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama. Sehubungan dengan belum pastinya prospek pemulihan krisis di Eropa, otoritas sektor keuangan perlu mengantisipasi dampak lanjutan dari krisis di Eropa ini dengan mempersiapkan Protokol Manajemen Krisis (PMK).

Ke depan, nantinya PMK ini perlu dituangkan menjadi suatu pedoman dan payung hukum yang mengatur proses pencegahan dan penanganan krisis secara sistematis dan terintegrasi dalam skala nasional melalui Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dengan kata lain, semestinya pengesahan RUU JPSK ini mendapat prioritas untuk diselesaikan pemerintah dan DPR RI.
● 

Kamis, 08 Desember 2011

Dihantui Krisis Eropa


Dihantui Krisis Eropa
A.  Prasetyantoko, KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LPPM), UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 9 Desember 2011



Bagaimana proyeksi ekonomi Indonesia tahun 2012? Tampaknya krisis Eropa masih menghantui perekonomian dunia tahun depan.

Untuk keempat kalinya dalam setahun, para pemimpin Eropa bertemu di Brussel pada 8-9 Desember. Mereka masih berkutat soal mekanisme penyelesaian krisis. Tema spesifiknya seputar ”paket komprehensif” penyelamatan perekonomian Eropa.

Duet Jerman (Angela Merkel) dan Perancis (Nicolas Sarkozy) atau ”Merkozy” masih menjadi penyangga masa depan 27 negara Uni Eropa, khususnya 17 negara pengguna mata uang euro.

Dalam hal ini ada dua pusaran masalah. Pertama, mereka akan menentukan nasib Uni Eropa dan mata uang euro. Kedua, setiap negara juga bergulat dengan masa depannya sendiri. Bahkan, Perancis berpotensi kehilangan peringkat utang AAA.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), seperti dikutip majalah The Economist (3/12/2011), telah mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Perancis dari 2,1 persen menjadi 0,3 persen pada 2012. Lembaga pemeringkat asal Perancis, Fitch, juga memberi outlook negatif kepada negaranya.

Kini, dari 17 negara pengguna mata uang euro, hanya enam negara yang memiliki peringkat AAA. Jika satu per satu negara melorot peringkat utangnya, masa depan Eropa benar-benar di ujung tanduk.

Masih amankah Indonesia di tengah bayang-bayang krisis Eropa? Meski ekonomi kita akan terus tumbuh karena permintaan domestik yang kuat, harus ada antisipasi, baik jangka pendek maupun panjang, agar kita tidak termakan oleh siklus krisis itu.

Dilema Eropa

Mekanisme penyelesaian krisis menjadi salah satu topik terpanas di antara petinggi Eropa. Wacana pendirian European Stability Mechanism (ESM) sebagai lembaga permanen pemberi dana talangan (bail out) bagi negara terkena krisis masih belum mencapai konsensus. ESM direncanakan mulai bekerja 2013 dan menggantikan fungsi European Financial Stability Facility (EFSF) yang ada saat ini. Untuk itu, harus ada amandemen Maastricht Treaty dengan traktat Uni Eropa baru.

Meskipun Merkel termasuk pelopor ESM, di dalam negeri pendapatnya tidak populer. Free Democratic Party (FDP), partai terbesar di parlemen, keberatan dengan gagasan tersebut. Christian Democratic Union (CDU), partai di mana Merkel berasal, juga cenderung menolak. Bahkan, partai ini mengusung wacana agar Jerman keluar dari zona euro karena dianggap membebani uang pajak masyarakat.

Demikian pula di Perancis. Meskipun Sarkozy ngotot memperjuangkan mekanisme integrasi fiskal yang lebih dalam, posisinya dalam Pemilu April 2012 tidak cukup aman. Francois Hollande, kandidat Presiden Partai Sosialis, diprediksi akan memperoleh banyak suara, mengalahkan Sarkozy.

Proses politik setiap negara menunjukkan adanya fragmentasi sosial-politik seiring dengan fragmentasi ekonomi. Sangat masuk akal karena masyarakat yang selama ini dimanjakan dengan sejumlah jaminan sosial harus kehilangan fasilitas gara-gara kecerobohan negara lain. Tunjangan mereka akan berkurang, ada perpanjangan waktu pensiun, penambahan jam kerja, dan sebagainya. Orientasi politik pun berubah, dan partai berkuasa cenderung tidak dipilih kembali.

Sebenarnya ada tiga kata kunci restrukturisasi perekonomian Eropa. Pertama, pengurangan defisit anggaran setiap negara. Kedua, membayar kembali utang, baik utang swasta (private debt) maupun pemerintah (sovereign debt). Ketiga, meningkatkan daya saing perekonomian. Negara-negara maju kini harus berpikir keras untuk meningkatkan daya saing produk di pasar global. Mereka harus mampu menjual lebih banyak barang untuk menambah devisa. Itulah satu-satunya cara bertahan hidup. Bisa dibayangkan akan terjadi pertarungan perdagangan global yang sengit setelah ini.

Momentum

Meski dibayangi krisis Eropa, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tergolong bagus. Morgan Stanley memprediksi China akan melambat dari perkiraan sebelumnya, 8,7 persen menjadi 8,4 persen, dan India 6,9 persen dari perkiraan sebelumnya 7,4 persen. Pertumbuhan Indonesia hanya terkoreksi dari 5,8 persen menjadi 5,6 persen.

Menurut Bank Indonesia, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 6,3 persen pada 2012. OECD memproyeksikan Indonesia akan memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 persen pada 2012-2016. Berarti Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan paling tinggi di ASEAN.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sangat tergantung pada permintaan domestik yang proporsinya hampir 70 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meskipun dilanda krisis, tetap saja perusahaan-perusahaan berbasis konsumsi meningkat labanya.

Sejumlah penyalur kebutuhan kelas menengah atas, seperti Mitra Adiperkasa (MAP), Debenhams, Zara, juga Starbucks, akan terus ekspansi di Indonesia. Tahun 2010, emiten sektor barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia (BEI) menempati kinerja teratas, naik 63 persen dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meningkat 46 persen. Hingga pertengahan 2011, meski IHSG terkoreksi 2 persen, sektor konsumsi justru naik 16,3 persen.

Tumbuh di Indonesia

Meski dihantui krisis Eropa, L’Oreal tetap saja membangun pabrik terbesarnya di Indonesia. Unilever juga memperbesar belanja modal (capex) sebesar Rp 4,4 triliun pada 2010-2013. Tidak hanya itu, Grup Lotte juga berencana menambah investasi Rp 270 miliar guna menambah outlet. Belum lagi Toyota yang berencana membangun pabrik baru senilai Rp 3,3 triliun.

Piagio, produsen Vespa yang pernah meninggalkan pasar Indonesia pada 1980-an, kini hadir kembali. Tahun 2010 terjual Scooters sekitar 8 juta unit, sementara di Thailand hanya 1,7 juta. Di India terjual 11,3 juta unit dan di China 16 juta unit.

Harian Financial Times (24/11/2011) menurunkan berita tentang banyaknya orang-orang kaya Indonesia yang membeli jet pribadi, Ferrari, yacht, dan apartemen mewah di London.
Perekonomian Indonesia 2012 akan sangat tergantung pada permintaan domestik dengan dukungan daya beli kelas menengah yang terus meningkat. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, hal ini tidak akan bertahan lama. Inflasi harus terkendali, sementara pasokan infrastruktur untuk memperbaiki kondisi logistik harus ditambah. Jika tidak, ekonomi Indonesia akan berujung gelembung (bubble economy).

Di luar itu, kawasan Afrika oleh The Economist (3/12/2011) dianggap sebagai pesaing serius Asia. Sama dengan Indonesia, negara-negara di Afrika umumnya juga kaya sumber daya alam dan komoditas serta memiliki dividen demografi yang besar. Masalahnya pun sama dengan kita, yaitu pemerintah yang tak berdaya. Maka, seberapa cepat Indonesia mampu melakukan reformasi birokrasi, hal itu akan menjadi salah satu kunci keberhasilan kita.

Minggu, 04 Desember 2011

Nasib Rupiah Saat Euro Nyaris Bubar

Nasib Rupiah Saat Euro Nyaris Bubar
A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM, YOGYAKARTA
Sumber : KOMPAS, 5 Desember 2011


Pekan-pekan ini rupiah tertekan. Padahal, beberapa bulan yang lalu kita terkagum dengan kurs rupiah yang mendekati Rp 8.500 per dollar AS sehingga sempat mengira bakal menembus Rp 8.000 per dollar AS. Kini, wacana tersebut harus dihentikan. Rupiah kini melemah ke level Rp 9.100-an per dollar AS.

Mengapa rupiah melemah? Jawabannya adalah kekhawatiran terhadap masa depan euro yang kian kusut. Ketika Eropa panik, investor global cenderung mengalihkan portofolionya ke dollar AS. Ibarat terjadi gempa bumi, orang biasanya akan mencari selamat dengan cara berlindung atau memeluk tiang terbesar (saka guru) di ruang tersebut. Dalam konteks ekonomi, saka guru itu adalah perekonomian AS, yang direpresentasikan dengan dollar AS.

Mengapa investor global tidak memegang yuan, padahal perekonomian China kini sangat kuat? Pertama, meski juga terkena krisis, kekuatan ekonomi AS tetaplah yang terbesar di dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh produk domestik brutonya yang sebesar 14,7 triliun dollar AS. China berada di urutan kedua dengan 5,8 triliun dollar AS dan Jepang di urutan ketiga dengan 5,6 triliun dollar AS.

Kedua, Pemerintah China tidak mau internasionalisasi yuan. Tujuannya, China dapat menjalankan kebijakan moneternya dengan efektif. Jika yuan dipakai di seluruh dunia secara massal, kursnya akan ditentukan oleh mekanisme pasar (tarik-menarik antara penawaran dan permintaan). Karena perekonomian China bagus, berdasarkan pasar, kurs yuan akan menguat secara drastis. Mereka lebih suka yuan yang lemah agar dapat mendorong ekspor.

Lalu, sampai kapan kepanikan ini akan berlanjut? Setelah Paul Krugman meragukan masa depan euro melalui beberapa kolomnya (yang terbaru, ”Killing the Euro”, The New York Times, 1/12/2011), tajuk The Economist (”Is This Really the End?”, 26/11/2011) juga mengungkapkan kerisauan yang sama. Sangat mungkin euro bubar.

The Economist meramalkan, kalau sampai ada bank besar yang kolaps, lalu negara euro perlu lebih banyak lelang obligasi pemerintah, itu bisa memicu kehancuran euro. Salah satu tes penting jangka pendek adalah pada akhir Januari 2012 Italia memerlukan dana di atas 30 miliar euro untuk membayar utang yang jatuh tempo. Jika sampai Bank Sentral Eropa (ECB) tidak membantu menalangi, pasar surat berharga global akan panik.

Masalah peliknya adalah negara-negara yang terkena krisis memerlukan dana talangan besar dari ECB. Namun, ECB menolak untuk dijadikan pihak terakhir yang harus menalangi (lender of last resort). Jika bukan ECB, siapa yang harus membantu? Pemerintah China menegaskan tidak mau menggunakan cadangan devisanya—kini 3,2 triliun dollar AS, terbesar di dunia—untuk menolong Eropa.

Namun, di sisi lain, Jerman dan Perancis juga enggan membubarkan euro. Ini lebih persoalan gengsi dan politis. Jerman dan Perancis ingin membuktikan bahwa mereka bisa mengorganisasikan sebuah mata uang tunggal. Malu, terutama kepada Inggris (yang menolak ikut euro) dan AS (yang sering menyindir dengan istilah the United States of Europe).

Meski secuil, harapan mempertahankan euro masih ada. ECB harus membantu Yunani dan Italia. Sementara negara-negara euro yang sakit harus disiplin menjalankan kebijakan fiskal (austerity) serta mendorong reformasi ekonomi. Ini perlu pengorbanan besar, di mana pembiayaan ”negara sejahtera” (welfare state) harus dipangkas tajam. Mana ada negara yang terkena krisis bisa pulih tanpa pengorbanan besar?

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Pelemahan rupiah bersifat sementara. Ketika pasar surat berharga terkena turbulensi, reaksi yang timbul adalah aksi jual lalu memindahkan dana menjadi dollar AS. Namun, jika respons kebijakan pemerintah tepat, hal itu bisa direduksi.

Pertama, Bank Indonesia (BI) perlu mengerem penurunan suku bunga. Memang suku bunga rendah diperlukan sebagai insentif sektor riil. Namun, kebijakan moneter yang ekspansif bukannya tanpa batas. Batasnya adalah, jika penurunan suku bunga diikuti pelemahan kurs rupiah, kita perlu mengambil jeda.

Memang inflasi November 2011 cukup terkendali 0,34 persen sehingga inflasi year on year 4,15 persen. Adapun inflasi kalender (Januari-November) cukup rendah, 3,2 persen. Dari data ini, inflasi 2011 diduga di bawah 4,5 persen. Meski demikian, ini tidak berarti suku bunga (BI Rate) bisa terus diturunkan di bawah 6 persen. Masalahnya, ekspektasi inflasi 2012 bakal lebih tinggi dari 5 persen karena sangat mungkin terjadi kenaikan harga BBM dan tarif listrik.

Kebijakan lain adalah melanjutkan pembelian kembali obligasi pemerintah (quantitative easing). Di AS, pemerintah mencetak uang untuk ini. Di Indonesia, BI menjalankan strategi ini dengan dollar AS dari cadangan devisa. Tujuannya, meredam kepanikan berupa aksi jual obligasi Pemerintah Indonesia (SBN). Kebijakan ini tidak murah. BI mengeluarkan lebih dari 2 miliar dollar AS. Konsekuensinya, cadangan devisa turun menjadi 112 miliar dollar AS. Di AS, pemerintah mencetak uang 600 miliar dollar AS, yang berisiko inflasi naik dari 2 persen ke 3,8 persen.

Krisis euro kini bergantung pada respons Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy. Kalau mereka berkomitmen meneruskan euro, ECB harus menalangi Italia dalam jumlah signifikan. Kalau opsi ini dipilih, katakanlah pada Januari 2012, kepanikan akan mereda. Pada saat itulah rupiah akan menguat dan kembali ”normal”. Tugas BI selanjutnya adalah menjaga kurs rupiah stabil pada level psikologis Rp 9.000 per dollar AS.

Kalau yang terjadi skenario sebaliknya, euro bisa bubar. Namun, kita belum mudah memercayai skenario ini bakal terjadi dalam waktu dekat. Pertarungan sengit masih terus berlangsung, dengan Angela Merkel dan Nicolas Sarkozy sebagai pemeran utamanya. ●

The Lost Decade


The Lost Decade
Iman Sugema, ANALIS EKONOMI
Sumber : REPUBLIKA, 5 Desember 2011


The lost decade atau dasawarsa yang hilang merupakan istilah yang menempel terhadap negara-negara Amerika Latin, yang mengalami kemunduran kesejahteraan sosial ekonomi setelah mengalami krisis keuangan di tahun 1980-an. Saat itu, sejumlah negara di kawasan tersebut mengalami krisis utang dan perbankan yang selanjutnya memicu resesi yang berkepanjangan. 

Mereka melakukan pengetatan fiskal dan moneter sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi mandul. Masalah pengangguran dan kemiskinan menjadi tidak tertangani dengan baik. Negara-negara tersebut di tahun 1960-an merupakan kelompok negara kaya dan di awal 1990-an kesejahteraannya menurun menjadi setara dengan kelompok negara yang berpenghasilan menengah.

Sekarang, sejumlah negara Eropa kecuali Jerman, Turki, Belanda, dan Belgia sedang menghadapi masalah yang sama. Problem terberat memang dihadapi oleh kelompok Gipsy (Greece, Ireland, Portugal, Spain, dan Italy) yang memiliki tingkat utang yang terlampau tinggi, pengangguran yang semakin melambung, dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Ada beberapa hal yang membuat kita percaya bahwa krisis di Eropa masih akan berlangsung sangat lama, dan bahkan sangat mungkin mereka mengalami the lost decade yang lebih parah dibandingkan Amerika Latin.

Masalah pertama adalah mandulnya kebijakan moneter terutama di kawasan yang mengadopsi euro sebagai mata uang tunggal (Eurozone).  Di kawasan ini, praktis masing-masing 17 negara anggota tidak lagi memiliki kekuasaan untuk mendesain kebijakan moneter sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi. Persoalan intinya bisa jadi sama, yaitu krisis utang, tetapi masalah ikutannya relatif berbeda. 

Irlandia mengalami krisis utang akibat harus melakukan bail out terhadap sektor perbankan. Persoalan Yunani lebih diakibatkan oleh terlalu borosnya pengeluaran pemerintah dalam memberi tunjangan sosial. Kebijakan moneter seharusnya disesuaikan dengan masalah yang dihadapi di setiap negara. Tetapi, itu tidak bisa dilakukan karena mereka telah kehilangan kekuasaan untuk menentukan kebijakan moneter.

Selain itu, mata uang euro tidak mungkin didevaluasi secara besar-besaran supaya kelompok Gipsy dapat memperbaiki sektor riil sehingga memiliki daya saing. Kebijakan seperti ini justru akan lebih menguntungkan Jerman yang memiliki sektor manufaktur yang sangat kuat dan responsif. Selain itu, masalah yang dihadapi oleh Amerika Serikat akan semakin berat karena daya saingnya akan turun kembali.

Masalah kedua adalah kebijakan fiskal ekstraketat yang justru akan lebih memperparah situasi sosial ekonomi. Pemotongan gaji, tunjangan sosial, dan subsidi serta menunda belanja infrastruktur merupakan salah satu cara untuk memperbesar ruang fiskal supaya utang dapat terbayar. Namun, itu juga berarti bahwa perekonomian tidak dapat diselamatkan melalui kebijakan fiskal yang ekspansif.  Negara-negara, seperti Yunani dan Italia, harus melakukan pengetatan fiskal selama 10 sampai 15 tahun ke depan agar terjadi konsolidasi fiskal yang memungkinkan mereka mencapai batas utang yang relatif aman.

Masalah ketiga adalah pengangguran yang semakin tak tertahankan. Dengan lesunya perekonomian, PHK merupakan sebuah cara agar perusahaan tetap dapat bertahan. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana ketahanan sosial yang sangat individualistis akan mampu menyangga ketegangan sosial yang diakibatkan pengangguran. Demo, kriminalitas, dan penjarahan bukanlah pemandangan yang tak lazim sekarang ini di Eropa. Semakin lama terjadi pengangguran massal, semakin hilang ikatan-ikatan sosial, dan dengan demikian ledakan krisis sosial tinggal menunggu waktu saja.

Masalah keempat adalah struktur penduduk yang semakin menua (ageing population).Sedangkan perekonomian membutuhkan tenaga-tenaga produktif untuk bangkit, yang tersedia justru adalah para lansia. Karena itu, dalam jangka panjang Eropa akan sangat sulit bangkit perekonomiannya.

Masalah yang kelima adalah tatanan demokrasi yang tak cukup lentur untuk dapat memecahkan masalah secara cepat. Alih-alih dapat memecahkan masalah, sistem demokrasi parlementer gaya Eropa justru mengalami krisis. Krisis politik yang paling mutakhir terjadi di Yunani dan Italia menyebabkan perdana menteri di kedua negara tersebut harus mundur. Krisis keuangan telah memicu krisis politik.

Krisis yang terjadi di Eropa telah menjadi krisis multidimensional yang terdiri atas krisis ekonomi, sosial, dan politik. Kita sendiri telah memiliki pengalaman yang sangat pahit menghadapi masalah seperti ini sehingga paling lamban keluar dari krisis. Luka akibat krisis masih kita rasakan sekarang.

Eropa, seperti halnya pernah dialami oleh Amerika Latin dan kita, tampaknya masih akan menghadapi masalah-masalah yang semakin pelik dalam beberapa waktu ke depan. Pertanyaannya, apakah ikatan-ikatan sosial dan nilai-nilai masyarakat Eropa akan mampu menghadapi ujian berat tersebut. Kalau tidak, yang mungkin kita akan saksikan adalah kerusuhan sosial yang semakin sulit untuk diatasi. ●

Senin, 28 November 2011

Star Wars Vs Jurassic Park


Star Wars Vs Jurassic Park

Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 28 November 2011


Sebagian besar dari kita mungkin sepakat, ekonomi Indonesia sedang bersinar. Setidaknya itu pesan yang saya tangkap dari sejumlah pertemuan di forum internasional beberapa tahun terakhir.

Dalam pertemuan terbatas dengan top executive Toyota dalam Toyota World Convention dua minggu lalu di Amerika Serikat, Chairman Toyoda secara spesifik dan antusias meminta saya memaparkan perkembangan positif ekonomi Indonesia.

Data memang mendukung optimisme ini. Sampai triwulan ketiga 2011, ekonomi tumbuh 6,5 persen, investasi terus meningkat, inflasi di bawah 5 persen, jumlah penganggur menurun, serta penjualan mobil, sepeda motor, semen, dan ritel begitu kuat karena didorong kelas konsumen baru.

Di tengah semua optimisme itu, satu pertanyaan muncul, risiko apa yang bisa membuat optimisme ini meredup? Ini pertanyaan yang amat penting. Saya kira ada dua risiko yang mungkin mengganggu kita.

Risiko Sektor Keuangan. 
Dampak dari krisis Eropa akan mulai terasa di Indonesia awal tahun 2012. Di Eropa akan terjadi kompetisi terhadap modal dan deleveraging (penurunan kinerja).
Implikasinya, perbankan di Eropa mulai memperlambat penyaluran kreditnya ke Asia. Beberapa negara Asia berisiko menghadapi risiko pengetatan kredit (credit crunch). 
Pemicunya, penarikan whole funding dari sektor perbankan domestik atau penurunan pasokan kredit serta pembiayaan perdagangan.

Benar, Indonesia tak memiliki eksposur yang besar ke Eropa. Namun, jika negara Asia terkena, Indonesia bukan kekecualian.

Kita sudah mulai merasakan terbatasnya likuiditas dollar AS saat ini. Perbankan akan ada dalam tekanan.

Di sini kita harus berhati-hati. Saya khawatir maksud baik Bank Indonesia untuk mendorong perbankan melakukan ekspansi kredit di satu sisi, sambil membatasi net-interest margin (NIM) dan kepemilikan bank di sisi lain, akan menimbulkan ketidakstabilan di sektor keuangan—khususnya untuk bank kecil dan menengah.

”Anjuran” Bank Indonesia untuk mendorong kredit perbankan akan membuat rasio kecukupan modal, capital adequacy ratio (CAR), menurun. Jika CAR menurun, pemilik bank harus menyuntikkan modal.

Bayangkan dalam situasi krisis, bank butuh modal, tetapi kepemilikan dibatasi dan NIM dikurangi. Implikasinya, tak ada insentif menyuntik modal. Tanpa modal yang kuat, posisi bank—khususnya bank kecil dan menengah—sangat rentan terhadap krisis.

Risiko Infrastruktur

Kedua, risiko infrastruktur. Dengan kapasitas listrik, pelabuhan, jalan, dan bandar udara yang masih seperti ini—jauh dari memadai—sulit untuk mencapai pertumbuhan di atas 7 persen.
Lihat bagaimana berisikonya Bandara Soekarno-Hatta karena keterbatasan infrastruktur. 
Keselamatan penumpang dipertaruhkan. Saya berkali-kali mengatakan, fokus saja pada infrastruktur. Selesaikan undang-undang pembebasan lahan dan peraturan pemerintahnya.
Jika infrastruktur tak juga kunjung beres dan negara gagal menyediakan infrastruktur publik, pelaku ekonomi terpaksa membangun sendiri infrastrukturnya.

Gejala ini sudah mulai terjadi. Beberapa perusahaan membangun sendiri pelabuhan, jalan, dan logistiknya. Sepintas, ini baik, tetapi sesungguhnya kita memasuki sebuah era yang amat mengkhawatirkan. Jika barang publik terpaksa diubah menjadi barang privat karena ketidakmampuan negara menyediakan jasa publik, disparitas akan meningkat.

Bayangkan jika setiap perusahaan harus membangun infrastruktur sendiri. Betapa mahalnya. Data Statistik Industri bicara, sebagian besar pengguna generator adalah perusahaan besar. Sebaliknya perusahaan kecil dan menengah lebih bergantung kepada PLN. Logis, karena generator membutuhkan biaya lebih tinggi. Hanya yang besar yang mampu. Implikasinya adalah keterbatasan pasokan listrik memukul industri kecil dan menengah.

Dalam kasus air bersih, studi Bank Dunia (1988) menyatakan, air bersih dijual pedagang kepada masyarakat yang tak memiliki akses air dengan harga 4-9 kali lebih mahal.
Dalam transportasi, buruknya fasilitas angkutan publik memaksa orang membeli kendaraan pribadi, yang pasti lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan transportasi publik.

Pendeknya, usaha kecil dan penduduk miskin yang paling dirugikan oleh keterbatasan infrastruktur. Di sini kita melihat, kegagalan negara menyediakan infrastruktur publik hanya akan memukul yang kecil.

Kasus ini berbeda dengan privatisasi karena dalam kasus ini swasta terpaksa masuk walau secara ekonomis tak efisien karena tak ada pilihan lain. Barang publik diubah menjadi barang privat demi meminimalkan kerugian, bukan untuk meningkatkan keuntungan atau kesejahteraan.

Ketimpangan akan meningkat. Ini risiko yang amat serius. Bisa dibayangkan, pendapatan semakin meningkat, kelas konsumen baru berkembang. Kelas konsumen baru yang cerewet dengan pendapatan yang lebih baik akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik yang lebih baik. Sementara di sisi lain, infrastruktur publik semakin tidak tersedia.

Pemerintah dan politisi harus menyadari ini dan mengimplementasikan pembangunan infrastruktur. Jika tidak, ketidakseimbangan ini akan memicu konflik politik antara perilaku ekonomi modern ala Star Wars dengan cara pikir politisi dan pemerintah ala Jurassic Park. ●