Marhaban Pasca-Islamisme!
Novriantoni Kahar, PENGAMAT TIMUR TENGAH, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL
Sumber : KORAN TEMPO, 25 November 2011
Kisruhnya situasi Mesir menjelang pemilihan umum 28 November ini bukan hanya merupakan ujian bagi transisi negeri Firaun itu ke arah demokrasi. Ia juga mengancam
kesempatan untuk menguji tesis mutakhir tentang pasca-islamisme. Sebagaimana
diformulasikan Olivier Roy ataupun Asef Bayat, pasca-islamisme adalah suatu pergeseran paradigmatik yang terjadi pada gerakan sosial-politik kaum islamis dari
upaya mengusung ideologi dan menegakkan negara Islam menjadi perjuangan menghadirkan negara demokratis dengan kandungan masyarakat yang saleh.
Gejala pasca-islamisme bukanlah gejala anti-Islam, bukan pula sepenuhnya gerakan
sekuler. Karena unsur internalnya dari kalangan konservatif—kalau bukan radikal—muslim, pasca-islamisme tetap menghendaki terjunjung tingginya nilai-nilai agama Islam sembari mengimpikan tegaknya hak-hak warga. Sebagian pengamat menyebut gejala ini sebagai civic Islamism, bukan pasca-islamisme. Karena itu, islamisme mungkin tak lagi akan menghadirkan revolusi sosial-politik-kebudayaan yang radikal. Revolusi Islam ala Khomaini yang telah menghasilkan negara nondemokratis, kata Asef Bayat, ada kemungkinan merupakan revolusi Islam pertama sekaligus terakhir yang mungkin ada di dunia Islam modern.
Pertanyaannya adalah mengapa gejala pasca-islamisme muncul dan seberapa besar
kemungkinannya bersemai dan berbuah di negara-negara yang disapu gelombang
“refo-lusi”(mengambang di antara reformasi dan revolusi) di Timur Tengah dewasa ini.
Perlu diingat, gerakan sosial politik Islam yang ideologis—atau yang biasa dikenal dengan islamisme—bukanlah merupakan entitas nan statis dan terlepas dari konteks sosial-politik-ekonomi yang mengitarinya. Generasi-generasi pasca-islamisme yang berhasil menumbangkan rezim di Tunisia, Mesir, Libya, dan bisa jadi juga Suriah serta Yaman, jauh lebih terdidik dan melek dunia.Kegagalan-kegagalan islamisme, baik di Iran, Arab Saudi, Sudan, Pakistan, maupun Afganistan, sebagaimana digambarkan Olivier Roy dalam The Failure of Political Islam, ikut mempengaruhi orientasi dan cara pandang mereka terhadap relasi agama dan negara. Rezim otoriter-sekuler Mesir, Suriah, Libya, Yaman, serta Tunisia memanglah buruk dan represif.Tapi rezim islamis Iran, Arab Saudi, Sudan, Afganistan, dan lainnya juga tak kalah buruk dan menindasnya.
Evaluasi internal di kalangan muda pergerakan islamis, sekaligus kesadaran akan
kompleksnya hubungan mereka dengan negara masing-masing dan dunia, membuat
mereka berpikir bahwa islamisme bukanlah pilihan yang feasible. Ia juga tidak serta-merta akan menghadirkan firdaus di dunia fana. Alternatif yang tersedia adalah berupaya sedapat mungkin tetap otentik dengan identitas mereka sembari memelihara
asa akan terwujudnya negara yang demokratis dan menjamin kebebasan sipil. Karena itu, tuntutan perubahan yang didengungkan mereka lebih-kurang sama dengan tuntutan masyarakat sekuler lainnya. Mereka menginginkan rezim yang tidak korup, kurang represif, lebih menjamin keadilan, dan tidak menginjak-injak martabat mereka.
Pilihan menjadi kurang ideologis dan lebih pragmatis dalam menghadapi perubahan
sosial-politik-ekonomi pada generasi pasca-islamisme ini juga dirangsang oleh keberhasilan “model Turki”dalam berhadapan dengan kenyataan sosial-politik-ekonomi modern. Partai Keadilan dan Pembangunan Recep Tayyip Erdogan berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa identitas Islam (liberal) yang melekat pada diri mereka tidak menghalangi mereka bersikap pragmatis-taktis-strategis dalam mengelola negara. Hasilnya: suatu performa pemerintahan yang jauh lebih baik dari apa yang dihasilkan Turki dalam enam dekade di bawah partai-partai sekuler. Satu-satunya agenda islamis yang berhasil digolkan Erdogan dan kawan-kawan adalah mencabut larangan berjilbab yang diterapkan secara keblinger oleh rezim sekuler. Dari Turki, dunia tidak mendengar isu-isu trivial tentang Islam yang menjadi obsesi Erdogan dkk.
Karena itu, tantangan terberat pasca-islamisme adalah bagaimana menghindarkan
godaan formalisme dan trivialisme Islam. Mengutip Roy lagi, proses islamisasi yang biasanya diusung generasi islamis, pada ujungnya hanya menunjukkan trivialisasi
Islam secara vulgar. Ideologi dan cita-cita Islam menjadi tidak menarik dan diremehkan dunia karena tiada lebih dari upaya mencolek Islam dengan kosmetik menor seperti soal bikini dan minuman beralkohol. Jika hendak menunjukkan bahwa generasi islamis kapabel untuk menghadirkan tatanan sosial-politik-ekonomi yang lebih baik, sudah seyogianya mereka menghindarkan diri dari aspek remeh-temeh yang menjadi tuntutan primordial mereka.
Di Tunisia, momentum untuk menguji tesis pasca-islamisme itu kini sangat terbuka
dengan menangnya Hizbun Nahdlah (Partai Kebangkitan) dengan 40 persen lebih suara pada pemilu Oktober lalu. Kini Rachid al-Ghannouchi—yang pernah menulis
buku tentang Kebebasan Sipil dalam Suatu Negara Islam—berkesempatan menunjukkan kepada dunia bahwa partai Islam yang ia pimpin bukanlah ancaman bagi
demokrasi dan kebebasan sipil. Beberapa indikasi menunjukkan proyek pasca-islamisme kini sudah menjadi agenda mereka, baik suka maupun terpaksa. Saat ditanya perlu-tidaknya Tunisia menetapkan Islam sebagai dasar negara, Al-Ghannouchi
dengan cerdik menjawab,“Apakah Mesir yang mencantumkan Islam sebagai agama negara dapat menghalangi Mubarak berkuasa selama tiga dasawarsa?”
Di Mesir, para pengamat memprediksi Hizbul Hurriyyah wal ‘Adalah (Partai Kebebasan
dan Keadilan) bentukan Ikhwanul Muslimin akan memenangi pemilu sekalipun tak setelak Hizbun Nahdlah Tunisia. Jika hal ini terjadi, momentum untuk menguji tesis pasca-islamisme itu lagi-lagi terbuka dan akan lebih valid. Sebab, Ikhwanul Muslimin adalah dedengkot islamisme yang telah menginspirasi gerakan-gerakan semacam di berbagai belahan dunia Islam. Jika Ikhwanul Muslimin berubah, besar kemungkinan ia akan berefek jauh dan mengubah wajah islamisme di banyak belahan dunia.
Hanya, wacana ganda yang khas pada gerakan islamis masih memberi ruang bagi banyak pengamat untuk menyangsikan kesediaan mereka memeluk pasca-islamisme.
Tuntutan taktis dalam berpolitik memang sering kali membuat mereka lebih pragmatis
dan fleksibel dalam berwacana dan berhubungan dengan audiens di luar mereka. Namun kebutuhan dan keinginan menjaga konstituensi yang berbasiskan konservatisme tak jarang juga menyebabkan mereka terperosok lagi ke dalam perangkap trivialisme Islam. Itulah yang kita saksikan dalam beberapa kasus aktual
yang menegang saat ini di Mesir,Tunisia, ataupun Libya.
Namun, jika mereka berhasil menghindarkan diri dari triumfalisme dan mengelak dari trivialisasi Islam, lalu menjadi muslim elektoral yang berkontestasi dalam iklim demokrasi yang sehat, kita akan berada di gerbang pasca-islamisme yang menjanjikan. Iklim demokrasi yang terjaga sertakebebasan pers dan sipil yang terpelihara akan menjadi watchdog dan membantu dunia kurang waswas untuk lagi-lagi menghakimi niat mereka. Bukankah contoh Indonesia menunjukkan eksperimentasi islamisme dalam dunia politik bisa sama baik dan buruknya dengan performa kalangan non-islamis? Bila momentum Musim Semi Arab ini berjalan dengan baik dan khidmat, rasanya dunia akan segera mengucap, “Ahlan wa marhaban pasca-islamisme!”●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar