Nasib Rupiah Saat Euro Nyaris Bubar
A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM, YOGYAKARTA
Sumber : KOMPAS, 5 Desember 2011
Pekan-pekan ini rupiah tertekan. Padahal, beberapa bulan yang lalu kita terkagum dengan kurs rupiah yang mendekati Rp 8.500 per dollar AS sehingga sempat mengira bakal menembus Rp 8.000 per dollar AS. Kini, wacana tersebut harus dihentikan. Rupiah kini melemah ke level Rp 9.100-an per dollar AS.
Mengapa rupiah melemah? Jawabannya adalah kekhawatiran terhadap masa depan euro yang kian kusut. Ketika Eropa panik, investor global cenderung mengalihkan portofolionya ke dollar AS. Ibarat terjadi gempa bumi, orang biasanya akan mencari selamat dengan cara berlindung atau memeluk tiang terbesar (saka guru) di ruang tersebut. Dalam konteks ekonomi, saka guru itu adalah perekonomian AS, yang direpresentasikan dengan dollar AS.
Mengapa investor global tidak memegang yuan, padahal perekonomian China kini sangat kuat? Pertama, meski juga terkena krisis, kekuatan ekonomi AS tetaplah yang terbesar di dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh produk domestik brutonya yang sebesar 14,7 triliun dollar AS. China berada di urutan kedua dengan 5,8 triliun dollar AS dan Jepang di urutan ketiga dengan 5,6 triliun dollar AS.
Kedua, Pemerintah China tidak mau internasionalisasi yuan. Tujuannya, China dapat menjalankan kebijakan moneternya dengan efektif. Jika yuan dipakai di seluruh dunia secara massal, kursnya akan ditentukan oleh mekanisme pasar (tarik-menarik antara penawaran dan permintaan). Karena perekonomian China bagus, berdasarkan pasar, kurs yuan akan menguat secara drastis. Mereka lebih suka yuan yang lemah agar dapat mendorong ekspor.
Lalu, sampai kapan kepanikan ini akan berlanjut? Setelah Paul Krugman meragukan masa depan euro melalui beberapa kolomnya (yang terbaru, ”Killing the Euro”, The New York Times, 1/12/2011), tajuk The Economist (”Is This Really the End?”, 26/11/2011) juga mengungkapkan kerisauan yang sama. Sangat mungkin euro bubar.
The Economist meramalkan, kalau sampai ada bank besar yang kolaps, lalu negara euro perlu lebih banyak lelang obligasi pemerintah, itu bisa memicu kehancuran euro. Salah satu tes penting jangka pendek adalah pada akhir Januari 2012 Italia memerlukan dana di atas 30 miliar euro untuk membayar utang yang jatuh tempo. Jika sampai Bank Sentral Eropa (ECB) tidak membantu menalangi, pasar surat berharga global akan panik.
Masalah peliknya adalah negara-negara yang terkena krisis memerlukan dana talangan besar dari ECB. Namun, ECB menolak untuk dijadikan pihak terakhir yang harus menalangi (lender of last resort). Jika bukan ECB, siapa yang harus membantu? Pemerintah China menegaskan tidak mau menggunakan cadangan devisanya—kini 3,2 triliun dollar AS, terbesar di dunia—untuk menolong Eropa.
Namun, di sisi lain, Jerman dan Perancis juga enggan membubarkan euro. Ini lebih persoalan gengsi dan politis. Jerman dan Perancis ingin membuktikan bahwa mereka bisa mengorganisasikan sebuah mata uang tunggal. Malu, terutama kepada Inggris (yang menolak ikut euro) dan AS (yang sering menyindir dengan istilah the United States of Europe).
Meski secuil, harapan mempertahankan euro masih ada. ECB harus membantu Yunani dan Italia. Sementara negara-negara euro yang sakit harus disiplin menjalankan kebijakan fiskal (austerity) serta mendorong reformasi ekonomi. Ini perlu pengorbanan besar, di mana pembiayaan ”negara sejahtera” (welfare state) harus dipangkas tajam. Mana ada negara yang terkena krisis bisa pulih tanpa pengorbanan besar?
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Pelemahan rupiah bersifat sementara. Ketika pasar surat berharga terkena turbulensi, reaksi yang timbul adalah aksi jual lalu memindahkan dana menjadi dollar AS. Namun, jika respons kebijakan pemerintah tepat, hal itu bisa direduksi.
Pertama, Bank Indonesia (BI) perlu mengerem penurunan suku bunga. Memang suku bunga rendah diperlukan sebagai insentif sektor riil. Namun, kebijakan moneter yang ekspansif bukannya tanpa batas. Batasnya adalah, jika penurunan suku bunga diikuti pelemahan kurs rupiah, kita perlu mengambil jeda.
Memang inflasi November 2011 cukup terkendali 0,34 persen sehingga inflasi year on year 4,15 persen. Adapun inflasi kalender (Januari-November) cukup rendah, 3,2 persen. Dari data ini, inflasi 2011 diduga di bawah 4,5 persen. Meski demikian, ini tidak berarti suku bunga (BI Rate) bisa terus diturunkan di bawah 6 persen. Masalahnya, ekspektasi inflasi 2012 bakal lebih tinggi dari 5 persen karena sangat mungkin terjadi kenaikan harga BBM dan tarif listrik.
Kebijakan lain adalah melanjutkan pembelian kembali obligasi pemerintah (quantitative easing). Di AS, pemerintah mencetak uang untuk ini. Di Indonesia, BI menjalankan strategi ini dengan dollar AS dari cadangan devisa. Tujuannya, meredam kepanikan berupa aksi jual obligasi Pemerintah Indonesia (SBN). Kebijakan ini tidak murah. BI mengeluarkan lebih dari 2 miliar dollar AS. Konsekuensinya, cadangan devisa turun menjadi 112 miliar dollar AS. Di AS, pemerintah mencetak uang 600 miliar dollar AS, yang berisiko inflasi naik dari 2 persen ke 3,8 persen.
Krisis euro kini bergantung pada respons Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy. Kalau mereka berkomitmen meneruskan euro, ECB harus menalangi Italia dalam jumlah signifikan. Kalau opsi ini dipilih, katakanlah pada Januari 2012, kepanikan akan mereda. Pada saat itulah rupiah akan menguat dan kembali ”normal”. Tugas BI selanjutnya adalah menjaga kurs rupiah stabil pada level psikologis Rp 9.000 per dollar AS.
Kalau yang terjadi skenario sebaliknya, euro bisa bubar. Namun, kita belum mudah memercayai skenario ini bakal terjadi dalam waktu dekat. Pertarungan sengit masih terus berlangsung, dengan Angela Merkel dan Nicolas Sarkozy sebagai pemeran utamanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar