Mentradisikan Budaya Malu
Muhtadi, PENGAJAR DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Sumber : SUARA KARYA, 30 November 2011
Menurut Mochtar Lubis, ciri-ciri manusia Indonesia, yaitu hipokrit atau munafik, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya (atau lempar batu sembunyi tangan), berjiwa feodal, dan percaya takhayul. Ciri-ciri tambahan lainnya yang sifatnya kurang baik adalah tidak hemat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta.
Di sisi lain, kata Mochtar Lubis, manusia Indonesia memiliki ciri atau sifat baik, yakni saling tolong-menolong, berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, cepat belajar, mudah dilatih dan dapat tertawa walaupun dirinya sedang menderita.
Sebagai bangsa, kita harus menghapus ciri-ciri dan tidak menjadi stigma tanpa ujung. Kita harus mengubahnya bila bangsa ini ingin menjadi bangsa besar, maju, demokratis dan sejahtera.
Anehnya, ciri-ciri negatif itu, hari-hari ini bukan dikurangi malah ditambahkan dengan tumbuhnya budaya 'hilang rasa malu'. Mereka tidak merasa malu berbuat tidak terpuji atau melanggar norma-norma hukum. Mereka yang melakukan tindakan tidak terpuji masih dapat berjalan dengan gagah dan percaya diri serta seolah-olah merasa tidak berdosa.
Ironisnya, budaya tidak ada rasa malu dipertontonkan oleh elite-elite politik kita. Mereka tetap percaya diri dan santai saja duduk di jabatannya walaupun kementerian atau lembaga dipimpinnya terkena kasus korupsi atau tidak memiliki kinerja yang baik. Mereka duduk manis dan sambil kokoh memegang kursi jabatannya walaupun kementerian atau lembaga yang dipimpinnya telah gagal berprestasi.
Dalam konteks ini, misalnya, menteri harus berani mengundurkan diri bila kementerian yang dipimpinnya terlibat skandal korupsi. Bukan karena dirinya bersalah atau menjadi bagian dari itu, tapi mundur sebagai bagian tanggung jawabnya karena gagal menjadi pemimpin. Ia harus menyerahkan kepada yang lain: yang lebih kompeten, lebih berintegritas, lebih bermoral dan memiliki kepemimpinan yang kuat.
Karena model pemimpin yang tak memiliki malu akan menjadi beban sejarah bagi bangsa ini. Pemimpin seperti ini tidak mungkin membawa kemajuan dan perbaikan bagi yang dipimpin. Lebih ksatria mundur bagi pemimpin yang berkinerja kurang bagus dan lembaga yang dipimpinnya terkena skandal korupsi, misalnya.
Pemimpin adalah sebuah amanah dan pelayan bagi yang dipimpinnya. Bila bersikukuh mempertahankan kursi jabatannya patut diduga bahwa pemimpin, pejabat atau elite politik tidak menjadikan jabatan yang dipegang sebagai amanah. Ada motivasi lain. Mungkin motivasi itu kekuasaan dan mungkin pula untuk meraup harta sebanyak-banyaknya. Inilah motivasi yang berorientasi - meminjam bahasanya Erich Fromm - to have (memiliki) bukan to be (menjadi).
Belajar dari Jepang
Jepang merupakan negara yang perlu diteladani tentang tumbuhnya budaya malu di kalangan pemimpin atau elite politiknya. Pemimpin (baca: perdana menteri) Negeri Sakura ini bila gagal melaksanakan tugas, ia akan memilih mundur.
Yukio Hayotama mundur karena gagal menepati janjinya, yakni memindahkan pangkalan udara miliki Amerika Serikat (AS) di Pulau Okinawa. Baru-baru ini, Naoto Kan mundur dan digantikan oleh Yoshihiko Noda, karena ia gagal berprestasi dan tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi negaranya.
Para pemimpin dan elite politik kita perlu belajar dan meneladani apa yang terjadi di Negeri Sakura tersebut. Bila gagal mencapai target kinerjanya atau institusinya terkena skandal korupsi, pemimpin harus dengan legowo dan ikhlas untuk mundur. Mundur dari jabatannya sebagai bukti tanggung jawab moralnya dan sekaligus untuk menunjukkan masih kuatnya budaya malu pada dirinya.
Para pemimpin, pejabat dan elite politik perlu mentradisikan budaya malu dengan indikatornya mundur bila tidak mampu menepati janji, tidak mencapai target kinerjanya, maupun diduga terlibat skandal korupsi atau terkena masalah moral lainnya. Bila mereka mentradisikan budaya malu berarti ikut berkontribusi bagi tumbuhnya budaya tersebut di kalangan masyarakat secara luas. Budaya malu ini adalah obat yang menyehatkan bagi tumbuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan serta maju.
Pemimpin, pejabat dan elite politik harus menjadi teladan bagi yang dipimpinnya. Dengan mereka memiliki budaya malu dan mundur dari jabatannya bila tak kompeten, baik kinerja maupun moralnya. Dengan demikian, budaya ini akan terinternalisasi pada ruang publik kita hingga menjadi 'norma' yang mengikat seluruh warga bangsa ini. Di mana bila warga bangsa ini melakukan perbuatan tak terpuji juga akan merasa malu.
Bangsa ini janganlah dikenal dengan ciri-ciri negatifnya saja, seharusnya juga ciri-ciri positif lebih diperkuat dan mengalami penguatan. Salah satunya adalah mentradisikan budaya malu oleh para pemimpinnya. Jadikanlah budaya malu berbuat tercela, korupsi, dan lainnya menjadi budaya bangsa yang positif. Ini sekaligus merupakan pembelajaran dan teladan dari pemimpinnya. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar