Senin, 12 Desember 2011

Senjakala Perumahan Rakyat

LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Senjakala Perumahan Rakyat
Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011



Tahun 2011 menoreh catatan manis bagi industri properti. Derapnya kian lincah, baik sektor perkantoran, kondominium, apartemen sewa, residensial, pusat perbelanjaan, maupun kawasan industri.

Kegairahan bisnis properti masih menjanjikan harapan cerah pada 2012. Pertumbuhan ekonomi nasional, perkembangan industri, dan meningkatnya kaum menengah baru menjadi kunci gairah investasi.

Meski demikian, semarak properti menyisakan potret buram di sektor perumahan rakyat menengah bawah. Perumahan rakyat mulai memasuki ”zona merah”, ditandai dengan kekurangan rumah yang semakin kronis.

Dalam evaluasi perumahan rakyat, awal Desember lalu, Kementerian Perumahan Rakyat mengakui pemenuhan rumah rakyat di Indonesia sudah mencapai kondisi darurat. Jika pada 2004 rumah tangga di Indonesia kekurangan rumah 5,4 juta unit, tahun 2010, Badan Pusat Statistik mencatat kekurangan bisa 13,6 juta unit.

Krisis rumah rakyat sesungguhnya sudah bisa diprediksi. Pertumbuhan kebutuhan rumah setiap tahun mencapai 800.000 unit, sedangkan ketersediaan rumah tidak lebih dari 500.000 unit. Apabila 70 persen kebutuhan rumah itu berasal dari masyarakat menengah bawah, bisa dipastikan segmen masyarakat ini kian jauh dari hak dasarnya memperoleh rumah layak.

Harga rumah susun bersubsidi dipatok maksimum Rp 144 juta per unit, rumah tapak maksimum Rp 70 juta per unit, sedangkan rumah murah Rp 25 juta per unit. Sasaran rumah susun subsidi adalah masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan, sedangkan rumah tapak dan rumah murah adalah masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 2,5 juta per bulan.

Untuk membantu penyerapan rumah bagi segmen masyarakat ini, pemerintah menggulirkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP sejak Oktober 2010. FLPP berupa subsidi suku bunga kredit tetap sebesar 8,15-9,95 persen selama tenor 15 tahun. Dana dihimpun dari pemerintah dan perbankan.

Tahun 2010, anggaran FLPP dari pemerintah sebesar Rp 2,6 triliun untuk membiayai kredit rumah susun, rumah tapak sederhana, dan rumah murah bagi masyarakat menengah bawah. Namun, terobosan pemerintah dalam pembiayaan perumahan terganjal sejumlah masalah.

Sejak 2010, pengembang menghentikan pembangunan rumah susun bersubsidi di DKI Jakarta, padahal 60 persen kebutuhan rumah susun berada di Jakarta. Pengembang tiarap karena proyek rusun sederhana dinilai tak lagi menguntungkan akibat ketidakjelasan perizinan dan kriteria konsumen rumah susun subsidi yang memberatkan. Oktober 2011, hanya satu pengembang menyatakan minat membangun rumah susun di Jakarta.

Dari sisi pembiayaan, kinerja bank pelaksana untuk menyalurkan FLPP masih jauh dari harapan. Hingga 7 November 2011, realisasi FLPP baru 74.400 unit atau 46,23 persen dari target penyaluran 160.925 unit, dengan nilai Rp 2,45 miliar. Dari jumlah tersebut, penyerapan rumah susun subsidi hanya 116 unit atau 11 persen dari target 1.000 unit.

Selama ini, pengembang membangun rumah tapak bersubsidi berukuran 22-36 m2 yang dijual dengan harga maksimum Rp 70 juta per unit. Dengan ketentuan baru tipe rumah minimal 36 m2, pengadaan rumah akan sulit, terutama di kota-kota besar yang harga tanahnya semakin mahal.

Di tengah krisis pengadaan rumah tapak, pemerintah membuat langkah blunder dengan rencana menaikkan harga patokan maksimum rumah susun subsidi pada 2012. Bisa dipastikan, masalah rumah rakyat akan melebar tidak sebatas pengadaan dan pembiayaan, tetapi juga keterjangkauan rumah.

Dengan harga patokan maksimum rumah subsidi saat ini, penyerapan rumah masih rendah. Kenaikan harga rumah subsidi akan menambah sulit keterjangkauan rumah bagi masyarakat menengah bawah. Kesenjangan pemenuhan kebutuhan dasar yang meruncing dapat mengganggu stabilitas sosial kemasyarakatan.

Kegagalan sistem kelembagaan penyediaan rumah publik harus segera disikapi. Pembangunan rumah tak bisa lagi diserahkan penuh kepada pengembang yang berorientasi mencari keuntungan. Saatnya pemerintah mengikuti jejak negara-negara maju yang dominan dalam penyediaan rumah rakyat. Di Singapura, 80 persen rumah susun publik dibangun pemerintah.

Pembentukan badan perumahan rakyat di Indonesia dinantikan untuk mendorong program perumahan lebih fokus melalui koordinasi dengan BUMN lain atau pemerintah daerah guna menghimpun lahan (bank tanah) dan memudahkan perizinan. Selain itu, akuisisi lahan, merencanakan pembangunan rumah, mengelola aset negara, dan sumber daya. Tahun 2012 adalah masa pembuktian bagi seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, BUMN, dan pemda—untuk menggerakkan kembali perumahan rakyat.
(BM Lukita Grahadyarini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar