Kamis, 24 November 2011

Mengelola Bank di Saat Krisis


Mengelola Bank di Saat Krisis

Muhammad Chatib Basri, EKONOM, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 25 November 2011


Jika ada satu benang merah dari krisis 1930-an sampai krisis Eropa, itu adalah pasar keuangan. Dan ini dipicu oleh apa yang disebut Keynes sebagai animal spirits.

Hari-hari ini kita lihat situasi di Eropa semakin tak pasti. Lebih dari itu, situasi diperburuk dengan penjualan massal obligasi pemerintah dari sejumlah negara.

Sejak beberapa bulan lalu kita melihat meningkatnya perilaku para investor menghindari risiko dengan meninggalkan pasar keuangan di Asia. Ketidakpastian di sektor keuangan akan mendorong animal spirits dan perilaku latah (herd behaviour). Dalam situasi tak pasti, individu dalam sebuah kelompok akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya. Contohnya: ketika sebuah produk keuangan mulai dilepas dan harga jatuh, orang berduyun-duyun menjual produk itu, sering tanpa sepenuhnya punya informasi lengkap soal produk itu.

Untuk mengurangi risiko, sektor keuangan, termasuk perbankan, melakukan pengurangan risiko dengan suntikan modal di Eropa. Apa implikasinya kepada Asia? Pasokan kredit ke Asia turun signifikan. Tak dapat dimungkiri bahwa perbankan di Eropa memiliki pinjaman cukup besar di beberapa negara Asia, khususnya yang bersifat jangka pendek.

Perbankan atau perusahaan yang meminjam dari Eropa akan terkena. Untungnya, pinjaman ini sebagian dibiayai deposan lokal lewat cabang bank-bank Eropa di Asia sehingga tak terlalu rentan. Namun, terjadinya pengurangan risiko dengan suntikan modal akan membuat banyak negara di Asia mengalami credit crunch, berhentinya penyaluran kredit. Pemicunya bisa berawal dari penarikan seluruh pembiayaan dari sektor perbankan domestik dan pasar derivatif, atau secara langsung lewat penurunan suplai kredit ke nonbank. Selain itu, kredit untuk perdagangan juga amat rentan terhadap upaya korporasi untuk mengurangi utang (deleveraging) di beberapa negara Asia.

Tetap Berdampak

Bagaimana Indonesia? Bukankah kita tak memiliki keterkaitan yang besar terhadap perbankan di Eropa? Benar! Namun, jangan lupa, efek tular akan terjadi melalui negara-negara Asia yang punya keterkaitan besar terhadap Eropa. Ketika negara-negara Asia itu terkena, Indonesia juga akan terkena dampaknya.

Contoh paling nyata dan sudah dirasakan sekarang adalah pembiayaan dollar AS. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kita sudah mulai melihat ketatnya likuiditas dollar. Di sini kita harus melihat situasi perbankan dengan hati-hati.

Mengapa kita harus hati-hati terhadap sektor perbankan dalam situasi krisis? Ada baiknya kita belajar dari krisis 2008. Saat itu hampir semua indikator perbankan terlihat baik. Dampak krisis baru tecermin lewat likuiditas, padahal indikator modal dan perbankan lain relatif baik.
Basri dan Siregar (2009) menunjukkan, dalam krisis 2008 kepercayaan antarbank menurun tajam akibat ketidakpastian di sektor keuangan. Hal ini terlihat dari anjloknya pinjaman antarbank dari Rp 206 triliun menjadi Rp 83,8 triliun (turun 59,3 persen) dari periode Desember 2007 hingga Desember 2008.

Akibatnya bank-bank kecil menaikkan tingkat bunga untuk meningkatkan basis pembiayaan mereka. Terjadilah perang tingkat bunga. Pertanyaannya: kalau terjadi guncangan di sektor keuangan lagi—dengan risiko terkenanya sektor perbankan—apakah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berani mengambil langkah yang diperlukan untuk menenangkan sektor keuangan?

Dalam kondisi seperti ini, penting sekali kita memiliki sektor perbankan yang amat kuat. Namun, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati. Saya menduga dampak krisis utang Eropa baru mulai terasa di Indonesia pada triwulan pertama 2012.

Sebelum itu datang, saya ingin mengingatkan bahwa ada beberapa kebijakan perbankan berisiko membahayakan sektor perbankan jika diimplementasikan dalam situasi ketidakpastian global.

”Anjuran” dan ”keinginan” BI mendorong kredit perbankan tentu hal yang baik. Namun, jangan dilupakan bahwa ekspansi kredit secara teknis akan membuat rasio kecukupan modal (CAR) menurun. Jika CAR turun, pemilik bank harus menyuntik modal. Ada implikasi yang tak kecil kepada perbankan skala menengah dan kecil. Kebutuhan modal jadi amat penting dalam kondisi ketika perbankan rentan terhadap tekanan likuiditas dan gejolak keuangan global. Jika menginginkan perbankan yang kuat, naikkan saja persyaratan modal secara bertahap. Implikasinya Indonesia hanya akan memiliki beberapa bank yang kuat. Dengan lanskap seperti ini, perbankan Indonesia akan lebih siap menghadapi krisis. Ini tentu sangat rasional. 

Pertanyaannya: mau diapakan perbankan yang kecil? Apakah BI berani menutupnya?
Ironisnya, di tengah keinginan BI melakukan ekspansi kredit—yang memiliki implikasi kebutuhan modal—BI keluar dengan wacana pembatasan kepemilikan dan juga upaya untuk pengurangan net interest margin (NIM) agar tingkat bunga pinjaman menurun. Pertanyaan sederhana yang muncul: insentif apa yang dimiliki perbankan jika di satu sisi ia diharuskan menambah modal, tetapi di sisi lain NIM dan kepemilikannya dibatasi. Siapa orang yang berminat diminta ekspansi atau tambah modal dengan kepemilikan yang semakin berkurang dan keuntungan yang juga semakin kecil? Kita tahu bahwa dalam struktur perbankan kita, kompetisi terjadi pada sisi pembiayaan, tetapi bukan sisi pinjaman. Ini disebabkan oleh informasi yang tak simetris dan struktur pasar perbankan yang tersegmentasi.

Harus Sangat Hati-hati

Saya mengerti dan mendukung sepenuhnya kehati-hatian BI soal kemungkinan penyalahgunaan kredit perbankan untuk kepentingan pemilik dengan memberikan kredit berlebihan kepada kelompok usaha pemilik atau persoalan penipuan di sektor perbankan. Jika isunya tata kelola yang baik, minta sektor perbankan melepas ke publik 40 persen sahamnya. Dengan demikian, bank jadi lebih transparan dan patuh kepada aturan tata kelola. Untuk governance, BI juga dapat mengendalikan langsung melalui uji kelayakan dan kepatutan. Gunakan instrumen ini secara efektif dan bukan dengan cara melakukan berbagai regulasi perbankan melalui NIM atau kepemilikan.

Kekhawatiran utama saya yang utama: gejolak pasar keuangan global masih akan terus terjadi dan sektor yang paling rentan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah perbankan. Kita baru akan memasuki masa guncangan sektor keuangan. Dalam situasi seperti ini, BI harus sangat hati-hati dengan aturan-aturan yang dapat menimbulkan gejolak dalam sektor perbankan karena perekonomian Indonesia secara keseluruhan ada dalam taruhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar