Tampilkan postingan dengan label Muhammadiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muhammadiyah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 November 2011

Muhammadiyah dan Krisis Kemanusiaan


Muhammadiyah dan Krisis Kemanusiaan

Fajar Riza Ul Haq  DIREKTUR EKSEKUTIF MAARIF INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 23 November 2011


Ketika banyak orang berminat mengkaji Indonesia, berjuta orang telah mengenal Muhammadiyah sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ungkapan di atas menghiasi layar besar dalam sebuah diskusi di Kompleks Perguruan Muhammadiyah, Kota Serang, beberapa hari lalu. Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan organisasi Islam ini, saya terenyak membaca tulisan itu.

Betapa tidak, 18 November 2011 menandai 99 tahun usia Muhammadiyah sejak organisasi ini didirikan 18 November 1912. Catatan usianya menjadi 102 tahun berdasarkan perhitungan hijriah, 8 Zulhijah 1432 H.

Satu abad sudah organisasi kelahiran Yogyakarta ini mendedikasikan kerja-kerja dakwah dan sosialnya untuk Negeri Khatulistiwa. Namun, justru pernyataan di awal seakan ingin mempertanyakan ulang peran dan kontribusi Muhammadiyah untuk Indonesia.

Ahmad Syafii Maarif dalam banyak kesempatan sering melemparkan pertanyaan, apakah Muhammadiyah sudah betul-betul berkontribusi membangun dan memperbaiki negara ini atau sebatas membantu pekerjaan pemerintah?

Dalam pidato pembuka Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, 2002, Maarif menyatakan, jika negara ini tersungkur, Muhammadiyah akan turut tersungkur. Kondisi ini dimungkinkan karena Muhammadiyah belum berpikir serius tentang format alternatif bangsa dan negara (Suara Muhammadiyah, No 21/Th 96, November 2011).

Catatan Indonesianis Mitsuo Nakamura tentang Muktamar 1 Abad Muhammadiyah, 3-8 Juli 2010, penting digarisbawahi. Menurut dia, warga Muhammadiyah sudah sukses merayakan perhelatan 100 tahun perjalanan organisasinya, tetapi belum berhasil mencapai pendewasaan dalam konteks penguatan aspek ideologi dan intelektual (UMM News, 18/10/2010).

Profesor emeritus Universitas Chiba, Jepang, ini mencemaskan akan adanya kesenjangan antara kesuksesan generasi awal dan ketidakmampuan generasi penerus Muhammadiyah mencapai prestasi yang sepadan.

Revolusi dari Dalam

Kepedulian Maarif dan Nakamura terhadap masa depan Muhammadiyah berangkat dari kesadaran bahwa masyarakat kini hidup dalam situasi krisis kemanusiaan. Menurut Otto Scharmer, kondisi ketidakpastian masa depan telah melahirkan tiga fundamentalisme, yaitu fundamentalisme keagamaan, fundamentalisme ekonomi, dan fundamentalisme geopolitik (2009: 82).

Johan Galtung mendefinisikan akar ketiga masalah ini dalam dua kata, yaitu anomie, hilangnya norma-norma dan nilai-nilai, dan atomie, runtuhnya struktur sosial. Tercerabutnya manusia dari akar budaya dan struktur sosialnya mendorong ledakan aksi kekerasan, kebencian, terorisme, perang sipil (2009: 4). Masyarakat Indonesia, bahkan dunia, sedang berjuang menghadapi ketiga ancaman fundamentalis itu.

Dalam kondisi masyarakat yang sedang mengalami anomie dan atomie, Muhammadiyah tidak bisa menjawab tantangan kemanusiaan abad ke-21 dengan kacamata abad ke-20. Harus melakukan perubahan radikal mentalitas dan perilaku organisasi, atau revolusi dari dalam, meminjam istilah Scharmer.

Revolusi ini mengharuskan setiap organisasi melepaskan bangunan persepsi dan perilaku lama yang sudah melembaga. Pada saat yang sama harus membuka diri terhadap realitas-realitas baru yang lahir dari ancaman abad ke-21. Muhammadiyah sebagai pembaru sedang diuji di tengah pusaran tiga fundamentalisme tersebut.

Dari sisi manajerial, Muhammadiyah sudah memiliki tradisi demokratis. Yang harus dikembangkan adalah budaya desentralisasi dalam mengelola organisasi. Tom Malone mendefinisikan desentralisasi sebagai bentuk partisipasi setiap individu dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan dirinya.

Desentralisasi mensyaratkan kebebasan sehingga memungkinkan adanya pelbagai kemungkinan (2004: 5). Kreativitas dan kecerdasan kolektif adalah kunci daya tahan sebuah institusi.

Menurut hemat saya, melakukan perubahan mentalitas dan penguatan manajemen desentralisasi organisasi merupakan dua pekerjaan rumah utama guna membangun kapasitas kolektif. Dengan kapasitas kolektif semacam ini, generasi Muhammadiyah abad ke-21 akan dapat memastikan keberlangsungan kontribusinya untuk Indonesia dan kemanusiaan.

Untuk bisa hidup seribu tahun lagi, gerakan ini harus berhasil keluar dari sindrom kebesaran masa lalu dan berdialog dengan ketidakpastian masa depan. Revolusi dari dalam adalah keharusan. Jadi, Muhammadiyah, how long can you go? ●

Kamis, 17 November 2011

Muhammadiyah Abad Kedua


Muhammadiyah Abad Kedua

Asep Purnama Bahtiar,KEPALA PUSAT STUDI MUHAMMADIYAH DAN PERUBAHAN POLITIK, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 18 November 2011



Aku titipkan Muhammadijah ini kepadamu, dengan penuh harapan agar Muhammadijah dapat dipelihara dan didjaga dengan sesungguhnja. Karena dipelihara
dan didjaga, hendaklah dapat abadi hidup Muhammadijah kita. Memelihara dan mendjaga Muhammadijah, bukan pekerdjaan jang mudah, maka aku tetap berdo’a
setiap masa dan ketika dihadapkan Ilahi Rabby. Begitu pula mohon berkat restu do’a limpahan rahmat karunia Allah, agar Muhammadijah tetap madju, berbuah dan memberi manfaat bagi seluruh manusia sepandjang masa, dari zaman ke zaman. Dan
aku berdo’a agar kamu sekalian jang mewarisi, mendjaga dan memadjukan Muhammadijah.
(KH Ahmad Dahlan, 1923)


Paragraf di atas merupakan salah satu pesan KH Ahmad Dahlan ketika sakit pada hari-hari menjelang akhir hayatnya.Tak lama berselang setelah beliau menyampaikan
pesannya itu, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah ini wafat pada 23 Februari 1923.Tokoh gerakan pembaruan Islam di Indonesia ini berpulang ke hadirat Allah dalam usia yang masih belum begitu sepuh, 55 tahun.

Waktu berlalu dan masa dinamikanya pun berubah. Persyarikatan Muhammadiyah
terus melaju dan bergerak, berganti pucuk pimpinan sesuai dengan zamannya dari generasi ke generasi, hingga memasuki abad kedua ini. Sekarang, ketika Muhammadiyah sudah berusia 102 tahun (menurut penanggalan Hijriah: 8 Zulhijah
1330/8 Zulhijah 1432), bagaimana memposisikan organisasi tertua dan terbesar tersebut yang semestinya di negeri ini?

Dinamika Persebaran

Pertanyaan itu urgen tidak hanya bagi lingkungan internal Muhammadiyah, tapi juga bagi kalangan eksternalnya. Bukan dalam arti meminta perhatian atau ingin diperhatikan, tapi jauh dari itu: bagaimana kalangan Muhammadiyah sendiri menjaga
elan vital Islam yang berkemajuan dalam risalah pergerakannya; dan bagaimana kalangan luar (termasuk pemerintah) belajar lagi mengapresiasi sumbangsih kebangsaan serta saham sejarah yang telah didedikasikan Muhammadiyah kepada negara bangsa ini sejak dasawarsa awal abad ke-20.

Usia satu abad lebih ini mengingatkan kembali kita pada pesan KH Ahmad Dahlan,
sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, untuk terus memajukan dan mengembangkan
Muhammadiyah di atas fondasi yang telah diletakkannya. Andai kata dulu pendiri Muhammadiyah ini gagal menata dasar organisasi dan fondasi Persyarikatan secara kuat dan cermat, boleh jadi Muhammadiyah tidak akan awet dan alot meningkahi
zaman yang terus bergerak. Dinamika dan perkembangan Muhammadiyah memang selalu menarik setidaknya karena dua hal. Pertama, pada awal berdirinya, Muhammadiyah membatasi diri sebagai gerakan lokal dari Kauman Yogyakarta, yang berkiprah baru di sekitar wilayah Karesidenan Yogyakarta, sebagaimana dinyatakan dalam Statuten-nya yang pertama (1912).Kedua, secara bertahap Muhammadiyah menjadi gerakan regional dan nasional, ketika gagasan kemajuan serta ide-ide pembaruan Islam yang ditawarkannya disambut antusias oleh berbagai kalangan kiai dan tokoh Islam di luar Yogyakarta dan bahkan di luar Jawa sejak 1920-an.

Sebuah persebaran yang dinamis dan sekaligus penerimaan yang segagas bagi Muhammadiyah untuk bisa eksis serta berkembang di daerah-daerah di luar Yogyakarta. Bersamaan dengan dakwah dan gerakan Islam yang berkemajuan ke berbagai penjuru Hindia Belanda waktu itu, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah di
dalamnya juga berlangsung penyemaian benih-benih nasionalisme dan semangat
kebangsaan.

Dalam peredaran zaman dan perputaran masa itu, gerakan dan kiprah Muhammadiyah
bisa terus dinamis serta berkesinambungan guna merealisasi embanan mulia: “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Penting digarisbawahi: bukan negara Islam, melainkan masyarakat Islam.

Kualitas Kepemimpinan

Embanan mulia tersebut menjadi tanggung jawab yang besar dan sekaligus beban berat bagi pemimpin dan warga Persyarikatan. Secara spesifik, pemimpin dan kepemimpinan merupakan bagian dari anasir yang terpenting serta fundamental dalam sebuah organisasi. Dalam hal ini, aktiva dan pasiva sebuah organisasi untuk merealisasi embanan mulia itu akan ikut ditentukan oleh kinerja serta kualitas kepemimpinan yang dijalankan oleh seluruh jajaran dan fungsionarisnya di semua lini.

Artinya, neraca gerakan Muhammadiyah dewasa ini dan kelanjutannya di masa mendatang tidak bisa dimungkiri lagi bakal ikut diwarnai serta ditentukan oleh para
elite dan tokoh yang saat ini diamanahi dalam struktur kepemimpinan Muhammadiyah.
Dengan demikian, orang-orang yang dipercayai menjadi pemimpin di Muhammadiyah
itu, sesuai dengan levelnya, memiliki amanah yang berat dan tanggung jawab yang besar untuk memajukan serta memimpin Persyarikatan dan mendidik warganya. Dalam konteks ini, selain memiliki integritas dan kredibilitas, seorang pemimpin harus mempunyai kapabilitas, visi kepemimpinan yang jelas, serta kemauan untuk selalu meningkatkan kualitas atau memiliki tekad kuat untuk mau saling belajar dan berbagi.

Kebutuhan akan sosok pemimpin yang amanah dan cakap serta model kepemimpinan
yang responsif dan partisipatoris bukan hanya kebutuhan intern organisasi yang urgen, tapi juga mengingat tantangan serta problem eksternal yang semakin tidak ringan dalam skup nasional dan global, baik dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keagamaan. Bagi Muhammadiyah sendiri, pelbagai masalah itu dipandang sebagai medan dakwah dan lahan amar makruf nahi munkar. Menilik ke dalam, disadari pula bahwa Muhammadiyah harus menuntaskan beragam masalah serius, baik yang bersifat ideologis, struktural, kultural, maupun yang berkaitan dengan sistem, mekanisme, dan kebijakan organisasi.

Dalam konteks ini pula, Muhammadiyah sudah mendesak waktunya untuk lebih memprioritaskan lagi problematik masyarakat dan masalah umat yang tidak sederhana.
Dengan demikian, aksentuasi gerakan kemasyarakatan yang memberdayakan dan mencerahkan sudah harus kembali diseriusi oleh Muhammadiyah. Santunan sosial yang bisa dilakukan—dan dalam sejarah Muhammadiyah juga sudah biasa dikerjakan
—bukanlah sekadar karitatif atau filantropis, tapi juga ada elemen pemberdayaan serta penguatan kapasitas yang menjadi bagian dari implementasi identitas Muhammadiyah.

Sebuah momen yang bukan hanya strategis bagi Muhammadiyah untuk melakukan
evaluasi dan revitalisasi gerakan, tapi juga bernilai historis karena berada dalam pertaruhan waktu abad kedua untuk semakin membuktikan gerakannya yang lebih
dinamis dalam membangun peradaban utama. Peradaban utama merupakan manifestasi obyektif atau proyek obyektivikasi kehidupan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang tumbuh dan berkembang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.