Kekuatan Moral di Balik Putusan Bebas
Romli Atmasasmita, GURU BESAR UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD)
Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
Putusan bebas dalam perkara pidana bukan hal yang terlarang karena ada pijakan hukum dalam KUHAP.Semua sarjana hukum pasti harus sudah mengetahui. Tetapi,mengapa putusan bebas dalam perkara korupsi menjadi heboh luar biasa?
Hal ini disebabkan masyarakat telah memandang korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa dan membawa akibat kerugian negara yang sangat signifikan sehingga dianggap tidak pantas/ tidak layak terdakwa korupsi dapat dibebaskan. Pandangan ini keliru karena hukum tidak membedabedakan orang dan harus diperlakukan sama di muka hukum sekalipun terdakwa korupsi ketika dibandingkan dengan perkara maling ayam atau terorisme.
Pandangan ini benar jika putusan bebas terdakwa korupsi adalah hasil rekayasa seperti penyuapan terhadap hakim atau jaksa penuntut umum. Apakah makna kedua pandangan tersebut? Kedua pandangan tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa pemeriksaan perkara pidana termasuk perkara korupsi harus didasarkan pada ketentuan UU Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Lalu harus diperkuat oleh fakta persidangan dan putusan pengadilan harus diambil berdasarkan keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti yang terbukti di muka persidangan. Jika terbukti dan hakim yakin, putusan pengadilan menjadi bebas. Jika perbuatan yang dituduhkan terdakwa terbukti, tetapi ada unsur pembenar atau penghapus pidana, putusan pengadilan adalah dilepaskan dari segala tuntutan pidana.
Jika perbuatan terdakwa terbukti dan hakim berdasarkan dua alat bukti di persidangan berkeyakinan terdakwa bersalah,putusan pengadilan adalah menghukum terdakwa.Sistem hukum acara pidana Indonesia secara objektif telah memuat ketentuan tentang jenis putusan pengadilan yang dipandang adil dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Multitafsir
UU Korupsi tahun 1999 yang diubah dengan tahun 2001 memang diakui memuat ketentuan-ketentuan yang rentan multitafsir seperti unsur melawan hukum. Sekalipun telah ada putusan MKRI mengenai penafsiran hukum yang dibenarkan dari sudut UUD 1945, tetapi tetap saja masih ada putusan pengadilan yang menafsirkan unsur melawan hukum dengan fungsi yang positif yaitu apriori harus menghukum, bukan sebaliknya menafsirkan unsur melawan hukum yang negatif, yang dapat membebaskan terdakwa.
Perbedaan penafsiran hukum itu merupakan hal yang lazim terjadi. Namun, jika hakim majelis memiliki satu pendapat yaitu harus menghukum dalam perkara korupsi, sikap hakim tersebut tergolong “abuse of power” karena sikap tersebut tidak mencerminkan imparsialitas dan integritas seorang hakim.
Putusan bebas atau menghukum atau dilepas dari segala tuntutan pidana harus dihormati oleh siapa pun, termasuk penuntut umum karena masih ada upaya hukum yang disediakan di dalam KUHAP kecuali untuk putusan bebas. Namun, praktik pengadilan sampai saat ini masih terdapat yurisprudensi yang membolehkan penuntut umum mengajukan perlawanan terhadap putusan bebas melalui upaya banding atau kasasi dengan alasan teknis yuridis semata-mata.
Hal ini sulit dipahami sebagian besar orang awam termasuk terdakwa yang diputus bebas karena bagi mereka hukum adalah hukum, harus dibaca dan ditafsirkan sebagaimana tertulis di dalam UU-nya. Pandangan ini sesungguhnya sejalan dengan asas lex certa yaitu bunyi ketentuan tidak boleh di multitafsirkan dan harus dibaca sebagaimana bunyi ketentuannya.
Mengapa demikian,karena hukum pidana merupakan “pisau bermata dua”yaitu di satu sisi berfungsi menghukum terdakwa dan sekaligus melindungi orang lain dari kejahatan. Dengan dua fungsi tersebut, penggunaan hukum pidana tidak boleh berada dalam keragu-raguan. Jika hal ini terjadi, pilihan hakim satu-satunya hanyalah membebaskan terdakwa, bukan malahan menghukumnya; inilah salah asas fundamental hukum pidana yang telah dianut dan berkembang sejak abad ke 18.
Praduga
Pisau hukum pidana yang tajam itu sejak diundangkannya selalu dikawal oleh asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan di sinilah letak perbedaannya dengan pisau hukum perdata atau hukum administrasi negara. Namun dalam praktik,pengawalan asas praduga tak bersalah sering disubstitusi sebagai asas praduga bersalah (presumption of guilt).
Meski demikian, penegak hukum seperti itu melupakan satu hal yang fundamental yaitu bahwa seseorang yang diduga melakukan kejahatan adalah seorang sosok manusia bukan “hewan peliharaan” yang setiap saat dapat dicampakkan begitu saja. Di sinilah titik persoalan sesungguhnya dari judul tulisan ini bahwa terdakwa adalah tetap seorang homo sapiens termasuk salah satu makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Menjadi jelas kiranya mengapa putusan pengadilan di Indonesia menggunakan irahirah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Seorang hakim harus diakui sebagai “wakil Tuhan YME”di dunia yang fana ini. Ketiga jenis putusan tetap harus dihormati oleh semua pihak termasuk oleh negara sendiri yang diwakili penuntut umum.
Adapun upaya hukum yang masih diperbolehkan menurut hukum acara merupakan cara untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan dengan cara menemukan kebenaran materil dari suatu perkara pidana. Jika upaya hukum tersebut telah dilaksanakan dan tiba pada putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kewajiban jaksa sebagai wakil negara untuk melakukan eksekusinya tanpa ditunda-tunda dengan alasan apa pun.
Dalam hal putusan bebas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, eksekusi harus segera dilaksanakan karena penundaan eksekusi satu hari pun adalah pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan terdakwa yang bersangkutan.
Di sinilah kekuatan moral spiritual sila perikemanusiaan yang adil dan beradab sebagai nilai luhur bangsa Indonesia yang telah menempatkan Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar