Tampilkan postingan dengan label Guru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Guru. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 November 2011

Ironi Posisi Edukatif Guru


Ironi Posisi Edukatif Guru

Yuliani Eka Saputra, GURU SMPN SIDOWAYAH, NGAWI, JATIM
Sumber : SUARA KARYA, 25 November 2011



Rencana pemerintah menambah jam mengajar guru dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu menuai kontroversi. Di kalangan guru, gagasan itu dinilai tidak masuk akal dan tidak logis. Betapa tidak, gaji guru akan ditentukan dari berapa banyak tatap muka guru dengan siswa di depan kelas. Lalu, bagaimana dengan guru-guru yang mengajar mata pelajaran berbobot kecil seperti olahraga, geografi, agama, pendidikan keterampilan yang jelas-jelas tidak akan memenuhi 27,5 jam per minggu?

Argumentasi yang dikemukakan dengan penambahan jam mengajar itu, agar para guru berkinerja sama dengan mereka yang duduk di birokrasi. Karena, mereka yang duduk di birokrasi memiliki waktu kerja 8 jam per hari minus istirahat dikalikan dengan 5 hari kerja, hingga mendekati angka 40 jam per minggu. Masalahnya, apakah guru dapat disamakan dengan pekerjaan itu mengingat aparat birokrasi pun tidak lebih sebagai 'pengangguran terselubung'? Apakah kebijakan itu juga mempertimbangkan kemampuan siswa menyerap pelajaran dengan penambahan jam itu?

Terkait fenomena penambahan jam mengajar, pekerjaan guru sebagai pendidik tidak dapat disandingkan dengan pekerja pabrik atau buruh. Meski sama-sama berangkat dari kompetensi atau keahlian dalam melakukan pekerjaan, bekerja sebagai guru memiliki keahlian dan ketrampilan khususdibandingkan dengan bekerja di pabrik. Guru memiliki serangkaian kompetensi profesi yang harus dikuasai. Untuk mendapatkan predikat guru, selain harus menempuh pendidikan, seorang guru harus mengajar di depan peserta didik, yang tidak bisa dilakukan setiap orang.

Dan, belakangan pengakuan guru yang "mumpuni" harus dibuktikan dengan sertifikasi yang distandarkan. Sementara pekerja pabrik cenderung melakukan pekerjaan secara monoton dan nyaris sama dari hari ke hari, tidak membutuhkan persiapan-persiapan khusus sebelum melaksanakan pekerjaan karena memang lebih mengandalkan jasa tenaga fisik. Apakah ada buruh pabrik yang belajar sebelum berangkat bekerja?

Berbeda halnya dengan seorang guru. Untuk memulai proses belajar-mengajar di depan kelas, seorang guru harus mempelajari materi yang hendak diberikan dan menyusunnya dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Secara sederhana, RPP ini memuat garis besar pembelajaran hari itu mulai dari tema, metode, peraga yang digunakan serta alat monitoring dan evaluasi pembelajaran. Jika guru dalam sehari mengajar 4-5 mata pelajaran, berarti harus menyiapkan RPP sebanyak 4-5 mata pelajaran. Suka atau tidak suka, persiapan itu menjadi penting bagi guru agar proses pembelajaran menarik. Itu baru dari sisi persiapan kegiatan belajar-mengajar. Belum lagi, beban lain seperti membuat soal ujian harian/mingguan, koreksi ujian dan pekerjaan rumah, membuat alat peraga edukatif, rapat Kelompok Kerja Guru (KKG), menghadiri pelatihan/seminar, dan lain-lain.

Semua itu membutuhkan keterampilan dan seni tersendiri sebagai pendidik. Karena itu, meski seorang guru tidak bertatap muka dengan peserta didik di depan kelas, guru pasti sedang mengerjakan tugas lain, entah mengoreksi ulangan atau membuat soal ujian. Dhus, rencana penambahan jam mengajar dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu, dikhawatirkan dapat mematikan kreativitas guru di lapangan.

Guru makin banyak bertatap muka dengan peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar namun kehilangan lebih banyak kesempatan lain untuk mempersiapkan proses pengajaran yang bermutu. Bisa ditebak, proses pembelajaran menjadi kering, datar, dan tidak ada dinamika yang menarik. Peserta didik akan merasakan perubahan model ini karena sapaan, sentuhan, perhatian pasti akan jauh berkurang.

Harus ditegaskan bahwa pekerjaan guru bukan sekedar tukang ajar yang tugasnya mentransfer saja ilmu pengetahuan dari buku. Tetapi, dalam profesi guru melekat peran pendidik, yang artinya dalam diri seorang guru terkandung peran keteladanan, membimbing, memberi contoh, menjadi model yang dapat ditiru peserta didik. Ketika guru semakin tidak punya waktu untuk menjelajah internet, membaca buku, studi lanjutan, diskusi dengan sesama guru, maka kesempatan menularkan proses pembelajaran kreatif menjadi hilang. Pengetahuan guru pun akan semakin ketinggalan dari peserta didiknya.

Karena itu, menyamakan profesi guru dengan profesi lain adalah kebijakan yang keliru. Betapa pun guru adalah manusia, yang tetap saja terkandung beragam keterbatasan. Dan, nyaris kebanyakan guru semakin tidak ada waktu untuk sekedar bersantai bersama keluarganya. Memperlakukan guru secara semena-mena akan berdampak pada masa depan anak-anak bangsa. Menjadikan guru sebagai 'tukang', tidak akan menghasilkan kader-kader bangsa yang brilian.

Yang ada adalah anak-anak bangsa bermental lembek dan tidak siap dengan derasnya kompetisi global. Bahwa guru adalah "pahlawan tanpa tanda jasa" adalah benar namun maknanya tidak sekedar menjadikan mereka pekerja-pekerja setaraf dengan pekerja kasar yang mempergunakan otot dan tenaga belaka. Seorang guru bekerja dengan seluruh indrawinya. Peran mendidik adalah peran keseluruhan sosok guru dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Di tengah zaman yang terus berubah ini tantangan dunia pendidikan nasional adalah menjadikan guru kian gigih mengajar tanpa terus direcoki dengan aneka kebijakan pendidikan yang berubah-ubah.

Kehancuran pendidikan di Tanah Air dalam banyak hal disebabkan oleh kebijakan yang terus berubah dan tidak menyentuh esensi dasar mengapa kita perlu menyelenggarakan pendidikan.

Meski tunjangan sertifikasi sepertinya memanjakan guru, pada kenyataannya mengandung agenda-agenda yang kian menekan guru sebagai pendidik. Dan, ketika guru kehilangan jati dirinya sebagai guru, yang ada hanyalah 'tukang mengajar' yang menjajakan ilmunya, tanpa dipercaya dan diindahkan.

Keaktifan Guru dalam Berkarya


Keaktifan Guru dalam Berkarya

Dwiyanto, GURU SMP NEGERI 3 NGAWEN BLORA
Sumber : SUARA MERDEKA, 25 November 2011


”Pelatihan tentang penulisan bagi guru mungkin bisa diubah dengan lebih menitikberatkan pada keaktifan dalam berkarya”

Kemandekan guru dalam kenaikan jabatan/pangkat dari golongan IV a ke atas adalah cerita usang yang selalu diputar ulang. Hadirnya PP Nomor 74 Tahun 2008 serta Permenpan dan Reformasi Birokrasi (RB) Nomor 16 Tahun 2009 diharapkan mengalirkan angin perubahan. Disinggung dalam peraturan baru yang mengatur tentang jabatan  fungsional guru dan angka kredit itu, bahwa kegiatan pengembangan keprofesian guru terdiri atas publikasi  ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif; karya inovatif; presentasi pada forum ilmiah; publikasi buku teks pelajaran yang lolos penilaian oleh BSNP; publikasi buku pengayaan; publikasi buku pedoman guru; dan publikasi pengalaman pada pendidikan khusus dan/ pendidikan layanan khusus.

Regulasi lama (Permenpan Nomor  84 Tahun 1995), mewajibkan guru golongan IV A ke atas untuk menulis dan membuat karya inovatif. Adapun golongan di bawahnya, guru lebih banyak adem ayem tanpa ada sentuhan berkarya. Hal ini tentu saja sebuah tuntutan yang tiba-tiba. Ibarat atlet, belum warming up langsung disuruh bertanding oleh pelatihnya.

Sebenarnya tidak sedikit pelatihan, lokakarya, atau seminar tentang penulisan karya ilmiah serta penelitian tindakan kelas (PTK) diselenggarakan. Meski dengn mengeluarkan biaya sendiri, ratusan guru dengan penuh antusias dan semangat mengikuti kegiatan tersebut. Namun seiring dengan perjalanan waktu, begitu seminar selesai, selesai pula niat untuk menulis karya ilmiah atau PTK.  

Beberapa guru bahkan cukup puas bisa mendapatkan selembar sertifikat dengan jumlah jam sekian jam. Dengan demikian benar apa yang pernah disindir oleh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam tulisan oples (opini pelesetan) bahwa negara kita kita  memang negara kertas. Segalanya diukur dari banyaknya kertas sertifikat  yang dimiliki bukan kompetensi yang melekat.  Tak mengherankan apabila mutu pendidikan kita terus merosot dibandingkan dengan negara lain.

Pelatihan tentang penulisan mungkin bisa diubah dengan lebih menitikberatkan pada keaktifan guru dalam berkarya.  Ketika guru hadir dalam pelatihan sudah membawa proposal atau tulisan yang dibuat di rumah. Ada karya yang akan dibahas. Dengan demikian ruang pelatihan lebih berfungsi sebagai ajang diskusi yang lebih bermanfaat, bukan sekadar membahas teori penulisan yang jarang dipraktikkan seperti terjadi selama ini.  

Penulisan Publikasi

Kesulitan dalam menulis bisa dipecahkan bersama. Mereka yang mandek dalam menulis pun bisa diperbicangkan untuk dicari solusinya. Kesulitan yang lebih nyata karena guru sudah merasakan jatuh bangun dalam menulis. Kemanfaatannya lebih terasakan karena akhir dari pelatihan tersebut guru sudah memiliki karya yang jadi. Bukan selama puluhan tahun menjadikan dirinya sebagai Mr Future, yang selalu saja akan menulis tapi tak sebuah karya pun ditulisnya.  

Perubahan paradigma yang menggeser pengembangn keprofesian lebih awal barangkali menemui titik pembenaran. Berangkat  dari asumsi bahwa menulis adalah keterampilan yang akan berkembang lebih optimal dan bisa melejitkan diri seseorang  bila dilakukan sejak dini, terus-menerus, konsisten, dan berkesinambungan. Kalau dari golongan  III b guru sudah terlatih menulis, terbiasa dengan atmosfer menulis dan berkarya, tentunya sampai golongan  IV a akan tercipta kemahiran yang makin berkembang pesat.  

Kalau berangkat dari rasa pesimistis barangkali PP serta Permenpan dan RB yang baru itu hanyalah memperpanjang daftar kelam bahwa guru gagap dalam menulis. Aktivitas penulisan publikasi dan karya inovatif yang diajukan  ke golongan III b hingga IV e, tak lebih dari pemindahan kebuntuan alias kemacetan  kenaikan pangat yang lebih dini.

Dalam arti kalau dahulu kemacetan berlangsung  dari golongan IV a ke atas sekarang dimulai lebih awal, dari golongan III b. Tantangan dari pemerintah yang tidak terjawab, hanya makin memperkuat dan mempertegas asumsi bahwa guru memang tidak bisa menulis atau berkarya. Ke depan, guru yang tidak terbiasa dengan iklim menulis akan terpinggirkan sendiri nasibnya. Jadi, publish or perish, terbitkan karya atau tenggelam oleh peraturan baru itu. ●