Senin, 12 Desember 2011

Hambatan Pengembangan Industri


LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Hambatan Pengembangan Industri
Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011


Mengembangkan industri dalam negeri membutuhkan upaya yang tidak sederhana. Upaya tersebut harus dimulai dengan memetakan persoalan yang dihadapi setiap sektor industri terlebih dahulu. Memetakan persoalan dengan tepat dan diikuti solusi yang sesuai akan memandu Indonesia menahan fase deindustrialisasi yang tengah berlangsung.

Meski sudah menapaki sektor industri lebih dari 30 tahun, Organisasi Pengembangan Industri PBB menyatakan Indonesia tidak pernah menjadi negara industri. Indonesia baru menjadi negara semi-industri karena tidak memenuhi beberapa kriteria sebagai syarat sebuah negara industri.

Bank Dunia pun pada 2008 pernah melansir berita bahwa sejak 2003 daya saing Indonesia dalam kancah industri antarbangsa memperlihatkan adanya paradoks. Di satu sisi, terjadi peningkatan daya saing komoditas hasil industri Indonesia di pasar dunia. Namun, di sisi lain, industri dalam negeri banyak yang gulung tikar.

Sementara ekonom di dalam negeri banyak yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang masuk dalam proses deindustrialisasi. Data menunjukkan, pada 2009 terdapat 2.635 perusahaan industri yang tutup. Pada saat yang sama hanya 2.018 perusahaan yang baru tumbuh. Selisih angka-angka tersebut menunjukkan pertumbuhan perusahaan industri yang minus, yaitu sebesar 2 persen dari total industri yang ada.

Peran sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto pun kian menurun dalam lima tahun terakhir. Porsinya tinggal sekitar 26 persen terhadap PDB. Porsi paling besar berada di sektor-sektor tersier (48 persen).

Secara makro, ciri-ciri deindustrialisasi dapat dilihat dari melambatnya pertumbuhan sektor industri, menurunnya kontribusi sektor industri terhadap PDB, melemahnya sektor industri dalam penyerapan tenaga kerja, tingginya ekspor primer tanpa nilai tambah, dan lonjakan produk impor yang dijual dengan harga murah.

Adapun secara mikro, ciri-ciri deindustrialisasi dapat dilihat dari meningkatnya sektor informal akibat pemutusan hubungan kerja sektor manufaktur dan menurunnya kapasitas produksi. Hasil studi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 2010 bahkan menunjukkan banyaknya produsen beralih menjadi pedagang karena tingkat risiko bisnis yang rendah.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Mulai dari tidak dikuasainya rantai pasokan untuk meningkatkan daya saing, ekonomi biaya tinggi, lemahnya dukungan perbankan dan infrastruktur, hingga keterbatasan inovasi teknologi. Tidak dikuasainya rantai pasokan (supply chain) untuk meningkatkan daya saing industri menunjukkan adanya pemetaan masalah yang tidak sempurna dalam rantai nilai dari hulu hingga hilir. Akibatnya, langkah penanganannya pun menjadi tak tepat sasaran.

Litbang Kompas mencoba memetakan persoalan daya saing industri di tiga sektor, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT), kerajinan ukiran, serta kerajinan perak dari sisi rantai nilai dengan keterkaitan ke belakang (backward) dan ke depan (forward). Secara sederhana, rantai nilai dengan keterkaitan ke belakang bermakna hubungan industri dengan input-input atau proses penyediaan bahan baku (praproduksi hingga produksi). Sementara rantai nilai dengan keterkaitan ke depan terkait dengan kegiatan pascaproduksi ketika produk dilempar ke pasar.

”Backward” dan ”Forward”

Hasil survei terhadap pelaku UKM di tiga sektor industri ini menunjukkan pola persoalan yang berbeda. Industri TPT memiliki persoalan keterkaitan ke belakang yang lebih banyak dibandingkan dengan dua industri lain. Dari 15 variabel yang diukur, industri TPT memiliki hambatan praproduksi di 10 variabel.

Dalam berproduksi, industri TPT menghadapi persoalan utama terkait ketersediaan bahan baku. Untuk tahun ini saja, Asosiasi Pertekstilan Indonesia di Jawa Barat menyebutkan industri tekstil pada awal tahun mengalami kekurangan bahan baku kapas. Penghasil kapas, seperti Amerika Serikat, China, Pakistan, dan Australia, mengalami kegagalan panen. Juga terjadi perubahan fungsi lahan dari ladang kapas menjadi ladang jagung. Hal ini menyebabkan suplai berkurang yang akibatnya tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain.

Namun, bukan soal bahan baku itu saja. Masih ada kendala terkait permesinan yang berumur tua, jenis dan biaya transportasi, retribusi dan pungutan liar terhadap bahan baku yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, pemanfaatan teknologi, peran perbankan, ketersediaan energi listrik, serta regulasi di daerah yang membebani. Hambatan sebelum dan selama berproduksi inilah yang lebih dirasakan industri TPT ketimbang saat produk sudah dilempar ke pasar. Setelah proses produksi, relatif perusahaan TPT tidak menemui hambatan karena produksinya masih mudah diserap pasar, baik pasar domestik maupun ekspor.

Para pelaku UKM TPT mengakui, perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China dapat dan telah membuat rantai produksi terganggu. Impor pakaian jadi meniadakan proses pengolahan. Namun, produksi lokal masih tertolong karena sejumlah inovasi yang dilakukan dan adanya momen musiman seperti awal tahun ajaran baru atau hari-hari raya agama yang membuat permintaan produk masih cukup tinggi.

Persoalan di industri kerajinan, seperti perak dan ukiran, lain lagi. Meskipun tidak memiliki hambatan keterkaitan ke belakang sebanyak industri TPT, ia juga mengalami kesulitan utama dalam penyediaan bahan baku. Namun, kesulitan ini bisa diatasi dengan diversifikasi bahan baku.

Persoalan di kedua jenis industri kerajinan ini lebih banyak terkait dengan kegiatan pascaproduksi. Dari 14 variabel yang diukur, industri kerajinan perak dan ukiran memiliki hambatan pascaproduksi di 10 variabel. Hambatan tersebut menyangkut strategi memasarkan produk, pemenuhan selera konsumen, pungli dan retribusi saat pemasaran, jumlah konsumen yang menyusut, serta ketiadaan asosiasi yang bisa memperjuangkan nasib mereka.

Persoalan berbeda yang dihadapi ketiga industri ini pada dasarnya terletak pada karakteristik produk. Untuk industri yang produknya termasuk barang tidak tahan lama (seperti tekstil dan produknya), permintaan pasar cenderung lebih dinamis (elastis). 

Dengan demikian, persoalan pascaproduksi relatif minim. Sementara industri yang produknya tergolong barang tahan lama, permintaan pasarnya lebih kaku (inelastis) sehingga persoalan cenderung terletak pada pascaproduksi. Penyerapan produk sangat ditentukan oleh kondisi daya beli masyarakat.

Pemetaan persoalan seperti ini perlu dilakukan di seluruh sektor industri untuk mendapatkan solusi yang tepat dan terarah. Dengan menguraikan persoalan satu demi satu, kebijakan yang diambil akan lebih tepat sasaran sehingga dapat meningkatkan daya saing industri.
(GIANIE/RATNA SRI WIDYASTUTI/BIMA BASKARA, Litbang Kompas)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar