Jual Beli Pasal Undang-undang
Marwan Mas, DOSEN ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
Sumber : KOMPAS, 24 November 2011
Kalau sebelumnya DPR dikritik oleh ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai politikus pragmatis-hedonis dan suka hidup bermewah-mewah, kini kritik tajam datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
DPR diduga melakukan jual-beli pasal dalam pembahasan UU. Kritik dua pemimpin lembaga negara ini sebaiknya dijadikan motivasi introspeksi diri, bukan malah dijadikan ajang silang pendapat, bahkan ramai-ramai membantah. Kalaupun sinyalemen itu seratus kali dibantah, rakyat malah seribu kali tak percaya. Rakyat kian lihai memilah mana emas mana loyang.
Munculnya kritik terhadap DPR atas kinerjanya bukan tanpa makna. Secara kasatmata dapat dilihat saat rapat paripurna: begitu banyak kursi kosong. Padahal, mereka akan memutuskan sesuatu yang amat prinsip bagi kepentingan rakyat yang diwakili. Tingkah laku sebagian anggota DPR yang suka pamer kemewahan dan doyan jalan-jalan ke luar negeri atas biaya negara membuat rakyat muak. Nasib rakyat tak diperjuangkan. ”Mengejar kepentingan diri sendiri lalu cuek akan derita sekitarnya” begitu lagu Ruth Sahanaya.
Ada Broker?
Adakah yang bisa dijadikan pembenaran atas kritik bahwa DPR melakukan jual-beli pasal UU saat pembahasan? Salah satu indikasi adalah penghilangan ayat tentang tembakau dalam RUU Kesehatan. Saat RUU itu diterima Sekretariat Negara pada 28 September 2009 untuk disahkan, salah satu ayat yang sebelumnya disepakati dengan pemerintah raib entah ke mana.
ICW menengarai ada oknum anggota DPR yang bertindak sebagai broker jual-beli pasal. Indikasinya, menurut Adnan Topan Husodo, karena selama ini DPR belum pernah menerapkan proses legislasi secara terbuka. DPR tak pernah melibatkan rakyat yang diwakilinya mengawasi proses pembahasan RUU. Para broker malah membentuk kelompok yang bermain di dua sisi sehingga UU yang dibentuk lebih berpihak kepada kepentingan tertentu.
Dalam teori memang dipahami bahwa produk legislasi adalah proses politik yang menurut William J Chambliss dan Robert B Seidman: dimungkinkan munculnya ”tekanan” berupa masukan yang akan memberikan warna. Prosesnya tak bisa lagi dikategorikan alamiah lantaran kuatnya ”kompromi” untuk mengakomodasi berbagai kepentingan: pemilik kekuasaan, pemodal, atau kelompok penekan agar diberi tempat sehingga nilai-nilai substansial suatu produk UU akan jauh dari tujuan asalinya.
Kompromi politik itulah yang secara potensial membuka peluang jual-beli pasal. Secara ideal proses legislasi menggambarkan aspirasi rakyat dan DPR selaku representasi rakyat harus memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Itu semua dapat digali saat sosialisasi RUU. Namun, realitasnya hanya melibatkan kalangan tertentu. Paling banter kalangan perguruan tinggi. Itu pun secara terbatas dengan alasan dana dan waktu yang sempit.
Sosialisasi RUU yang dipersyaratkan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan barulah formal. Belum menyentuh akar persoalan, misalnya dengan mengikutkan tokoh masyarakat di daerah sebagai acuan keterlibatan rakyat. Kalau sosialisasinya saja tertutup dan dikuasai kelompok orang dan kepentingan tertentu, mana mungkin dihasilkan UU yang bermartabat sekaligus mengangkat kepentingan rakyat ke tempat terhormat. Malah rakyat dipaksa menerima UU hasil kompromi akibat DPR yang terlalu kuat.
Berbenah Diri
Ketakberdayaan rakyat mengekspresikan kepentingannya yang dititipkan kepada orang- orang yang salah bisa membuat rakyat frustrasi. Munculnya berbagai aksi turun ke jalan oleh mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat boleh jadi pelampiasan frustrasi atas kinerja DPR yang tidak maksimal.
Kritik dua pemimpin lembaga negara terkait buruknya kinerja para anggota legislatif seyogianya dijawab dengan berbenah diri. Tak perlu dijawab dengan menuding ketua KPK dan ketua MK terlalu banyak bicara atau mengurusi kinerja lembaga lain.
Apabila dugaan yang telanjur mencuat di ruang publik itu benar, kita berharap DPR segera mereformasi diri. Bukti dugaan jual-beli pasal UU juga perlu diungkap agar tidak menimbulkan salah tafsir dan fitnah. Mengubah-ubah pasal dalam UU sangat berisiko bagi penguatan negeri ini sebagai negara hukum. Alangkah riskan sebuah negara berlandaskan hukum, tetapi pembentukan hukumnya dimainkan sesuai dengan pesanan.
Kalau jual-beli pasal diungkap dan terbukti kebenarannya, proses hukum harus berjalan. Ini untuk memperkuat eksistensi negara hukum. Tak boleh ada yang kebal hukum di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar