Senin, 28 November 2011

Negara Kesatuan atau Negara Persatuan?

Negara Kesatuan atau Negara Persatuan?

 LAPORAN HASIL DISKUSI KOMPAS MEMPERINGATI SUMPAH PEMUDA
Sumber : KOMPAS, 29 November 2011


Pengantar Redaksi:
Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, Desk Opini Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada 28 November 2011 menyelenggarakan diskusi panel seri III bertema "Reimajinasi Keindonesiaan Kita: Kebhinekaan dan Ketahanan Nasional”. Diskusi menampilkan pembicara utama F Budi Hardiman dengan pembahas Francisia SSE Seda dan Ahmad Erani Yustika, dipandu oleh Donny Gahral Adian. Hasil diskusi dirangkum oleh wartawan ”Kompas” Irwan Julianto serta Donny Gahral Adian dan Chris Panggabean dari LMI, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.
***
Ada pertanyaan mengusik dalam diskusi peringatan hari Sumpah Pemuda yang lalu: Mengapa kasus Prita yang dizalimi sebuah rumah sakit memperoleh dukungan luas di media sosial, sementara terbunuhnya saudara-saudara kita di Papua baru-baru ini sepi-sepi saja? 

Tentu pertanyaan di atas bisa dijawab secara filosofis dengan kata kunci ”tumpulnya empati” kita sebagai warga bangsa. Atau dengan pisau analisis filosof besar Martin Heidegger tentang kita dan orang lain (liyan, others). Dikatakan dalam bukunya yang melegenda Sein und Zeit (Being and Time/Ada dan Waktu, 1927), dunia kita adalah duniaku dan duniamu. Dunia itu bukan melulu milikku, melainkan juga milikmu. Orang lain merupakan afirmasi bagi keakuan (mineness) kita. Kalau kita lakukan deduksi, dunia kita dapat saja kita persempit menjadi bangsa kita.

Pertanyaannya lalu menjadi: masihkah kita sebagai bangsa Indonesia memandang saudara-saudara kita warga Papua sebagai warga Indonesia atau orang lain? Atau saudara-saudara kita dari etnik Papua masihkah mengidentikkan diri mereka sebagai warga Indonesia? Lalu mengapa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang mereka alami kita anggap angin lalu saja?

Adalah sosiolog Francisia (Ery) Seda yang menjawab dengan lebih pas. Soal Prita lebih mendapat dukungan kelas menengah masyarakat Indonesia karena menyangkut kepentingan dan kebutuhan warga kelas menengah itu sendiri yang sulit mengidentifikasi/menempatkan diri pada posisi warga Papua.

Jadi imajinasi keindonesiaan dalam kasus Prita cuma sebatas lapisan sosial yang sama, bukan solidaritas sosial berdasarkan imajinasi kebangsaan, tetapi berdasarkan kepentingan kelas. Kalau kelas sosial Anda sama dengan kelas sosial Prita, Anda mau membantu, soalnya kemungkinan Anda dapat mengalami nasib seperti Prita. Sementara warga Papua terlalu jauh di sana dan akses terhadap jejaring sosial justru paling banyak dinikmati kelas menengah yang punya agenda kepentingan sendiri.

Jangkar Utama

Menurut Ery Seda, secara konseptual, Nasionalisme dan Negara-Bangsa merupakan konstruk teoretis yang baru beberapa abad lalu dikembangkan. Di negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia, konsep ini baru berusia sekitar seabad lamanya. Perdebatan konseptual dan teoretis tetap mengasumsikan Negara adalah ”jangkar utama” kehidupan bermasyarakat.

Bagi Benedict ROG Anderson, negara lebih ditinjau sebagai imagined communities dan bukan imagined states. Ini senada dengan konsep bangsa menurut Ernest Renan yang mendefinisikan bahwa suatu bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama dan kesediaan untuk berkorban.

Ketika ”keresahan” mulai dirasakan di dalam konteks Nasionalisme Indonesia saat ini, menurut Ery Seda, itu terjadi karena nasionalisme senantiasa dikaitkan dengan Negara-Bangsa yang peran Negaranya masih sangat dominan. Proses globalisasi dan desentralisasi (otonomi daerah) mendatangkan permasalahan bagi Nasionalisme dan Negara-Bangsa karena globalisasi berorientasi pada pasar, sedangkan desentralisasi berorientasi pada komunitas. Peran Negara tak lagi dominan secara politik, ekonomi, dan sosial. Pasar pada tatanan global dan komunitas pada tataran lokal mulai menandingi peran dan kekuatan Negara-Bangsa.

Lalu, masih relevankah kita saat ini membahas Nasionalisme? Dan masih mencanangkan sikap rigid bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati? Lalu apakah berarti jika ada aspirasi seperti di Aceh dan Papua dapat dituding sebagai gerakan separatis yang layak ditumpas?

Ery Seda memberi catatan, dalam konsepsi Anderson, imajinasi itu bisa selalu berubah. Tak ada yang namanya imajinasi harga mati. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengklaim NKRI adalah harga mati. Wujud yang mungkin lebih tepat untuk mewadahi keresahan warga Papua adalah Negara Persatuan karena kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Apalagi dunia semakin rata menurut Thomas Friedman dan kian menjadi satu seperti yang dibayangkan Heidegger.

Akuntabilitas Papua bukan hanya urusan domestik negara bernama Indonesia, melainkan adalah urusan masyarakat dunia. Ibarat perlakuan salah terhadap anak (child abuse) bukan lagi ranah privat suatu rumah tangga, melainkan sah jika negara ikut campur tangan karena kini dianggap sudah menjadi urusan publik. Hal yang sama berlaku untuk tataran Negara-Bangsa.

Tak kurang dari mantan Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono juga beberapa waktu yang lalu di kampus Universitas Indonesia mempersoalkan paradigma NKRI sebagai harga mati. Ia mengusulkan NKRI sebagai ”berkah” bagi setiap warganya.

Adalah wajar jika kita bertanya secara acak kepada seorang warga Indonesia, ia 
mengidentifikasikan diri pertama-tama sebagai apa. Maka jawaban yang lazim kita terima adalah pertama kali ia akan menyebutkan sukunya, kedua jenis kelaminnya, ketiga agamanya, dan terakhir baru mengaku sebagai orang Indonesia. Padahal, mimpi Soekarno dan para bapak bangsa ini adalah idealnya kita pertama mengaku sebagai orang Indonesia tanpa mempersoalkan suku, jender, dan agama. Namun, ternyata tidak semua orang Indonesia berpikir dan berimajinasi seperti itu.

Lalu, apakah pemerintah harus terus mengindoktrinasi agar bagaimanapun kita melupakan identitas yang lain? Rasanya masih sesuatu yang mustahil saat ini. Umumnya kita baru mengidentifikasikan diri bahwa kita orang Indonesia kalau berada di luar negeri.

Indonesia, seperti Amerika Serikat yang berusia hampir dua setengah abad, adalah Negara-Bangsa yang terus dalam proses mewujud (in the making). Yang perlu disiasati adalah dengan suatu strategi kebudayaan, menciptakan ketahanan budaya, bukan ketahanan nasional yang semu dan militeristik sifatnya. Jadi, Negara Persatuan RI, mengapa tidak? ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar