Profesionalitas Pengadil Tipikor
Agus Nurudin, ADVOKAT, KANDIDAT DOKTOR ILMU HUKUM UNDIP SEMARANG
Sumber : SUARA MERDEKA, 28 November 2011
"Hakim memimpin persidangan berdasarkan bukti yang hanya diajukan jaksa karena ia tidak bisa melihat bukti lain"
Vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi di beberapa pengadilan tipikor daerah mengundang berbagai komentar yang umumnya menyatakan prihatin. Beberapa pendapat cenderung menyalahkan sang pengadil sebagai penyebab utamanya. Salah satu tanggapan cukup mengejutkan datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang meminta pengadilan tipikor daerah dibubarkan. Terlihat ia sangat kecewa dengan kinerja hakim tipikor daerah yang cenderung membebaskan terdakwa korupsi.
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman tidak kalah kecewanya sehingga ia menyeru agar proses persidangan kasus korupsi di beberapa pengadilan tipikor daerah untuk sementara ditunda dan dihentikan. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis berpendapat fakta itu menunjukkan kualitas hakim kurang meyakinkan. Selain itu, hakim tipikor kurang memahami kejahatan korupsi karena rekam jejak mereka pun kurang meyakinkan. Selama ini, sebagian besar dari mereka adalah pencari kerja.
Menunda, menghentikan sementara, apalagi membubarkan pengadilan tipikor adalah langkah mundur dalam penegakan hukum. Bagaimana pun, pengadilan tipikor harus eksis, sambil mencari dan menyelesaikan akar permasalahannya. Membubarkan pengadilan tipikor ibarat membakar rumah gara-gara ada tikus di dalamnya. Mestinya tangkap lalu bakar tikusnya, kemudian carilah penyebabnya mengapa tikus sering masuk ke rumah.
Kecenderungan yang agak menyesatkan menyikapi putusan bebas pengadilan tipikor adalah karena kebanyakan orang menyalahkan hakim sebagai penyebabnya. Memang benar, hakimlah yang mengetuk palu sehingga terdakwa korupsi dihukum atau dibebaskan, tetapi pengetukan palu oleh sang pengadil adalah kesimpulan akhir dari seluruh proses persidangan.
Artinya berdasarkan fakta hukum dalam persidangan, bukan fakta hukum di luar persidangan (berkas perkara), apalagi opini masyarakat yang belum tentu semuanya memahami penanganan masalah korupsi. Hakim hanyalah salah satu unsur dari proses persidangan. Selain dia, ada jaksa, staf BPKP, polisi, dan advokat, belum lagi faktor lain seperti pengaruh kekuasaan (politik) yang bisa men-setting seseorang korupsi atau tidak, atau adanya suap-menyuap.
Publik perlu memahami bahwa jaksa selalu meminta BPKP menghitung kerugian negara. Ini juga bisa menjadi faktor penyebab putusan bebas. Ketika pengadilan memutus bebas maka harus dihormati sebagai putusan pengadilan, bukan putusan hakim semata, sebab unsur jaksa, polisi, advokat dan faktor-faktor lain menyatu dalam putusan tersebut.
Jika faktor hakim semata, patut dipertanyakan apakah pengadil tipikor tetap nekat memutuskan hukuman penjara, padahal dalam persidangan tidak ditemukan bukti kuat korupsi? Patutkah hakim selalu dipersalahkan? Tidakkah kita perlu mencermati lagi, artinya apakah tuntutan jaksa sudah didukung bukti kuat, atau sebaliknya yaitu tuntutannya sangat lemah sehingga terdakwa bisa diputus bebas?
Negara Kekuasaan
Hakim memimpin jalannya persidangan berdasarkan bukti yang hanya diajukan jaksa. Dia tidak bisa melihat bukti lain, atau bisa dikatakan hakim seperti memakai kaca mata kuda. Hakim hanya terbatas pada dakwaan, tidak boleh mengadili, dan memeriksa fakta di luar dakwaan. Jadi, kalau putusan pengadilan itu adalah bebas maka bukan hanya hakim yang bertanggung jawab melainkan juga jaksa dan aparat penegak hukum lainnya.
Jika orang terpilih menjadi hakim di pengadilan tipikor dan kemudian diminta harus menghukum semua orang yang didakwa korupsi tanpa memperhatikan fakta-fakta persidangan berarti kita mundur, kembali ke negara kekuasaan, bukan negara hukum. Salah satu karakter negatif negara kekuasaan adalah hakim sebagai alat kekuasaan dan tidak punya kemandirian.
Ke depan, pemerintah, khususnya departemen yang terkait, agar lebih matang merekrut hakim pengadilan tipikor, jaksa dan polisi dalam profesionalitas tinggi, agar jaksa juga profesional dalam menyusun tuntutannya. Jika semuanya dipersiapkan dengan baik, termasuk dana pendukungnya maka profesionalitas penegakan hukum bisa terwujud. Profesionalitas hakim tidak semata-mata diukur dari putusannya, demikian juga jaksa semata-mata dari tuntutannya. Yang lebih penting adalah sejauh mana mereka dengan jujur, adil, dan profesional melaksanakan tugasnya. ●
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman tidak kalah kecewanya sehingga ia menyeru agar proses persidangan kasus korupsi di beberapa pengadilan tipikor daerah untuk sementara ditunda dan dihentikan. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis berpendapat fakta itu menunjukkan kualitas hakim kurang meyakinkan. Selain itu, hakim tipikor kurang memahami kejahatan korupsi karena rekam jejak mereka pun kurang meyakinkan. Selama ini, sebagian besar dari mereka adalah pencari kerja.
Menunda, menghentikan sementara, apalagi membubarkan pengadilan tipikor adalah langkah mundur dalam penegakan hukum. Bagaimana pun, pengadilan tipikor harus eksis, sambil mencari dan menyelesaikan akar permasalahannya. Membubarkan pengadilan tipikor ibarat membakar rumah gara-gara ada tikus di dalamnya. Mestinya tangkap lalu bakar tikusnya, kemudian carilah penyebabnya mengapa tikus sering masuk ke rumah.
Kecenderungan yang agak menyesatkan menyikapi putusan bebas pengadilan tipikor adalah karena kebanyakan orang menyalahkan hakim sebagai penyebabnya. Memang benar, hakimlah yang mengetuk palu sehingga terdakwa korupsi dihukum atau dibebaskan, tetapi pengetukan palu oleh sang pengadil adalah kesimpulan akhir dari seluruh proses persidangan.
Artinya berdasarkan fakta hukum dalam persidangan, bukan fakta hukum di luar persidangan (berkas perkara), apalagi opini masyarakat yang belum tentu semuanya memahami penanganan masalah korupsi. Hakim hanyalah salah satu unsur dari proses persidangan. Selain dia, ada jaksa, staf BPKP, polisi, dan advokat, belum lagi faktor lain seperti pengaruh kekuasaan (politik) yang bisa men-setting seseorang korupsi atau tidak, atau adanya suap-menyuap.
Publik perlu memahami bahwa jaksa selalu meminta BPKP menghitung kerugian negara. Ini juga bisa menjadi faktor penyebab putusan bebas. Ketika pengadilan memutus bebas maka harus dihormati sebagai putusan pengadilan, bukan putusan hakim semata, sebab unsur jaksa, polisi, advokat dan faktor-faktor lain menyatu dalam putusan tersebut.
Jika faktor hakim semata, patut dipertanyakan apakah pengadil tipikor tetap nekat memutuskan hukuman penjara, padahal dalam persidangan tidak ditemukan bukti kuat korupsi? Patutkah hakim selalu dipersalahkan? Tidakkah kita perlu mencermati lagi, artinya apakah tuntutan jaksa sudah didukung bukti kuat, atau sebaliknya yaitu tuntutannya sangat lemah sehingga terdakwa bisa diputus bebas?
Negara Kekuasaan
Hakim memimpin jalannya persidangan berdasarkan bukti yang hanya diajukan jaksa. Dia tidak bisa melihat bukti lain, atau bisa dikatakan hakim seperti memakai kaca mata kuda. Hakim hanya terbatas pada dakwaan, tidak boleh mengadili, dan memeriksa fakta di luar dakwaan. Jadi, kalau putusan pengadilan itu adalah bebas maka bukan hanya hakim yang bertanggung jawab melainkan juga jaksa dan aparat penegak hukum lainnya.
Jika orang terpilih menjadi hakim di pengadilan tipikor dan kemudian diminta harus menghukum semua orang yang didakwa korupsi tanpa memperhatikan fakta-fakta persidangan berarti kita mundur, kembali ke negara kekuasaan, bukan negara hukum. Salah satu karakter negatif negara kekuasaan adalah hakim sebagai alat kekuasaan dan tidak punya kemandirian.
Ke depan, pemerintah, khususnya departemen yang terkait, agar lebih matang merekrut hakim pengadilan tipikor, jaksa dan polisi dalam profesionalitas tinggi, agar jaksa juga profesional dalam menyusun tuntutannya. Jika semuanya dipersiapkan dengan baik, termasuk dana pendukungnya maka profesionalitas penegakan hukum bisa terwujud. Profesionalitas hakim tidak semata-mata diukur dari putusannya, demikian juga jaksa semata-mata dari tuntutannya. Yang lebih penting adalah sejauh mana mereka dengan jujur, adil, dan profesional melaksanakan tugasnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar