Kota dan Ikatan Sosial Eksklusif
Novri Susan, SOSIOLOG UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sumber : KOMPAS, 28 November 2011
Berita utama Kompas (1/11/2011) tentang ”Ikatan Sosial Warga Longgar” di Jakarta memaparkan fenomena makin lemahnya kepedulian warga terhadap lingkungan sosial.
Hal itu diindikasikan oleh tingkat partisipasi warga yang lemah pada aktivitas komunitas kewargaan. Jumlah dan kualitas aksi kriminal perkotaan yang meningkat merupakan sebagian konsekuensi dari ikatan sosial warga yang longgar.
Basis Ikatan
Ikatan sosial sering dipahami sebagai kelembagaan budaya masyarakat di mana individu-individu anggota saling dukung, saling percaya, dan kerja sama atas dasar prinsip kesukarelaan. Alhasil, ikatan sosial bisa jadi modal non-ekonomis masyarakat untuk membangun komunitas yang kuat dari terpaan konflik kekerasan horizontal, gangguan kriminalitas, dan mampu memelihara lingkungan secara berkelanjutan. Ikatan sosial ini bersifat inklusif, mampu mengatasi kepentingan-kepentingan sempit individu dan kelompok.
Ikatan sosial inklusif cenderung tumbuh di wilayah pedesaan, yang masyarakatnya masih homogen oleh komunitas etnis- religius dan memegang nilai kesukarelaan sosial, seperti prinsip kebersamaan dalam gotong-royong dan perlindungan sosial di antara anggota komunitas. Pedesaan memiliki ikatan sosial inklusif karena karakter homogen anggotanya yang berbasis pada sistem perluasan keluarga.
Oleh karena itu, di lingkungan komunitas pedesaan sering dijumpai keluarga-keluarga yang masih memiliki hubungan darah dan atau perkawinan antarkeluarga. Basis ikatan sosial inilah yang tidak dimiliki oleh masyarakat perkotaan.
Masyarakat perkotaan secara mendasar lebih heterogen secara identitas etnis-religius dan terdiri dari keluarga-keluarga mandiri. Masyarakat Jakarta, misalnya, disusun oleh hampir semua keluarga etnis-etnis berbeda di Indonesia. Model ikatan sosial antarkeluarga dalam satu lingkungan rukun tetangga pun tak lagi dilandaskan pada nilai tradisi dan kebersamaan satu komunitas. Ikatan tersebut lebih bersifat rasional, yang dipraktikkan atas dasar prinsip-prinsip peraturan legal dalam sistem perkotaan.
Namun, pada saat bersamaan, entitas-entitas keluarga mandiri itu melakukan rekonstruksi diri pada akar ikatan sosialnya, yaitu komunitas etnis-religius. Oleh karena itu, pada masyarakat perkotaan, berbagai ikatan sosial eksklusif berbasis komunitas etnis-religius tumbuh subur.
Rekonstruksi Ikatan
Upaya rekonstruksi diri pada akar ikatan sosial eksklusif adalah respons terhadap dinamika hidup perkotaan, yang esensinya persaingan dan konflik kepentingan. Ikatan-ikatan sosial eksklusif etnis-religius yang tumbuh kuat merupakan instrumen sosial mencapai tujuan, diciptakan untuk meraih kemenangan.
Oleh karena itu, lobi dan negosiasi tertentu dalam dinamika persaingan dan konflik kepentingan sering kali menggunakan ikatan sosial eksklusif tertentu. Bahkan, kelompok-kelompok kriminal dari berbagai kelas, dari kelas copet sampai mafia bisnis, memobilisasi ikatan sosial eksklusif untuk menghadapi persaingan dan konflik kepentingan.
Dampak rekonstruksi ikatan sosial eksklusif itu, individu dalam lingkungan tertentu mampu memosisikan individu lain, tetangga, yang berbeda akar komunitas etnis-religiusnya sebagai ”rival”. Sapaan sehari-hari bisa hadir sekadar basa-basi. Individu jadi enggan berpartisipasi dalam siskamling atau gotong-royong bersih lingkungan karena dianggap bisa mempertemukannya dengan rival. Sebaliknya, sangat aktif dalam aktivitas-aktivitas ikatan sosial eksklusif yang berlangsung di luar lingkungannya.
Diane E Davis (Cities and Sovereignty: Identity Politics in Urban Spaces, 2011) memperingatkan, masyarakat perkotaan yang disarati konstruksi ikatan sosial eksklusif, berbasis etnis-religius, sesungguhnya area subur bagi tumbuhnya politik identitas. Mereka disusun oleh relasi-relasi yang terpolitisasi oleh ikatan-ikatan sosial eksklusif. Setiap relasi yang dibangun dalam lingkungan sosial jadi tidak ”tulus”, bahkan mampu menciptakan eskalasi kekerasan dan kriminalitas di sudut-sudut perkotaan.
Pada kenyataannya ikatan sosial masyarakat perkotaan mengalami transformasi sosial kontradiktif. Pertama, melonggarnya ikatan sosial inklusif. Setiap anggotanya tak lagi mampu bekerja sama dan peduli terhadap lingkungan yang heterogen oleh komposisi etnis-religius berbeda. Kedua, menguatnya ikatan-ikatan sosial eksklusif berbasis etnis-religius sebagai instrumen sosial untuk memenangi persaingan dan konflik kepentingan atas sumber daya di kota.
Berhadapan dengan transformasi ikatan sosial kontradiktif perkotaan yang memberi konsekuensi merugikan ini, kepemimpinan di setiap level struktur masyarakat harus melakukan gerak. Suatu gerak yang memungkinkan tumbuh kembangnya ikatan sosial inklusif. Tentu saja, gerak responsif ini membutuhkan komitmen besar untuk menjadikan kota sebagai wilayah yang aman, nyaman, dan inklusif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar