Asia Tenggara Pasca-perluasan?
Pamungkas Ayudhaning Dewanto, PENELITI DI CENTER FOR EAST ASIAN COOPERATION STUDIES, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 30 November 2011
Konferensi Tingkat Tinggi Ke-19 ASEAN usai dilaksanakan di Bali, pertengahan November. Beberapa hal penting yang dihasilkan adalah disepakatinya komitmen mewujudkan Bali Concord III memperkuat tiga pilar utama ASEAN.
Meski demikian, ASEAN kini tidak sendiri. Keterlibatan para aktor luar kawasan menambah polarisasi kepentingan. Sedikitnya ada tiga kondisi yang mengindikasikan perubahan konstelasi ekonomi politik di Asia Tenggara dalam pertemuan ini.
Pertama, kesepakatan Amerika Serikat-Australia membangun pangkalan militer di Darwin, Australia. Pendirian pangkalan Marinir AS ini menunjukkan ancaman dipersepsikan datang dari utara Australia, kemungkinan China atau Asia Tenggara.
Kebijakan itu menjadi dilema bagi ASEAN yang anggotanya bersengketa di Laut China Selatan. AS masuk untuk mendukung Filipina mempertahankan klaim kedaulatan di kawasan itu. AS juga berpeluang terlibat dalam pengamanan di wilayah vital lain, seperti Selat Malaka, Selat Lombok, dan Selat Sunda. Maka, Asia Tenggara diprediksi menjadi wilayah ”Perang Dingin” jilid II (proxy war) bagi AS dan China.
Kedua adalah jatuhnya perekonomian Eropa yang berdampak negatif terhadap kohesivitas Uni Eropa. Maka, kepercayaan terhadap pasar Eropa yang selama ini menyerap produk-produk dari negara maju lainnya turun. Dampaknya adalah negara produsen mengalihkan pasar dari Eropa ke Asia. Menjamurlah kepentingan memperkuat daya beli dan produksi untuk Asia.
Ketiga, Asia diharapkan mampu menjadi kawasan penyangga (buffer zone) terhadap penyebaran krisis Eropa. Bukan hanya IMF yang belum lama ini meminta bantuan Asia berinvestasi dalam Fasilitas Stabilisasi Finansial Eropa (EFSF) untuk menambah dana talangan krisis, melainkan juga para pemimpin perusahaan yang dalam KTT APEC lalu menyimpulkan perlunya upaya struktural mendorong pertumbuhan di Asia.
Membatasi Keanggotaan
Negara anggota ASEAN harus waspada meningkatkan kualitas integrasi (deepening integration), di mana aspek penyerahan sebagian kedaulatan menjadi konsekuensi anggota. Sebagai contoh, menyepakati visa tunggal ASEAN, pengurangan pungutan pajak (bahasa perdagangan internasional disebut ”hambatan”), serta peningkatan komitmen investasi dan keuangan demi kepentingan kawasan.
Risiko terpahit adalah yang dirasakan Uni Eropa saat ini. Tumbangnya para pemimpin di Uni Eropa merupakan akibat dilema kebijakan nasional yang bertentangan dengan keputusan regional. Bisa dikatakan ini adalah ”efek samping” regionalisme.
Sebelumnya, Grieco dan Ikenberry (2003: 291) menegaskan, institusionalisme (termasuk regionalisme) dapat memaksa kekuatan nasional dalam keanggotaan institusi untuk tunduk ke dalam peraturan yang digagas negara anggota yang lebih kuat.
Dalam hal ini, memasukkan terlalu banyak negara ke dalam keanggotaan KTT Asia Timur merupakan suatu gagasan yang kurang strategis. KTT Asia Timur memiliki spirit membangun kerja sama eksklusif alternatif terhadap institusi global yang ada. ASEAN sebagai fasilitator tetap KTT Asia Timur harus tetap menjunjung tinggi spirit ini agar proses integrasi berjalan fokus.
Aktor lain seperti AS, misalnya, di tengah goyahnya aliansi trans-Atlantik karena krisis Eropa, mengampanyekan Kemitraan Lintas Pasifik (Trans-Pacific Partnership) demi liberalisasi perdagangan kawasan. Pengalaman krisis Asia 1998 dan krisis Jepang 1990 menunjukkan bahwa keterlibatan AS justru memperlambat proses pemulihan karena banyaknya persyaratan untuk diterapkan.
Efektivitas Program
ASEAN dan Asia Timur telah memiliki banyak infrastruktur ekonomi yang menunjang. Penambahan berbagai infrastruktur baru justru akan mendistorsi tujuan bersama negara anggota.
Usulan membentuk ASEAN Supreme Audit Institution (SAI), semacam lembaga audit tertinggi untuk mengantisipasi penyimpangan keuangan tingkat regional, menjadi sangat ironis ketika pemberantasan korupsi di tingkat nasional masih karut-marut.
Ke depan, perlu didorong penguatan komunitas lokal untuk mengimbangi kesepakatan pasar terbuka. Oleh karena itu, ASEAN harus beranjak pada kerja sama penciptaan insentif untuk membangun perekonomian lokal, khususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang menyelamatkan Asia Tenggara dari krisis global 2008. Paradigma menghilangkan ”hambatan” perdagangan harus diikuti penciptaan insentif untuk sektor ekonomi alternatif yang menopang stabilitas kawasan.
Penguatan mekanisme cadangan devisa bersama melalui Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) merupakan contoh penting dalam melokalisasi krisis dengan komitmen regional. Mekanisme ini juga meningkatkan kepercayaan diri pasar (market confidence) dengan keamanan berbisnis yang lebih terjamin. CMIM mungkin dapat ditingkatkan agar menyediakan fasilitas kredit untuk UMKM. Bank sentral dan kementerian keuangan negara anggota juga perlu rutin bertemu untuk antisipasi krisis.
ASEAN memiliki peran sentral dalam percaturan ekonomi-politik dunia ke depan. Jika komitmen integrasi dipegang teguh, ASEAN harus membumi dengan terobosan penting (cross- cutting issues), bukan distorsi memperluas keanggotaan dalam KTT Asia Timur.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar