Selasa, 13 Desember 2011

Agama dan Sikap terhadap Waria


Agama dan Sikap terhadap Waria
Abdul Muiz Ghazali, ALUMNUS PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA, JOGJAKARTA
Sumber : JIL, 12 Desember 2011


“Kita membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria. Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah, bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya.”

Waria dianggap meresahkan. Mereka diusir, dianiaya, dan dibunuh. Tak jarang pemerintah melalui aparaturnya seperti polisi dan satpol PP melakukan sejumlah penggerebekan terhadap waria. Tindak kekerasan dan diskriminasi tak pernah sirna dari kehidupan waria. Peminggiran bahkan tak hanya terhadap waria, tapi juga terhadap siapa saja yang mendampingi dan mendiskusikan tentang waria. Dengan demikian, tak banyak orang yang berani turun tangan mengadvokasi waria. Sebab, waria telah dipandang sebagai penyimpangan. Waria dianggap sumber maksiat dan kejahatan. Menurut kelompok kontra waria, Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan, tidak waria.

Tak satu pun ayat al-Qur’an yang menyinggung jenis kelamin (identitas seks) selain laki-laki (al-dzakar) dan perempuan (al-untsa). Tetapi, dalam hadits disebut jenis kelamin lain yang dinamakan khuntsa, yakni seseorang yang mempunyai alat kelamin ganda (hermaphrodit). Kitab-kitab fikih telah banyak menyinggung soal hukum khuntsa ini, bahkan fikih telah mengajukan satu kategori lebih lanjut, yaitu khuntsa musykil, berikut postulat-postulat hukumnya. Dengan demikian, khuntsa bukan waria karena waria hanya memiliki satu alat kelamin: penis. Waria lebih tepat dipahami sebagai seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual perempuan. Kondisi seperti ini dalam hadits dinamakan mukhannats, yaitu laki-laki yang menyerupai perempuan.

Dalam hadits riwayat ‘Aisyah dikatakan bahwa seorang mukhannats pernah masuk ke ruangan istri-istri Nabi. Lalu Nabi tak menginginkannya. Nabi bersabda, “Tidakkah kamu lihat, mukhannats ini mengerti apa saja yang ada di sini. Maka, jangan masukkan mereka ke rumah kalian”. Setelah itu, istri-istri Nabi menghalangi mukhannats tersebut jika yang bersangkutan hendak memasuki rumah. (HR. Muslim). Menghadapi hadits ini, al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim coba membuat kategorisasi. Yaitu, mukhannats min khalqin (given) dan mukhannats bi al-takalluf (constructed). Pada yang pertama, menurut al- Nawawi, mereka tidak tercela dan tidak berdosa. Bergaul dengan mereka tidak dilarang. Sementara terhadap yang kedua, hukumnya dosa dan terlaknat.

Setarikan nafas dengan al-Nawawi adalah pendapat Ibn Hajar. Ia juga membagi mukhannats ke dalam dua bagian: min ashlil khilqah (tercipta sejak dalam janin) dan bil qashdi (lelaki yang dengan sengaja memoles dirinya dan berperilaku seperti perempuan).  Menurut Ibn Hajar, jenis pertama tak terlaknat (ghair mal’un) tapi harus tetap diupayakan agar yang bersangkutan bisa mengubah diri menjadi lelaki sejati. Membiarkan dan merelakan diri dengan kondisi itu tanpa ada usaha, ia akan tetap mendapat celaan—celaan sosial juga teologis.

Pandangan al-Nawawi dan Ibn Hajar “diinspirasikan” oleh firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 5. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa penciptaan manusia itu ada yang sempurna (mukhallaqah) dan ada yang tak sempurna (ghair mukhallaqah). Mayoritas mufassir memahami ghair mukhallaqah ini sebagai ketidaksempurnaan secara jasmaniah, baik berupa keguguran maupun cacat. Ini wajar karena para mufassir hanya melihat apa yang ada saat itu dan ilmu pengetahuan masih belum berkembang seperti sekarang ini.

Namun, jika memperhatikan penjelasan kedokteran, kita akan menemukan penjelasan lain. Janin bermula dari zygote, penyatuan sperma dan ovum. Jika zygote mengandung satu kromosom X dari perempuan dan satu kromosom Y dari laki-laki, maka ia akan menjadi janin laki-laki. Sebaliknya, jika zygote terdiri dari kromosom X dari benih laki-laki dan satu kromosom X dari benih perempuan, maka ia akan menjadi janin perempuan. 

Tapi, jika dalam zygote terjadi kombinasi tanpa mengalami pembelahan kromosom, maka si janin akan mengidap kelainan. Bukan hanya itu, ketika janin berusia delapan minggu akan tetapi kurang mendapat asupan testoteron ke otaknya, sekalipun berjenis kelamin laki-laki, maka secara kejiwaan, termasuk orientasi seksualnya, adalah perempuan.

Itu mungkin yang dimaksud ghair mukhallaqah dalam ayat tersebut. Sebab, dalam al-Qur’an terdapat penjelasan bahwa ada sebagian lelaki yang tidak berhasrat secara seksual dan tidak menginginkan untuk hidup bersama perempuan. Al Qur’an menamakannya sebagai ghair uli al-irbat min al rijal (QS., 24:31). Waria secara kejiwaan memang tidak memiliki hasrat untuk membangun rumah tangga dengan perempuan. 

Sebaliknya, sebagaimana perempuan, waria menghendaki membangun rumah tangga bersama laki-laki. Ini hanya sedikit ayat yang bisa dipakai untuk merespons waria, bahwa waria adalah seorang lelaki yang sejak dalam janin memiliki “kelainan” otak atau jiwa (ghair mukhallaqah) yang tidak memiliki hasrat seksual sedikitpun terhadap wanita (ghair uli al-irbat).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan waria dalam hukum Islam? Bagaimana tentang perilaku seksualnya? Sama-sama “berkelainan”, waria berbeda dengan khuntsa (hermaphrodit). Waria tak pernah menjadi diskursus dalam fikih Islam. Misalnya, tentang shalatnya, zakatnya, hajinya, dan hukum warisnya. Diskursus tentang waria selalu mengarah pada perilaku seksualnya. Waria (di)identik(kan) dengan sodomi atau liwath. Tentang sodomi ini, nyaris semua ulama mengharamkannya. Sodomi dianggap sebagai perilaku seksual abnormal, menjijikkan dan karena itu harus diajuhi. 

Dalil yang menjadi sandaran keharamannya adalah al-Qur’an yang mengisahkan tentang kisah Nabi Luth (misalnya, QS., 7:80-81; 26:165-166; 27:54-55). Sejumlah hadits yang mengutuk perilaku kaum Luth juga banyak.

Namun sebagaimana zina, seluruh ulama memberi satu rambu bahwa tuduhan sodomi memerlukan empat saksi yang masing-masing saksi melihat dengan mata telanjang masing-masing, hubungan seksual itu dilakukan. Tanpa ada empat orang saksi, tuduhan itu tidak sah dan penuduhnya bisa mendapat hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Dengan perkataan lain, menuduh sodomi kepada waria tanpa menghadirkan empat orang saksi adalah qadzaf, sebuah tuduhan palsu yang notabene adalah tindak kriminal. Apalagi tak seluruh waria melakukan praktek sodomi. Tak sedikit di antara mereka, yang memandang bahwa sodomi adalah kejahatan. Karena itu, menghindari generalisasi terhadap perilaku seksual waria adalah jalan arif dan bijaksana.

Dalam kasus sodomi banyak waria mempertanyakan, kenapa hanya waria yang dipersalahkan. Kenapa publik tak juga menghukum para pria yang datang menghampiri para waria. Di sini tampak adanya diskriminasi dan ketidakadilan. Sebab, demikian waria beragumen, sodomi itu mengandaikan dua pihak: waria dan pria yang mendatangi. Para waria juga kerap bertanya, jika perilaku seksual waria dianggap menyimpang, mengapa orang ramai tak jua memandang perilaku pria yang menyodomi waria sebagai menyimpang.

Dengan penjelasan-penjelasan ini, kita membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria. Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah, bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar