P e t a n i
Mohamad Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
Sumber : SINDO, 28 November 2011
Di zaman pergolakan revolusi kemerdekaan, Bung Karno menyebut petani sebagai sokoguru revolusi. Pidato-pidato Bung Karno yang bersemangat, jauh sesudah negeri kita merdeka,pun masih tetap menyebut besarnya peranan kaum tani di dalam revolusi kemerdekaan kita.
Pemimpin seperti beliau sadar, negeri kita hidup dengan mengandalkan hasil pertanian. Negeri agraris seperti negeri kita di zaman itu mengakui peran besar kaum tani di masa perang maupun di masa damai.Sekali lagi Bung Karno menganggap petani sebagai sokoguru revolusi. Petani merupakan kekuatan penyangga jalannya revolusi karena dukungan petani terhadap kaum pergerakan sangat besar. Desa-desa kita pernah menjadi “gudang”persediaan pangan bagi tentara revolusioner yang terdesak ke kampung-kampung dan tak sempat menyiapkan perbekalan yang diperlukan untuk bertahan dalam waktu yang tak diketahui berapa lama.
Petani yang hidup miskin rela berbagi apa yang mereka punya demi revolusi. Sedikit beras disumbangkan buat revolusi. Hewan piaraan seperti ayam atau kambing disumbangkan secara sukarela demi revolusi. Banyak hal disumbangkan demi revolusi. Di sini tampak sangat jelas, petani juga memiliki sifat revolusioner, yang berpikir tentang kemerdekaan dan masa depan yang masih jauh dan belum pasti.Dan apa yang belum pasti dianggap lebih baik daripada kepastian hidup di dalam cengkeraman kaum kolonialis dan imperialis yang tak berperikemanusiaan itu.
Pahlawan
Dunia ilmu pengetahuan kita, terutama disiplin sejarah dan antropologi,merekam perlawanan terhadap penjajah secara sporadis, penuh kemarahan, dan tak terorganisasi. Sejarawan terkemuka Sartono Kartodirdjo mencatat dengan baik gejolak kaum tani yang gigih itu.Pemberontakan Petani Banten 1888 patut dicatat sebagai puncak karyanya yang terbesar mengenai petani.
Dalam perdebatan ilmiah di bidang sejarah, tentang siapa yang disebut pahlawan, para sarjana India yang tergabung di dalam kelompok subaltern studies membela dengan pemihakan yang jelas dan mengakui besarnya peranan kaum tani di masa revolusi. Mereka menyesalkan sikap para sejarawan yang tak adil,yang menempatkan orang-orang besar sebagai pahlawan,yang dipujapuja, dan kaum tani dilupakan. Kajian terhadap sejarah yang disebut Eropa-sentris dan kolonial-sentris itu dianggap elitis karena hanya orang besar yang peranan sejarahnya diakui.
Kaum tani yang tak kalah revolusioner dan memberi sumbangan besar bagi pergolakan revolusi dianggap tak penting dan dibiarkan hilang dalam kegelapan sejarah. Ketidakadilan sejarawan kolonial itu yang menjadi problem keilmuan dirombak kembali dalam kajian subaltern studies tersebut agar kita bisa memandang secara jernih peran mereka yang sebenarnya pahlawan dan bukan pahlawan.
Ketika Bung Karno berteriak dengan bangga bahwa “petani adalah sokoguru revolusi”, dia dengan adil menyebut petani juga pahlawan yang besar jasanya.Petani sendiri tak pernah minta diri mereka dikenang dalam sejarah.Tapi kita yang hidup jauh di zaman sesudah gejolak revolusi itu,yang kini tinggal menikmati “buahnya”, ikut risau memandang zaman itu.
Berubah
Dari abad ke abad peranan petani berubah. Romantisme terhadap petani pun perlahanlahan “mendingin”.Perubahan sosial yang cepat dan mengguncangkanjiwamasyarakatagraris menjadi ancaman menggelisahkan dunia kaum tani.Ketika masyarakat agraris-tradisional berubah menjadi masyarakat industri-modern,hidup tak lagi bertumpu pada pertanian.Peran sejarah kaum tani pun menjadi semakin kecil dan dengan mudah bisa dilupakan begitu saja. Hanya dalam momentum penting petani dipandang relevan untuk diingat dan dijadikan pusat diskursus politik yang panas.
Jalinan petaniindustri membuat petani tak sepenuhnya mati di dalam masyarakat berbasis industri karena dunia industri memerlukan petani untuk menjadi pemasok bahan baku. Relasi-relasi fungsional petani tembakau-pabrik keretek kita memperlihatkan bahwa fungsi petani masih sangat penting di dalam masyarakat industri. Industri keretek tanpa petani tak mungkin berproduksi. Tapi apa arti petani secara ekonomi dan kebudayaan bila pabrik tak ada? Merekayang “mengecilkan” arti petani akan terkejut karena petani tak bisa dikecilkan.
Dalam banyak kajian ilmiah diperlihatkan bagaimana pada akhirnya petani,yang diam,sabar,dan tabah menghadapi tekanan berbagai kebi-jakan pemerintah, akhirnya bangkit sebagai kekuatan mengejutkan. Kebijakan-kebijakan mengatur apa yang mereka sebut “dampak produk tembakau” yang kelihatannya begitu klinis, semata-mata berurusan dengan pabrik keretek,petani paham sepaham-pahamnya bahwa hidup mereka terancam. Kebijakan itu juga tertuju kepada mereka.
Tokoh-tokoh yang membela kepentingan pemerintah untuk membuat regulasi—suatu regulasi pesanan bangsa asing dan kepentingan asing—pura-pura tak tahu bahwa langkah yang mereka bela itu pada hakikatnya mengancam kehidupan petani tembakau.Dalam kehidupan orang dewasa yang penuh kepura-puraan—terutama di kalangan mereka yang bermain politik dengan sempurna—bersikap pura-pura menjadi kebiasaan yang dipertahankan.Tapi pura-pura tidak tahu, bahwa regulasi seperti pada akhirnya mengancam kehidupan petani tembakau,hanya akan menjadi kepura-puraan semu karena yang ditipu hanya diri mereka sendiri.
Menipu diri untuk purapura tidak tahu bahwa mereka membela kepentingan bangsa asing dan mengancam kehidupan bangsa sendiri, ini pertamatama akan menjadi perkara politik yang tak sehat. Dan kemudian akan tumbuh sebagai gejala psikologi yang memalukan. Selebihnya, jika kehidupan petani tembakau ditekan dan terus-menerus diancam oleh pemerintah sendiri, petani akan bangkit dan menyatukan kekuatan seperti pengalaman sejarah di masa lampau.
Petani tembakau akan melawan siapa saja. Juga pemerintah lokal, yang menyimpang dari kewajibannya sebagai pemerintah, untuk menjalankan mandat konstitusi agar mereka tak lupa bahwa petani itu sokoguru revolusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar