Rabu, 23 November 2011

Diponegoro dan Orang Sekarang

Diponegoro dan Orang Sekarang

Agus Dermawan T.,KRITIKUS, ESAIS, PENULIS BUKU-BUKU SENI
Sumber : KORAN TEMPO, 24 November 2011



Kepahlawanan Pangeran Diponegoro (1785-1855) kembali aktual pada tiga bulan terakhir, dan memuncak pada November 2011. Pasalnya,11 November adalah hari
lahir putra Sultan Hamengku Buwono III itu. Dan untuk memperingati keberanian serta kebesarannya, penari Sardono W.Kusumo mementaskan tari-drama-nyanyi Java War! 1825-0000. Pentas unik ini digelar di Teater Jakarta dengan bintang Sardono sendiri, penyanyi Iwan Fals, serta pemain film dan teater Happy Salma.

Diponegoro tentulah orang yang luar biasa. Selama lebih dari satu setengah abad, orang Jawa mengingatnya sebagai lelaki yang rendah hati dan jauh dari hasrat ingin bertakhta. Diponegoro juga dikenang sebagai manusia yang jauh dari niat mengambil yang bukan miliknya, bahkan termasuk soal kelimpahan fasilitas yang diberikan dengan sepenuh hati oleh ayahnya. Sehingga ia sesungguhnya adalah contoh paling relevan untuk memperbaiki perilaku bangsa Indonesia kontemporer, yang tak bisa lari dari nafsu untuk memperkaya diri dan berkuasa.

Ketika Sultan Hamengku Buwono III ingin mengangkatnya menjadi sultan untuk menggantikannya,Diponegoro menolak. Di tengah tawaran yang menjanjikan ketinggian citra dan keramaian seremonial itu, ia bertutur: “Dengan perasaan terima kasih tiada terhingga anakanda menghargai dan menjunjung tinggi keinginan paduka Ayahanda. Namun kehormatan setinggi itu saya serahkan dengan keikhlasan hati kepada adik anakanda. Sebagai kakak, saya akan membantunya dengan segala daya dan nasihat.” (Babad Cakranegara). Pada akhirnya sejarah menyaksikan, yang duduk di singgasana adalah Sultan Jarot, sebagai Hamengku Buwono IV.

Positivitas Diponegoro didapat dari guru spiritualnya, Kanjeng Ratu Ageng, yang sekaligus neneknya. Dengan bekal mental itu Diponegoro lantas selalu siap dengan
sikap madheb, karep, manteb (jelas posisinya, jelas tujuannya, dan tegas pelaksanaannya). Bandingkan dengan hasrat sejumlah “pemilik peluang”di negeri ini, yang tak henti bergairah memakan segala hal yang bukan haknya. Dari polisi, hakim,
jaksa, kepala daerah, anggota parlemen, sampai menteri, sehingga muncul budaya
korupsi. Dan bandingkan pula dengan sejumlah politikus atau pseudo-politikus di
Indonesia yang dengan sebisanya merebut kursi tertinggi pejabat negara, dari bupati
sampai kepala negara, dengan menggunakan kesempatan nepotis ayahnya, adiknya,
suaminya, iparnya, pakdenya, keponakannya.

Perang Dimulai

Tanpa kekuasaan dan jabatan kesultanan, Diponegoro tulus mengabdikan diri kepada
masyarakat luas. Mripat-nya senantiasa dibuka untuk melihat kenyataan. Hati nuraninya selalu digetarkan untuk mengukur kebenaran dan kebatilan. Kepintarannya
dipakai untuk menyusun kebijaksanaan. Ketangkasannya digunakan untuk melindungi rakyatnya.

Karena itu, ia gusar ketika Belanda memungut bermacam-macam jenis pajak kepada rakyat yang sudah sulit dalam menjalani hidup. Ia berang ketika Belanda mengintervensi urusan perwalian keraton, ketika Sultan Hamengku Buwono IV (adiknya) mangkat pada 1822. Ia benci kepada Belanda yang terus menghasut kerabat
keraton agar mencurigai dirinya sebagai musuh dalam selimut.

Kegusaran, keberangan, dan kebencian itu meledak jadi kemarahan hebat ketika ia tahu Belanda membuat patok-patok tanah yang menggilas tanah pekuburan keluarga
(nenek moyang) Diponegoro. Pematokan tanah untuk jalan raya itu dilakukan oleh anak buah Patih Danurejo IV, antek-antek Belanda. Diponegoro mencabuti patok-patok itu, namun Belanda selalu memasangnya kembali.Ketegangan muncul, Diponegoro melawan. Sampai akhirnya Diponegoro diserang secara mendadak di kediamannya, Tegalrejo. Diponegoro, yang terkejut, segara menyingkir ke Goa Selarong untuk menyiapkan kekuatan. Perang pun dimulai.

Berkaitan dengan patok-patok ini kita bisa membandingkan dengan keributan masalah perbatasan darat dan laut Indonesia-Malaysia, yang ujung-ujungnya sering bermuara pada diplomasi pelunakan, dan memposisikan Indonesia sebagai pecundang. Perang Diponegoro memang meletus di Yogyakarta. Namun heroisme Diponegoro menyulut pemberontakan terhadap Belanda di segala penjuru Jawa. Di Bagelen, Kedu, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Blora, Bojonegoro, Madiun, Kertosono, dan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Belanda yang kelabakan mencatat, 15 dari 29 pangeran Yogyakarta, serta 41 dari 88 bupati di Jawa, mendukung Diponegoro untuk melakukan pemberontakan. Bagi Belanda, inilah perang paling merepotkan dan memakan korban selama 200 tahun penjajahannya.Tak kurang dari 15 ribu tentara Belanda mati. Namun, dipihak Diponegoro, sekitar 20 ribu yang tewas. Sementara itu, Belanda yang panik seenaknya membantai 180 ribu penduduk di sepanjang Pulau Jawa.

Keberanian Diponegoro telah solid di hati masyarakat Indonesia. Karena itu, jangan
sekali-kali mengusik kebesarannya. Sebuah amsal, pada medio September 2011 sejarawan Belanda menulis bahwa Diponegoro memberontak karena tuntutannya
atas jabatan kesultanan tidak dikabulkan Belanda. Atas sejarah tak berdasar itu para pakar Indonesia gusar. Sehingga diadakanlah seminar di Universitas Diponegoro dan di Arsip Nasional RI Semarang, dengan menampilkan sebarisan pembicara, dari Prof Dr Fasli Jalal, Ph.D, Prof Dr Wardiman Djojonegoro, Dr Sugeng Priyadi, Prof Dr Masrukhi, Prof Dr Dadang Supardan, Dr Murni Ramli, sampai Dr Peter Carey.

Ditangkap atau Takluk?

Perang Jawa alias Perang Diponegoro berakhir ketika Jenderal H.M. De Kock menangkap panglima hebat ini dalam sebuah “perundingan damai”di hari kedua Idul Fitri. Perundingan yang dilangsungkan di Magelang pada 28 Maret 1930 itu ternyata memiliki agenda licik dan tersembunyi: menangkap Diponegoro. Dengan ditangisi
rakyatnya, Diponegoro diasingkan ke Manado, untuk kemudian dipindahkan ke Makassar, tempat meninggalnya pada 8 Januari 1855.

Kisah penangkapan Pangeran Diponegoro ini dilukiskan dengan apik oleh Raden Saleh (1807-1880). Lukisan berukuran 112 x 178 cm ciptaan 1857 itu kini terpajang di Istana Negara. Raden Saleh memang pendukung Perang Diponegoro, meski setengah hatinya mengabdi kepada kolonialisme Belanda. Ketika pemihakan kepada Diponegoro ini diketahui, Belanda mengancam akan memangkas biaya hidup Raden Saleh semasa hidup di Den Haag (Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1873). Kasus ini membuktikan betapa Belanda sangat takut kepada Diponegoro.

Ada satu lagi lukisan yang mengisahkan penangkapan itu. Lukisan tersebut diciptakan
Nicolaas Pieneman (1809-1860). Harus diakui, lukisan Nicolaas lebih sempurna dibanding karya Raden Saleh. Namun, dasar Belanda, lukisan koleksi Rijksmuseum
Amsterdam ini diberi judul “Takluknya Diponegoro”, yang dikonotasikan sebagai Diponegoro menyerahkan diri.

Pelukis lain yang kerap merekam Diponegoro adalah Basoeki Abdullah (1915-1993). Syahdan, Basoeki adalah “penemu” wajah Diponegoro yang sesungguhnya, lantaran Diponegoro semasa hidupnya selalu menghindar bila direkam. Menurut hikayat, Basoeki pernah bertemu dengan Diponegoro di Pantai Parangtritis, lewat mediator
Nyi Loro Kidul. Percaya atau tidak, sampai sekarang wajah Diponegoro ala Basoeki itulah yang diikuti oleh khalayak ramai sebagai panduan mengenali Sang Pangeran Pahlawan. Lukisan itu berjudul “Pangeran Diponegoro Memimpin Perang”, ciptaan 1949, koleksi Presiden Sukarno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar