Kamis, 24 November 2011

Tantangan Revolusi Mesir


Tantangan Revolusi Mesir 

Hasibullah Satrawi, Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Sumber : KOMPAS, 25 November 2011


Huru-hara politik di Mesir masih jauh dari ”berakhir”. Pelengseran paksa Hosni Mubarak pada 11 Februari lalu yang dimotori kekuatan revolusi 25 Januari seakan-akan membuka sejumlah persoalan baru yang tak kalah berat ketimbang masalah yang dihadapi rakyat Mesir saat Mubarak berkuasa.

Bentrokan antara massa dan aparatur keamanan yang kembali terjadi di Alun-alun Tahrir menunjukkan bahwa masa depan Mesir setelah revolusi 25 Januari ”masih gelap”. Sejumlah media yang terbit di Timur Tengah melaporkan sedikitnya 35 orang menjadi korban bentrok mutakhir yang terjadi sejak Jumat, 18 November lalu (Aljazeera.net, 22/11).

Panggung Kekerasan

Aksi kekerasan bukan hanya kali ini saja terjadi di Mesir setelah revolusi 25 Januari. Yang berbahaya tentulah apabila aksi kekerasan bercorak agama. Pada 9 Oktober terjadi bentrokan antara militer Mesir dan demonstran dari kaum Kristen Koptik. Bentrok itu sedikitnya berakibat 26 jiwa melayang dan ratusan orang luka-luka. Pada mulanya adalah demonstrasi umat Kristen Mesir: mengecam pelbagai aksi diskriminatif yang dialami umat Kristen Koptik, khususnya di daerah terpencil. Gereja dirusak dan dibakar di kawasan Aswan.

Jauh sebelumnya, pecah konflik bermotif agama di Provinsi Imbabah yang tak jauh dari Kairo antara kaum Muslim dan umat Kristen. Konflik ini mengorbankan puluhan orang dan rumah ibadah (yang dibakar). Pelbagai konflik berlatar agama di Mesir mutakhir terjadi hampir bersamaan dengan pemunculan kekuatan politik agamis radikal yang menambah suram bayangan masa depan Mesir. Salah satu dari kekuatan politik agamis itu belakangan dikenal sebagai Islam Salafi.

Kehadiran Islam Salafi menimbulkan kecemasan baru di kalangan akademisi dan elite Mesir. Bukan semata-mata karena mereka hendak menjadikan Mesir sebagai negara agama, melainkan lantaran kelompok ini acap tampil lebih radikal dibandingkan dengan Ikhwan Muslimin (IM) yang dianggap sebagai kekuatan politik agama paling keras pada era Mubarak.
Tentu terlalu awal, bahkan tak bertanggung jawab, mengaitkan pelbagai macam konflik agama itu dengan kelompok agamis radikal. Terlebih lagi sampai menuduh kekuatan-kekuatan itu berada di balik semua konflik yang terjadi.

Jelaslah bahwa konflik berlatar agama yang hampir serempak terjadi belakangan membuat hubungan antarumat beragama di Mesir kini kuyup dengan rasa curiga antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Pada tahap ini dapat ditegaskan bahwa revolusi yang terjadi di Mesir hanya memberi panggung bagi radikalisme dan sejumlah aksi kekerasan. Dikatakan demikian karena sesudah revolusi 25 Januari, Mesir justru masuk ke dalam pusaran konflik yang sarat dengan ketidakpastian.

Masih terdapat sejumlah persoalan lain yang tak kalah berat: kepentingan kelompok-kelompok politik di sana. Salah satu di antaranya adalah persoalan pelaksanaan pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan Mesir definitif pasca-Mubarak. Waktu pelaksanaan pemilu masih persoalan cukup panas di kalangan elite politik Mesir. Sebagian pihak, seperti IM, menghendaki pemilu dilaksanakan selekas mungkin untuk mengakhiri semua ketidakpastian politik pascarevolusi 25 Januari.

Usul ini ditentang keras partai-partai politik baru. Mereka menganggap pelaksanaan pemilu yang lekas hanya menguntungkan kekuatan politik lama seperti IM, yang telah punya berbagai ”perangkat teknis” yang diperlukan guna memenangi pemilu.

Itu sebabnya, partai-partai politik baru mengusulkan agar pemilu Mesir ditunda hingga 
beberapa tahun ke depan untuk memberi waktu yang cukup kepada semua partai politik peserta pemilu, baik yang baru maupun yang lama.

Pada hemat saya, aksi demonstrasi yang terjadi belakangan beserta seluruh korbannya tak bisa dilepaskan dari konteks kepentingan politik seperti yang tadi disebutkan. Apalagi pemerintahan sementara Mesir bersikeras akan melaksanakan pemilu akhir November. Lebih kurang inilah yang bisa menjelaskan mengapa Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizbul Hurriyah wal ’Adalah) yang tak lain adalah sayap politik IM menyatakan tak ikut terlibat dalam sejumlah aksi massa yang terjadi belakangan ini.

Benar belaka bahwa kelompok massa di Alun-alun Tahrir saat ini menuntut Dewan Agung Militer Mesir segera menyerahkan pemerintahan kepada masyarakat sipil. Namun, hal ini bisa dibaca sebagai ”bingkai gerakan” untuk menarik perhatian masyarakat Mesir. Terutama setelah aparatur keamanan Mesir memperlakukan para demonstran secara brutal. Banyak pihak yang mengamini gerakan yang ada sekaligus melegitimasi gerakan tersebut sebagai gerakan rakyat.

Tantangan Revolusi

Inilah tantangan berat revolusi yang harus dihadapi oleh semua pihak di Mesir, mulai dari kaum pemuda yang berada di balik revolusi 25 Januari, para elite politik Mesir, hingga masyarakat luas. Ibarat orang menggenggam pasir, revolusi 25 Januari telah berhasil melepaskan genggaman kuat Mubarak terhadap rakyat Mesir. Kini rakyat Mesir bagai pasir yang beterbangan mengikuti arah angin kepentingan kelompok-kelompok politik di sana.

Sejauh ini kekuatan revolusi terus berupaya menghadapi pelbagai tantangan yang ada. Dalam konteks aksi kekerasan, kekuatan revolusi senantiasa melokalisasi berbagai konflik yang terjadi, khususnya konflik bercorak agama. Bahkan, kekuatan revolusi kerap mengorganisasikan demonstrasi bersama antarumat beragama sembari membawa kitab suci masing-masing untuk menyerukan kepada masyarakat luas agar tak terpecah-belah dan tetap 
menjaga kerukunan.

Sejatinya para elite Mesir juga melakukan hal yang tak kalah besar dari yang dilakukan para pemuda pada revolusi 25 Januari: menempatkan kepentingan nasional Mesir sebagai pijakan utama untuk menyelesaikan pelbagai perbedaan pandangan terkait dengan waktu pelaksanaan pemilu, atau hal terkait dengan perpolitikan lain. Bukan justru terjebak dengan kepentingan sempit masing-masing.

Masyarakat Mesir umumnya mengambil peran yang tak kalah besar: tidak terbawa oleh manuver dan provokasi pihak tertentu untuk kepentingan sempit mereka, terutama terkait dengan kerukunan antarumat beragama.

Dalam kurun waktu sekian lama, masyarakat Mesir senantiasa hidup rukun dalam beragam perbedaan yang ada, termasuk perbedaan agama. Ini adalah hal yang sangat berharga pada masyarakat Mesir yang sejatinya tidak ”ditukar” dengan hal-hal yang jauh lebih murah, seperti kepentingan politik tertentu dan kelompok tertentu yang jauh dari persatuan nasional.

Jika tidak, Mesir akan semakin jauh terperosok ke dalam jurang aksi kekerasan yang penuh 
dengan ketidakpastian itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar