Kamis, 24 November 2011

Papua Roadmap: Bagian Perjalanan Damai Papua


Papua Roadmap: Bagian Perjalanan Damai Papua  

Adriana Elisabeth, KOORDINATOR TIM KAJIAN PAPUA LIPI 2004-2006,
ANGGOTA TIM PAPUA ROAD MAP (PRM)
  
Sumber : SINDO, 25 November 2011



Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan penelitian konflik di Papua pada 2004 di bawah riset kompetitif LIPI subprogram “Otonomi Daerah, Konflik, dan Daya Saing”.
Tim penelitian Papua terlambat satu tahun diban-dingkan tim penelitian lain yang berada di bawah subprogram yang sama, yakni tim penelitian konflik di Aceh, Maluku, konflik kehutanan dan pertambangan, yang telah dimulai pada 2003. Pada 2004, penelitian Papua difokuskan pada pemetaan para aktor dan kepentingan mereka di Papua. Kemudian pada tahun kedua (2005),judul dan fokus penelitian lebih bernuansa positif dengan menganalisis agenda damai dan potensi perdamaian di Papua.

Selanjutnya pada 2006, penelitian Papua membahas proses trust building dan rekonsiliasi di Papua dan melakukan studi perbandingan dengan upaya membangun saling percaya yang dilakukan oleh negara lain, seperti di Amerika Latin dan Afrika Selatan. Di akhir 2008, penelitian Papua dibuat dalam sebuah buku yang dikenal dengan Papua Road Map (singkatnya PRM). Intinya, tim PRM bukan hanya menghasilkan pemetaan masalah utama di Papua, namun yang utama adalah menawarkan alternatif solusi damai dan bermartabat di Papua.

Secara tidak langsung, pendekatan PRM sangat berbeda dengan berbagai pendekatan yang diterapkan di Papua yang hampir semuanya berdimensi fisik ditambah bernuansa kekerasan. Pendekatan PRM memperhatikan pula pentingnya mengatasi persoalan kemanusiaan yang dimensi nonfisik (intangible) yang berkembang di Papua sejak 1962 sampai sekarang.

Empat isu utama di Papua mencakup: Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.Kedua, pelanggaran HAM dan kekerasan negara yang sampai hari ini belum ada masalah pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil, termasuk juga belum berhasil diputusnya siklus kekerasan di Papua yang dilakukan negara.

Ketiga, sejarah dan status politik Papua yang terus diperdebatkan di kalangan orang Papua, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan Act of Free Choice pada 1962 yang menghasilkan integrasi (reintegrasi) Papua ke Indonesia. Keempat,kegagalan pembangunan berkaitan dengan implementasi UU Otsus Papua, terutama bila dilihat dari keberhasilan/kegagalan di empat sektor prioritas: pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat,dan pembangunan infrastruktur.

Asumsinya, dengan dana otsus yang besar (sejak 2001 sampai sekarang berjumlah Rp28,3 triliun) seharusnya orang Papua sudah jauh lebih sejahtera. Namun, Papua tetap tercatat sebagai daerah paling miskin di Indonesia (Provinsi Papua 38% dan Provinsi Papua Barat 40%). Selain memetakan masalah di Papua, tim PRM juga menawarkan alternatif solusi:

Pertama, rekognisi dan pemberdayaan orang asli Papua.Kedua, paradigma baru pembangunan Papua. Ketiga, pengadilan HAM dan rekonsiliasi. Bagaimana semua ini bisa dilakukan? Selain meneruskan program- program pembangunan yang sudah/sedang berjalan, rekomendasi kebijakan yang paling penting adalah memungkinkan terjadinya dialog antara pihak-pihak yang berkonflik, baik di Papua maupun dengan Jakarta.

Saling Berkorelasi

Meskipun keempat isu utama dalam konflik Papua dapat dikategorikan secara terpisah, dalam menganalisisnya cenderung saling berkorelasi. Hal ini antara lain karena rentang waktu persoalan Papua yang sudah sangat lama,namun tidak pernah coba diselesaikan secara tuntas. Selain itu, hampir semua kebijakan dan program di Papua juga terfokus pada penyelesaian persoalan keterbatasan fisik dan infrastruktur.

Padahal, pendekatan ekonomi dan infrastruktur pun tidak sepenuhnya mampu mengatasi persoalan keterbatasan dan ketertinggalan daerah Papua, sekalipun menggunakan indikator dan parameter yang terukur. Contoh yang paling nyata adalah masih buruknya fasilitas pelayanan publik di Papua, terutama pendidikan dan kesehatan. Karena masalah di Papua tidak bisa dianalisis secara terpisah, solusinya pun bersifat simultan dan terpadu, serta tidak boleh lagi mengakibatkan munculnya persoalan baru apalagi bersifat represif.

Sebagai contoh, pembukaan lahan di atas tanah adat penduduk asli Papua harus dilakukan dengan komunikasi yang terbuka dan persuasif. Jangan sampai hanya berpihak pada kepentingan investor, di mana pemerintah daerah di Papua cenderung membela kepentingan investor, serta dengan sengaja melupakan prinsip kepemilikan hak ulayat orang asli Papua.

Dialog bukan solusi,melainkan media atau forum yang disediakan untuk memulai kebuntuan komunikasi politik antara Jakarta dan Papua. Komunikasi yang lebih intens dan reguler menjadi penting dalam rangka mengatasi ketegangan, saling curiga, dan saling tidak percaya antara Jakarta dan Papua selama ini. Dialog damai bukan sesuatu yang instan, melainkan proses panjang yang harus dipersiapkan secara matang.

Meskipun rumit, dialog sangat mungkin dilakukan dengan terlebih dulu menciptakan kondisi-kondisi yang membuat para pihak semakin yakin untuk berdialog. Pertama, adalah syarat-syarat dialog,meliputi kesetaraan, keterbukaan, saling menghargai. Kedua,menyelesaikan akar persoalan kekerasan di Papua mencakup pembebasan tahanan politik dan narapidana politik (tapol/napol), penanganan masalah tanah (politik pertanahan), penataan aparat keamanan dan intelijen, serta penyelesaian pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM yang adil.

Ketiga, dialog harus dipersiapkan oleh semua pihak berkaitan dengan format dialog. Keempat,dialog nasional harus berdasarkan keputusan politik Pemerintah Indonesia, tanpa keputusan politik yang resmi, hampir pasti tidak akan mungkin ada dialog damai. Tujuan utama dialog adalah untuk mengatasi masalahmasalah nonfisik yang selama ini cenderung diabaikan seperti persoalan rekognisi terkait dengan pengalaman kekerasan dan penderitaan orang Papua (memoria passionis), ketidakamanan dan ketidaknyamanan karena pendekatan represif.

Termasuk juga terbatasnya kebebasan politik sipil di Papua,terutama karena stigma separatis yang melekat kuat ditujukan pada mereka yang menyampaikan perbedaan aspirasi politik dengan Pemerintah Indonesia. Dari seluruh proses damai dan terutama untuk menuju dialog damai antara Jakarta dan Papua, hal terpenting adalah semua pihak harus memiliki pemahaman yang sama mengenai makna dan urgensi dialog.

Dialog bukan merdeka, dialog juga bukan NKRI,otsus, atau percepatan pembangunan Papua. Esensi dialog adalah sebuah media, alat, cara berkomunikasi bagi para pihak untuk mulai membuka diri, memandang pihak lain secara setara dan bermartabat, serta keinginan baik untuk mau duduk bersama membicarakan isu-isu yang selama ini menjadi sumber perpecahan,ketegangan, konflik,dan asal-muasal kekerasan di Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar