Ironi Posisi Edukatif Guru
Yuliani Eka Saputra, GURU SMPN SIDOWAYAH, NGAWI, JATIM
Sumber : SUARA KARYA, 25 November 2011
Rencana pemerintah menambah jam mengajar guru dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu menuai kontroversi. Di kalangan guru, gagasan itu dinilai tidak masuk akal dan tidak logis. Betapa tidak, gaji guru akan ditentukan dari berapa banyak tatap muka guru dengan siswa di depan kelas. Lalu, bagaimana dengan guru-guru yang mengajar mata pelajaran berbobot kecil seperti olahraga, geografi, agama, pendidikan keterampilan yang jelas-jelas tidak akan memenuhi 27,5 jam per minggu?
Argumentasi yang dikemukakan dengan penambahan jam mengajar itu, agar para guru berkinerja sama dengan mereka yang duduk di birokrasi. Karena, mereka yang duduk di birokrasi memiliki waktu kerja 8 jam per hari minus istirahat dikalikan dengan 5 hari kerja, hingga mendekati angka 40 jam per minggu. Masalahnya, apakah guru dapat disamakan dengan pekerjaan itu mengingat aparat birokrasi pun tidak lebih sebagai 'pengangguran terselubung'? Apakah kebijakan itu juga mempertimbangkan kemampuan siswa menyerap pelajaran dengan penambahan jam itu?
Terkait fenomena penambahan jam mengajar, pekerjaan guru sebagai pendidik tidak dapat disandingkan dengan pekerja pabrik atau buruh. Meski sama-sama berangkat dari kompetensi atau keahlian dalam melakukan pekerjaan, bekerja sebagai guru memiliki keahlian dan ketrampilan khususdibandingkan dengan bekerja di pabrik. Guru memiliki serangkaian kompetensi profesi yang harus dikuasai. Untuk mendapatkan predikat guru, selain harus menempuh pendidikan, seorang guru harus mengajar di depan peserta didik, yang tidak bisa dilakukan setiap orang.
Dan, belakangan pengakuan guru yang "mumpuni" harus dibuktikan dengan sertifikasi yang distandarkan. Sementara pekerja pabrik cenderung melakukan pekerjaan secara monoton dan nyaris sama dari hari ke hari, tidak membutuhkan persiapan-persiapan khusus sebelum melaksanakan pekerjaan karena memang lebih mengandalkan jasa tenaga fisik. Apakah ada buruh pabrik yang belajar sebelum berangkat bekerja?
Berbeda halnya dengan seorang guru. Untuk memulai proses belajar-mengajar di depan kelas, seorang guru harus mempelajari materi yang hendak diberikan dan menyusunnya dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Secara sederhana, RPP ini memuat garis besar pembelajaran hari itu mulai dari tema, metode, peraga yang digunakan serta alat monitoring dan evaluasi pembelajaran. Jika guru dalam sehari mengajar 4-5 mata pelajaran, berarti harus menyiapkan RPP sebanyak 4-5 mata pelajaran. Suka atau tidak suka, persiapan itu menjadi penting bagi guru agar proses pembelajaran menarik. Itu baru dari sisi persiapan kegiatan belajar-mengajar. Belum lagi, beban lain seperti membuat soal ujian harian/mingguan, koreksi ujian dan pekerjaan rumah, membuat alat peraga edukatif, rapat Kelompok Kerja Guru (KKG), menghadiri pelatihan/seminar, dan lain-lain.
Semua itu membutuhkan keterampilan dan seni tersendiri sebagai pendidik. Karena itu, meski seorang guru tidak bertatap muka dengan peserta didik di depan kelas, guru pasti sedang mengerjakan tugas lain, entah mengoreksi ulangan atau membuat soal ujian. Dhus, rencana penambahan jam mengajar dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu, dikhawatirkan dapat mematikan kreativitas guru di lapangan.
Guru makin banyak bertatap muka dengan peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar namun kehilangan lebih banyak kesempatan lain untuk mempersiapkan proses pengajaran yang bermutu. Bisa ditebak, proses pembelajaran menjadi kering, datar, dan tidak ada dinamika yang menarik. Peserta didik akan merasakan perubahan model ini karena sapaan, sentuhan, perhatian pasti akan jauh berkurang.
Harus ditegaskan bahwa pekerjaan guru bukan sekedar tukang ajar yang tugasnya mentransfer saja ilmu pengetahuan dari buku. Tetapi, dalam profesi guru melekat peran pendidik, yang artinya dalam diri seorang guru terkandung peran keteladanan, membimbing, memberi contoh, menjadi model yang dapat ditiru peserta didik. Ketika guru semakin tidak punya waktu untuk menjelajah internet, membaca buku, studi lanjutan, diskusi dengan sesama guru, maka kesempatan menularkan proses pembelajaran kreatif menjadi hilang. Pengetahuan guru pun akan semakin ketinggalan dari peserta didiknya.
Karena itu, menyamakan profesi guru dengan profesi lain adalah kebijakan yang keliru. Betapa pun guru adalah manusia, yang tetap saja terkandung beragam keterbatasan. Dan, nyaris kebanyakan guru semakin tidak ada waktu untuk sekedar bersantai bersama keluarganya. Memperlakukan guru secara semena-mena akan berdampak pada masa depan anak-anak bangsa. Menjadikan guru sebagai 'tukang', tidak akan menghasilkan kader-kader bangsa yang brilian.
Yang ada adalah anak-anak bangsa bermental lembek dan tidak siap dengan derasnya kompetisi global. Bahwa guru adalah "pahlawan tanpa tanda jasa" adalah benar namun maknanya tidak sekedar menjadikan mereka pekerja-pekerja setaraf dengan pekerja kasar yang mempergunakan otot dan tenaga belaka. Seorang guru bekerja dengan seluruh indrawinya. Peran mendidik adalah peran keseluruhan sosok guru dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Di tengah zaman yang terus berubah ini tantangan dunia pendidikan nasional adalah menjadikan guru kian gigih mengajar tanpa terus direcoki dengan aneka kebijakan pendidikan yang berubah-ubah.
Kehancuran pendidikan di Tanah Air dalam banyak hal disebabkan oleh kebijakan yang terus berubah dan tidak menyentuh esensi dasar mengapa kita perlu menyelenggarakan pendidikan.
Meski tunjangan sertifikasi sepertinya memanjakan guru, pada kenyataannya mengandung agenda-agenda yang kian menekan guru sebagai pendidik. Dan, ketika guru kehilangan jati dirinya sebagai guru, yang ada hanyalah 'tukang mengajar' yang menjajakan ilmunya, tanpa dipercaya dan diindahkan.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar