Rabu, 23 November 2011

Reformasi Sistem Pengupahan


Reformasi Sistem Pengupahan

Rekson Silaban, Ketua Majelis Penasihat Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
Sumber : KOMPAS, 24 November 2011


Setiap tahun hubungan industrial Indonesia pasti bergejolak akibat kekisruhan penetapan upah minimum.

Penetapan besaran upah minimum provinsi (UMP) yang dilakukan di setiap provinsi pasti diwarnai banyak aksi demo penolakan terhadap usulan besaran upah.
Keberatan tak selalu dari buruh, tetapi juga dari pengusaha dengan menggugat penetapan pemerintah di pengadilan. Konflik kadang diperburuk aroma politicking di daerah yang hendak menggelar pilkada. Upah kadang dinaikkan lebih tinggi dari usulan dewan pengupahan tripartit daerah untuk mendongkrak popularitas kepala daerah petahana. Besaran upah sering berubah akibat aksi demo. Sistem pengupahan akhirnya nyaris tak berfungsi di beberapa daerah.

Misalnya kenaikan UMP DKI 2011 ditetapkan 17 persen sekalipun dewan pengupahan tripartit DKI hanya merekomendasikan 7 persen. Pekan ini Pemprov DKI menaikkan upah 2012 hampir 20 persen (dari Rp 1.290.000 ke Rp 1.529.150). Kenaikan ini disambut meriah buruh, tetapi ditanggapi kecewa pengusaha. Kenaikan 37 persen dalam dua tahun sangat membebani UKM sebagai pemain utama bisnis sektor manufaktur sekalipun baru 2012 upah buruh DKI sesuai komponen upah kebutuhan hidup layak.

Siapa sebenarnya yang diuntungkan kenaikan ini, apakah kenaikan cukup tinggi akan dinikmati buruh? Jawabannya, hanya menguntungkan buruh dalam jangka pendek, tetapi tak menguntungkan siapa pun dalam jangka panjang! Sebab, sistem pengupahan yang kita miliki sebenarnya secara ekonomi tak menciptakan usaha berkelanjutan dan rawan secara politik.

Sistem pengupahan UMP sudah usang, perlu diganti konsep baru. Sebab, sistem upah sekarang membawa ekonomi ke ambang saling menghancurkan, tak mendorong produktivitas dan manfaat kedua belah pihak. Sebab, setiap kali terjadi kenaikan upah, selalu diikuti kenaikan harga komoditas lain sehingga nasib buruh tak berubah dari masa ke masa.

Coba tengok kondisi permukiman buruh kawasan industri Jabotabek akibat upah minim. Banyak buruh hanya bisa tinggal di kamar sempit yang dijejali 4-5 buruh. Upah hanya cukup untuk bertahan hidup (subsisten). Konflik panjang hubungan industrial dan yang membuat buruh tak bisa hidup layak antara lain bersumber dari kesalahan sistem pengupahan.

Masalah Rawan

Sistem pengupahan kita mengidap beberapa masalah rawan, di antaranya: (i) sistem tak adil karena hanya menguntungkan perusahaan besar, tetapi merugikan yang kecil. Ini akibat upah ditetapkan secara umum, tanpa memandang skala perusahaan, keuntungan, kemampuan usaha, dan lokasi kerja. Bahkan, akibat definisi pekerja/buruh yang sangat longgar, pekerja rumah tangga, buruh informal, dan pekerja warung nasi harus dibayar sesuai UMP.

Meski kenaikan di atas 10 persen tak terlalu membebani perusahaan omzet besar, khususnya multinasional, seperti perusahaan sepatu Adidas atau PT Freeport, tetapi sangat membebani perusahaan kecil dengan konsumen pasar domestik, misal perusahaan sepatu di Cibaduyut. Mengapa upah minimum hotel melati harus sama dengan hotel intercontinental?

(ii) Upah tak dipatuhi mayoritas perusahaan. Tingginya penawaran kerja dan pengawasan ketenagakerjaan yang lemah membuat penyimpangan pembayaran upah sangat tinggi. Tingkat upah kebanyakan didasarkan hukum permintaan dan penawaran. Mayoritas buruh harus menerima kenyataan dibayar di bawah UMP asal bisa tetap kerja. Apalagi 99 persen perusahaan di Indonesia adalah UMK yang tak semuanya punya kesanggupan mengikuti kenaikan UMP setiap tahun. Kenaikan upah yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan produktivitas, dalam pasar kerja yang berlebih, pasti akan menciptakan berbagai distorsi. Tak ada perusahaan rela membayar UMP jika produktivitas atau keuntungan lebih kecil dari kenaikan UMP. Selama ini sistem pengupahan berjalan dalam kemunafikan, seolah kenaikan UMP selalu dipatuhi semua perusahaan, padahal kenaikan hanya dinikmati kurang dari 10 persen buruh.

iii) Sistem pengupahan tak mendorong terciptanya produktivitas dan rasa kepemilikan; karena malas dan rajin tak mengurangi UMP mereka. (iv) Sistem upah saat ini juga rawan skandal karena faktor minimnya independensi dewan pengupahan tripartit; banyak daerah menetapkan upah tanpa berunding atau melibatkan unsur tripartit.

(v) Terjadi konflik antar-serikat buruh meluas; karena serikat buruh di luar dewan tripartit pasti selalu menolak hasil perundingan tripartit, mereka ingin dilibatkan dalam pembatasan upah sekalipun anggota kecil. (vi) Tak mendorong buruh berserikat karena semua buruh bisa menikmati kenaikan UMP tanpa harus masuk di serikat buruh. Buruh, khususnya yang berada di cakupan UMP menempatkan prioritas utama kehidupannya dalam hal upah, sukarela bergabung jika ada hubungan dengan kenaikan upah.

Sistem Pengupahan

Upah minimum harus tetap ada karena sistem itu dibuat untuk mencegah eksploitasi jika upah buruh didasarkan atas mekanisme pasar. Namun, Indonesia perlu mereformasi sistem pengupahan untuk menciptakan sistem yang lebih adil, mengurangi konflik laten hubungan industrial, sekaligus menciptakan kesinambungan ekonomi yang menguntungkan buruh dan majikan. Sebaiknya upah ditetapkan dengan dua cara, yaitu upah minimum dan upah hidup layak (UHL).

Upah minimum ditujukan sebagai jaring pengaman untuk buruh di sektor usaha kecil dan rawan, sementara UHL untuk buruh perusahaan skala besar. Upah minimum direkomendasikan dan ditetapkan pemerintah di tingkat kabupaten/kota. Tak perlu ada UMP karena kemajuan ekonomi setiap kabupaten/kota berbeda. UHL ditetapkan lewat perundingan bipartit serikat buruh dan pengusaha di tingkat perusahaan berdasar produktivitas perusahaan. Upah hidup layak ini tak boleh lebih rendah dari upah minimum.

Dengan mekanisme ini, tercipta hubungan pengusaha dan buruh yang lebih harmonis sebab setiap perusahaan akan menaikkan upah sesuai kondisi nyata perusahaan. Dalam konsep di atas, tentu saja besaran kenaikan upah berbeda antara perusahaan satu dan lainnya. Namun, ini akan mendorong terciptanya kompetisi efisiensi, khususnya perusahaan sejenis, akibat terjadi saling bagi pengalaman (lesson learnt). Serikat buruh juga tak akan bodoh meminta kenaikan upah melebihi kemampuan perusahaan dengan mengambil risiko perusahaan bangkrut.

Namun, sistem ini hanya berhasil jika ada transparansi keuangan perusahaan dengan keharusan memberikan data keuangan yang sesungguhnya saat perundingan upah. Bahkan, harus ada klausul serikat buruh bisa meminta pendapat audit independen jika ada kecurigaan laporan keuangan. Kian tinggi produktivitas, kian tinggi upah. Hal positif lain, buruh terdorong membentuk serikat buruh karena itu diperlukan untuk mewakili mereka merundingkan upah. Sistem baru ini nanti akan mengarahkan hubungan industrial yang rendah konflik karena relatif lebih adil ketimbang sistem sekarang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar