Pemilu Liberal Vs Pemilu Konstitusional
Ahmad Yani, WAKIL KETUA FRAKSI PPP DPR RI,
ANGGOTA PANSUS RUU PERUBAHAN UU PEMILU
Sumber : SINDO, 13 Desember 2011
Jika tidak dikawal dengan baik, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang- Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD, dan DPRD bisa jadi akan melenceng dari konstitusi.
Hal tersebut karena beberapa gagasan dan rumusan pasal justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E,Pasal 27 ayat 1,Pasal 28D ayat 3,dan Pasal 28I ayat 2. Beberapagagasanyangmasuk rumusan pasal dimaksud adalah penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT) atau ambang batas suara sah nasional sebuah partai untuk dapat diikutkan dalam penentuan perolehan kursi.
Tadinya dalam UU No 10/2008 Pasal 202 ambang batas tersebut hanya berlaku pada penentuan kursi DPR dan besarnya 2,5% dari suara sah secara nasional. Sekarang pemerintah menginginkan ambang batas tersebut dinaikkan menjadi empat% dan berlaku untuk tingkat DPR, DPRD provinsi,dan DPRD kabupaten/ kota.
Adapun sikap fraksi partai-partai di DPR beragam, mulai dari yang menginginkan tetap 2,5% hingga dinaikkan menjadi 5%. Masalahnya bukan seberapa besar PT akan ditetapkan, dan apakah tetap berlaku hanya untuk penentuan kursi DPR, ataukah diperluas ke kursi DPRD. Namun,konsepsi dan implementasi PT itu sudah cacat secara konstitusional.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 1 ditegaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Norma konstitusi ini sejalan dengan Pasal 28D ayat 3: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Dari kedua ayat konstitusi di atas dapat dipahami bahwa semua warga negara Indonesia mempunyai posisi politik (political standing) dan posisi hukum (legal standing) yang sama tanpa pengecualian sedikit pun. Konsekuensinya, semua warga negara wajib menaati hukum dan pemerintahan negara secara totalitas tanpa ada yang ditinggalkan atau diabaikan karena kepentingan pribadi.
Semua warga negara juga memiliki peluang dan akses yang sama dalam memasuki dan memengaruhi pemerintahan, termasuk memperoleh jabatan dan kedudukan dalam pemerintahan,memberikan aspirasi,kritik,dan dukungan, serta berkesempatan untuk memilih atau dipilih dalam pemerintahan dan parlemen.
Dilusi
Penerapan PT, berapa pun besarnya, akan mendilusi atau menghilangkan kesamaan kedudukan tersebut. Ambang batas parlemen juga mengakibatkan sebagian warga negara mempunyai peluang yang lebih besar dalam pemerintahan, termasuk parlemen, sementara peluang yang lain dikurangi atau dihilangkan. Dengan PT 2,5%, sebanyak 19 juta lebih suara hangus dalam Pemilu 2009 alias tidak terkonversi menjadi kursi DPR.
Itu kira-kira 18% suara atau beda tipis dengan perolehan suara partai pemenang pemilu. Artinya, 19 juta warga negara telah dihilangkan kesamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, bahkan kesempatannya memperoleh akses dan pengaruh dalam pemerintahan juga dilenyapkan begitu saja. Sebanyak itu pula orangorang yang tidak mempunyai wakil rakyat, padahal mereka telah menggunakan hak pilihnya dengan benar.Yang duduk di DPR bukanlah orang yang mereka pilih.
Barangkali rendahnya tingkat kepercayaan rakyat kepada DPR RI disumbangkan oleh disparitas kedudukan warga negara dan keterwakilan rakyat ini. Para warga yang pilihannya tidak terwakili di parlemen hanya karena memilih peserta pemilu yang tidak lolos PT jelas dirugikan. Mereka hakikatnya tidak terwakili (unrepresented). Sebaliknya, ada warga yang memilih partai politik peserta pemilu yang lolos PT akan mengalami keterwakilan berlebih (over-represented).
Hal ini karena ketidaklolosan para peserta pemilu tertentu dikonversikan menjadi tambahan kursi bagi peserta pemilu yang lolos PT tanpa perlu mendapat tambahan suara sedikit pun. Selama ini beberapa pakar pemilu, pengamat politik, dan LSM melihat kadar keterwakilan hanya dari jumlah kursi untuk tiap provinsi dan daerah pemilihan (dapil). Namun, kurang atau lebihnya kadar keterwakilan juga bisa dilihat dari ada atau tidaknya PT.
Bila besaran PT dinaikkan sesuai usul pemerintah dan atau partai-partai tertentu, jumlah suara warga yang hangus akan bertambah hampir dua kali lipatnya. Ketidaksamaan di mata hukum dan pemerintahan juga semakin meluas, dan itu artinya semakin jauh dan melenceng dari amanat konstitusi. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28I ayat 2 menegaskan:
“Setiap orang berhak bebas atas perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”. Alihalih menghilangkan diskriminasi, keberadaan PT dalam UU Pemilu malah memperbesar diskriminasi.
Watak Liberal
Bila penyelenggaraan pemilu melenceng dari konstitusi, lantas pemilu seperti apa yang sedang dan akan digelar? Tampaknya, seperti penyelenggaraan sistem perekonomian negara yang kerap disebut beraliran neoliberal,penyelenggaraan pemilu juga dikhawatirkan berwatak liberal.Pemilu liberal berarti pemilu yang bebas sesuai pilihan pasar politik dan tidak terikat pada empat pilar negara dan bangsa Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pemilu liberal bermakna mematikan semua pesaing seolaholah negara ini miliknya sendiri. Pemilu liberal akan menggerus pelaksanaan Sila Keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Selain itu, pemilu liberal juga menabrak pilar Bhineka Tunggal Ika. Soalnya, yang boleh hidup dalam pemilu liberal hanya yang paling banyak suara, dana, dan kekuatan politiknya.
Padahal, keempat pilar telah memberi hak hidup dan berkembang bagi setiap aspirasi dan golongan masyarakat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sepanjang aspirasi dan golongan masyarakat itu tidak berdasarkan dan menyerukan sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Misalnya,mengajak kepada atheisme, komunisme, penghinaan agama, separatisme, terorisme, legalisasi kriminalitas, dan sebagainya.
Jika kita mencermati perkembangan politik di dunia Barat, tampaklah strategi liberalisasi politik yang dijalankan di sana juga ditiru di sini.Di Amerika Serikat misalnya, setelah Partai Republik dan Partai Demokrat menguasai parlemen, kedua partai tersebut menciutkan dapil Anggota DPR (House of Representatives), menetapkan sistem distrik dan penentuan kursi berdasarkan prinsip pemenang meraih semua kursi (the winner takes all).
Dapil disusun sedemikian rupa sehingga hanya kedua partai tersebut yang menguasai parlemen secara bergantian sejak AS berdiri pada abad ke-18. Dalam beberapa kali pemilihan wakil partai lain mampu menembus parlemen, tapi jumlahnya kecil sekali dan tidak signifikan.
Berbagai strategi dan taktik boleh disusun dan dikembangkan agar menang dalam pemilu, namun pemilu Indonesia seharusnya tetap diselenggarakan dalam bingkai Pancasila, konstitusi, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Kalau tidak, berbagai ketidakadilan dan instabilitas politik yang sekarang menimpa negara-negara liberal Barat akan menghantam bangsa kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar