Aksi Bakar Diri dan Moralitas Negara
Joko Riyanto, KOORDINATOR RISET PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN (PUSKALITBA) SOLO
Sumber : KORAN TEMPO, 12 Desember 2011
Saya terentak ketika mendengar kabar bahwa aksi bakar diri di depan Istana dilakukan mahasiswa yang aktif bersolidaritas terhadap perjuangan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ia adalah Sondang Hutagalung, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno angkatan 2007. Sondang adalah aktivis komunitas Sahabat Munir sejak satu setengah tahun lalu (Koran Tempo, 10 Desember 2011).
Jika dilihat dari sasaran aksinya, yakni di depan Istana Negara, jelas bahwa si pelaku bakar diri menjalankan aksi protes terhadap rezim. Ia punya sasaran protes yang sangat jelas: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Wakil Presiden Boediono.
Sangat mungkin, motif dari aksi protes bakar diri adalah ketidakpuasan terhadap rezim SBY-Boediono. Selama dua periode SBY memerintah, tidak ada perbaikan sedikit pun terhadap kehidupan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya: kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, korupsi merajalela, biaya hidup makin meroket, dan lain sebagainya.
Sondang Hutagalung mengingatkan kita pada Mohamed Bouazizi, seorang sarjana Tunisia yang melakukan bakar diri di depan khalayak ramai. Aksi bakar diri Bouazizi, seorang pedagang sayur dan buah-buahan, ini merupakan protes atas kesewenangan
dan ketertindasannya selama ini yang dilakukan oleh penguasa setempat. Juga Chun Tae Il, aktivis buruh di Korea Selatan, melakukan bakar diri karena tidak tahan terhadap kondisi pemerintahannya.
Tindakan bakar diri ini jelas sudah menjurus pada “kenekatan” rakyat. Media massa setiap hari merekam perlawanan-perlawanan sosial perseorangan maupun kelompok masyarakat terhadap kebijakan negara yang tidak adil. Tapi pemerintah sepertinya tidak pernah mau mendengarkan suara rakyat yang disuarakan mahasiswa, disuarakan para aktivis/LSM, dan disuarakan tokoh lintas agama. Pemerintahan yang berkuasa selalu menyangkal dan menunda pemenuhan tuntutan berbagai lapisan rakyat bawah.
Inilah ironisnya, di mana negara sebenarnya lahir dan dibangun di atas dasar kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, yang sama-sama menderita, dan teleologi-kebaikan umum (common good) sebagaimana tesis Ernest Rennan tentang lahirnya sebuah negara kebangsaan dengan memiliki cita-cita yang sama. Tetapi, dalam praksisnya, negara tidak pernah sanggup membangun kesejahteraan bagi seluruh masyarakat bangsa dan mengantarkannya kepada pemenuhan cita-cita bersama sebagai wujud moralitas dan etika politik negara.
Masyarakat tidak pernah mengalami proteksi sosial, politik, dan ekonomi memadai. Itu juga merupakan gambaran situasi dan kondisi kehidupan masyarakat bangsa di mana negara tidak pernah hadir secara serius untuk menunjukkan keberpihakannya. Artinya, semua itu merupakan wujud konkret tak terbantahkan dari materialisme politik, hedonisme ekonomi, dan kapitalisme total kekuasaan yang sedang mencapai puncak popularitasnya dalam rangkaian hidup negara selama ini. Dan kaum miskin pun benar-benar kian terjungkal dan semakin dijadikan obyek penderita, ibarat domba korban yang diantar ke pelataran mesbah, bisu, tiada berkata, hanya sorot mata pilu pengiringinya.
Ternyata kemerdekaan kita yang sudah 66 tahun ini tak diiringi dengan kemerdekaan dari penderitaan dan kesejahteraan. Penderitaan rakyat di republik ini mirip yang digambarkan dalam metafora Antony Giddens dalam The Third Way (1990) dengan sebutan Juggernaut (truk besar yang meluncur tanpa kendali karena beratnya beban).
Bahkan mungkin republik ini mirip pula dengan sinyalemen lain (Giddens, 1994: 4): manufactures uncertainty (perusahaan ketidakpastian).
Kita pun memasuki sebuah situasi yang disebut—meminjam istilah Gramsci— “momen krisis”. Ini momen di mana rakyat mulai tidak puas terhadap kinerja para pejabat di pemerintahan. Maka, kita bertanya sudah sejauh mana implementasi moralitas negara menunjukkan bentuknya dalam mensejahterakan rakyat. Pertanyaan itu perlu diadopsi di sini, mengingat sudah lama kesejahteraan rakyat tidak pernah tercipta di negeri ini. Lantas, kapan rakyat bisa tersenyum (mesem), apalagi tertawa (gemuyu)?
Moralitas negara adalah sebentuk perilaku keberpihakan negara yang benar-benar jujur kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moral yang dimilikinya. Negara tanpa moral adalah negara otoritarianisme dan diktator. Filsuf Jean Jacques Rousseau
mengistilahkannya sebagai volonte generale untuk melokalisasi pihak-pihak yang dianggap masuk kriteria tanggung jawab negara saat memanifestasikan perlindungannya.
Aksi bakar diri di depan Istana, seharusnya, menggugah kesadaran pemerintahan SBY-Boediono untuk secepatnya berbenah, karena makin banyak rakyat yang frustrasi akibat berbagai ketidakadilan. Masih segar dalam ingatan kita, ketika Presiden SBY dilantik, komitmennya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, membangun demokrasi yang lebih bermartabat, dan membumikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji itulah yang kini dan terus ditagih rakyat sepanjang periode pemerintahan SBY-Boediono.
Di mata rakyat, pemimpin ideal itu “melindungi tiap orang untuk hidup dengan cara yang layak, dan harus mencegah kemungkinan bahwa seseorang menjadi terlunta-lunta dan
sengsara dalam kehidupan materiilnya” (Kleden, 2004: xxi). Negara tidak selayaknya membuat rakyat sengsara. Pada tataran itulah, segala macam kepincangan dalam tata ruang negara, kemiskinan, pengangguran, kapitalisme, monopoli ekonomi, krisis energi
dan pangan, sepenuhnya harus menjadi tanggung jawab moral negara untuk direkonstruksi. Dan sinilah peran dan kebijakan pemimpin sangat dibutuhkan dalam membebaskan rakyat dari kesengsaraan, yang selanjutnya membuat rakyat sejahtera sehingga rakyat pun bisa tersenyum, bukan melakukan aksi bakar diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar