Tampilkan postingan dengan label PAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PAN. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Desember 2011

Hatta dan PAN di Setgab


Hatta dan PAN di Setgab
Arya Fernandes, ANALIS DARI CHARTA POLITIKA INDONESIA, FELLOW PARAMADINA GRADUATE SCHOOL OF POLITICAL COMMUNICATION
Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Desember 2011



"Publik lebih memberi perhatian luar biasa terhadap kebijakan capres, terutama dalam bidang ekonomi"

PARTAI Amanat Nasional (PAN) pada 9-11 Desember 2011 menyelenggarakan rapat koordinasi nasional (rakornas) dan silaturahmi nasional (silatnas). Rakernas kali ini terasa berbeda dari sebelumnya karena ada dua isu utama yang diperkirakan jadi perbincangan serius di internal. Pertama; pencalonan ketua umum partai itu, Hatta Rajasa sebagai capres 2014. Kedua; posisi PAN di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi. Dua isu utama ini bisa memengaruhi konstelasi politik di tingkat nasional.

Isu pencapresan selalu menarik bagi publik, partai, dan media. Setelah Susilo Bambang Yudhoyono tak dapat lagi mencalonkan diri sebagai capres, pemilu 2014 menjadi wilayah tanpa tuan. Semua kandidat punya peluang sama untuk berkompetisi. Apalagi, hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) Oktober 2011 menunjukkan tidak ada figur kuat menjelang Pemilu 2014, selain Megawati dengan tingkat keterpilihan 19,6%.

Di bawahnya, berderet sejumlah nama, seperti Prabowo Subianto (10,8%), Aburizal Bakrie (8,9%), Wiranto (7,3%), Hamengku Buwono X (6,5%), Hidayat Nur Wahid (3,8%), Surya Paloh (2,3%), Sri Mulyani (2%), Ani Yudhoyono (1,6%), Hatta Rajasa (1,6%), Anas Urbaningrum (1,5%), Sutanto (0,2%), dan Djoko Suyanto (0,2%).

Dalam pemilu, tren perilaku pemilih selalu menjadi acuan bagi partai atau kandidat untuk merancang dan merumuskan strategi politik. Tak heran, bila survei persepsi publik kemudian menjadi instrumen untuk memetakan perilaku pemilih dan pergerakan opini publik.

Bagaimana dengan tren perilaku pemilih di Indonesia? Sejumlah riset telah dilakukan untuk melihat pola dan tren perilaku pemilih di Indonesia, terutama, sejak Pemilu 1999 sampai 2009. Di antaranya dilakukan oleh Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia) dan R William Liddle (Ohio State University).

Studi Mujani dan Liddle (2010) menunjukkan tiga hal utama dalam memengaruhi perilaku pemilih. Yaitu, kepemimpinan, performa kabinet dan evaluasi publik terhadap kondisi ekonomi nasional. Mujani dan Liddle juga menemukan matinya politik aliran dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Menurut keduanya, agama, kelas, suku, dan wilayah tidak lagi menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi perilaku pemilih.

Tahun 1999 misalnya, keberhasilan PDIP menunjukkan karisma kepemimpinan atau kesukaan pemilih terhadap figur-figur pemimpin. Pilihan publik terhadap PDIP dipengaruhi oleh identifikasi pemilih yang kuat terhadap sosok Megawati. Begitu juga pilihan terhadap PAN melalui figur Amien Rais, dan PKB lewat Gus Dur.

Pola ini juga terjadi pada 2004. Tingkat kesukaan publik terhadap figur calon berkorelasi positif terhadap pilihan pada partai. Pilihan publik terhadap Partai Demokrat misalnya dipengaruhi oleh kesukaan publik terhadap figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bagaimana dengan Pemilu 2009? Pilihan terhadap capres lebih dipengaruhi oleh performa kabinet dan evaluasi positif publik terhadap kondisi perekonomian secara nasional (Mujani, Liddle, 2010). Jika menjelang 2014 perfoma dan kinerja kurang memuaskan dan situasi ekonomi juga tidak mengembirakan, publik akan memberi hukuman bagi Demokrat dan koalisi.

Dilema Koalisi

Sebagai partai yang tergabung dalam koalisi, partai-partai koalisi, seperti PAN akan mengalami dilema politik dalam menentukan positioning politiknya jelang 2014: bergabung atau memilih di luar. Dilema bertumpu pada kesulitan merumuskan orientasi dan perilaku, apakah menjadi policy-seeking party, vote-seeking party, atau office-seeking party?

Menurut Strom (1990), policy-seeking party adalah model perilaku partai yang menekankan pada kebijakan, isu, dan program partai. Vote-seeking party adalah perilaku partai yang menekankan aspek elektoral: unggul dalam perolehan suara. Adapun, office-seeking party menekankan aspek patronase dan pengamanan posisi strategis di pemerintahan.

Saya kira, sebagai partai koalisi, PAN harus memilih di antara tiga model tersebut. Apakah akan menekankan penguatan pada level isu, kebijakan, dan program untuk merebut dukungan pemilih atau memilih sebagai vote-seeking party yang selalu bermain dengan isu populis dalam merebut hati pemilih. Atau mempertahankan posisi dan patronase politik dengan partai penguasa?

Ke depan, saya melihat pertarungan isu dan gagasan mewarnai kampanye 2014. Meskipun karisma personal masih memengaruhi, publik lebih memberi perhatian luar biasa terhadap kebijakan capres, terutama dalam bidang ekonomi.

Kamis, 08 Desember 2011

PAN dan Kelanjutan Reformasi

PAN dan Kelanjutan Reformasi
Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK UIN JAKARTA
Sumber : SINDO, 9 Desember 2011




Ketika reformasi digulirkan pada 1998, yang berujung dengan berhentinya Presiden Soeharto dari kekuasaan yang digenggamnya selama tiga dasawarsa lebih, banyak orang berharap bahwa kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia akan berubah.

Harapan itu,untuk sebagian, telah terpenuhi. Sampai tingkat tertentu Indonesia telah berubah. Seandainya tidak bisa disebut berubah, sekurang-kurangnya selama 13 tahun terakhir situasi negeri ini sudah berbeda. Relaksasi dan liberalisasi politik merupakan bagian terpenting dari situasi yang berbeda atau berubah itu.

Jika pada masa pemerintahan Orde Baru kehidupan politik boleh dikatakan bersifat berpusat pada negara (state-centered), sejak Reformasi 1998 hal itu berganti—tertransformasikan menjadi berpusat pada rakyat (society-centered).Ini dalam artian bahwa kehendak rakyat untuk berhimpun di dalam lembaga atau kekuatan politik tak lagi dihalang-halangi.

Begitu juga halnya dengan soal keinginan untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingan. Demikian liberalnya kehidupan politik itu, khususnya pada masa-masa awal reformasi, sampai-sampai muncul partai politik dalam jumlah yang sangat banyak. Enam bulan setelah Soeharto mundur, tercatat ada 181 partai politik. Beberapa tahun kemudian, sebagaimana terdaftar pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah itu bertambah mencapai angka 200-an.

Demokratisasi politik menjadi semakin kokoh ketika pemilihan umum dilakukan secara langsung,bebas,dan rahasia— dalam pengertian yang sebenarnya.Dalam skala masif rakyat tak lagi merasa takut dan terintimidasi. Melengkapi itu semua,pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota akhirnya juga dilakukan secara langsung.

Sayangnya prosedur-prosedur kehidupan kenegaraan yang demokratis dan terbuka itu belum sepenuhnya membuahkan sesuatu yang menjadi makna atau saripati dari pemerintahan. Inti dari didirikannya sebuah negara adalah untuk menjaga keamanan warga dan menyejahterakan kehidupan mereka.

Hakikat dari digulirkannya reformasi pada 1998 adalah untuk mengubah praktik-praktik ekonomi politik yang menghalangi percepatan pencapaian dua tujuan ganda tersebut. Dalam kerangka itu, dapat dipahami jika masih muncul suara-suara yang mengingatkan kita untuk kembali kepada apa yang menjadi api dari Reformasi 1998.

Kata-kata yang sering didengar bahwa reformasi telah “dibajak”,“diselewengkan”,“ gagal”,dan sebagainya pada dasarnya merupakan ekspresi bahwa memang masih banyak hal yang belum bisa dicapai.

Posisi PAN

Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan kekuatan terdepan di dalam menggelorakan Reformasi 1998. Setidaknya, melalui tokoh-tokohnya, para pendiri kekuatan politik ini, reformasi berhasil menuntaskan kesediaan Presiden Soeharto untuk mundur.Tidak ada tokoh yang paling memberi bobot gerakan ketika itu kecuali Amien Rais yang kemudian memimpin PAN.

Dalam konteks itu, yaitu konteks kepioniran pengguliran reformasi,adalah wajar jika masyarakat menuntut PAN untuk bertanggung jawab atas belum terwujudnya reformasi yang bermakna.Memang,PAN bisa menepis tuntutan itu dengan mengatakan bahwa kehidupan pascareformasi tidak secara dominan diarahkan dan dikendalikan oleh dirinya.

Dengan kata lain, bukan PAN yang mendominasi jagat elektoral Indonesia. Tidak seperti yang diharapkan banyak pengamat, pada Pemilu 1999 PAN memperoleh 7,4%. Perolehan sebesar itu menempatkan PAN pada posisi tengah kekuatan elektoral politik di Tanah Air—bersamasama dengan PKB dan PPP.

Kenyataan ini tidak hanya mengejutkan banyak pihak, tetapi juga pimpinan PAN sendiri. Meski demikian, posisi tengah tersebut dapat dimanfaatkan dengan sangat baik oleh PAN. Melalui kepemimpinan Amien Rais, yang juga ketua MPR, PAN tetap mempertahankan simbol kepioniran reformatif—termasuk dalam mengoreksi kepemimpinan eksekutif di bawah Presiden Abdurrahman Wahid.

Akan tetapi, kinerja PAN yang cukup baik di parlemen itu—dengan Hatta Rajasa,AM Fatwa, Patrialis Akbar, Afni Achmad, dan lain-lain sebagai penggeraknya—tidak berpengaruh positif bagi kenaikan perolehan suara partai. Pada Pemilu 2004, perolehan suara PAN justru turun drastis (6,4%).

Memang, karena peta dukungan yang menyebar ke luar Jawa di mana “harga”kursi relatif “murah”,jumlah kursi PAN di DPR untuk periode 2004–2009 jauh lebih banyak daripada pe-riode 1999–2004 (34 berbanding 52). Ketika Sutrisno Bachir menggantikan Amien Rais sebagai ketua umum PAN pada 2005,ia bermodifikasi sedikit di dalam menjalankan roda kepemimpinan partai.

Dalam pandangannya, kekuatan elektoral PAN akan dapat ditingkatkan jika partai melebarkan sayap dukungan kepada kalangan lain yang bukan pendukung inti partai.Ketikapartaididirikan, pendukung utamanya adalah Muhammadiyah, masyarakat terdidik dan urban. Untuk keperluan diversifikasi dukungan itulah Sutrisno Bachir berhubungan dengan kalangan Nahdlatul Ulama dan masyarakat “bawah”.

Dalam konteks politik yang berdasarkan pada prinsip “satu orang satu suara”, pembilahan atau strata sosial-ekonomi menjadi tidak begitu penting dalam hal pengindentifikasian karakter pendukung partai. Sutrisno Bachir telah berusaha.

Kendati apa yang dilakukan tidak mendatangkan hasil yang diinginkan, setidaknya perolehan PAN tidak melorot drastis sebagaimana yang dialami oleh partai-partai tengah yang lain seperti PPP dan PKB. Kekuatan elektoral PAN turun sedikit dalam hal perolehan suara dibandingkan pemilu sebelumnya (6,01%).Tapi jumlah kursi berkurang,menjadi 46.

Kepemimpinan Hatta Rajasa

Kini kepemimpinan PAN berada di tangan Hatta Rajasa, salah seorang kader partai dengan sumber daya politik yang sangat besar: pengalaman dan kewenangan. Sejak awal berdirinya partai, Hatta merupakan kader yang terus-menerus memegang posisi penting. Hal ini bukan hanya menandai kefasihan dia terhadap situasi politik Indonesia pasca-Orde Baru, tetapi juga menunjukkan keluwesan dia dalam berpolitik, baik terhadap konstituen PAN maupun kolegakolega politik yang lain.

Posisi-posisi penting yang pernah dan sedang didudukinya, baik di dalam partai, parlemen maupun birokrasi,menjadikan dirinya sebagai pribadi politik dengan kewenangan yang diperhitungkan.Akankah semua itu berarti banyak bagi peningkatan kekuatan elektoral PAN pada Pemilu 2014?

Jawaban yang pasti hanya bisa diberikan ketika Pemilu 2014 itu sendiri usai. Yang jelas adalah bahwa dewasa ini partai politik sedang tidak menjadi komoditas favorit bagi publik. Berbagai survei menunjukkan naiknya kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik. Dalam kerangka itu, tantangan partai politik menjadi sangat besar.

Tak terkecuali PAN, mereka dituntut untuk merebut kembali kepercayaan rakyat, memenangi kembali hati dan nurani mereka. Tanpa itu,jangan diharap dukungan rakyat pada Pemilu 2014 akan mengalir. Konteks tantangan yang dihadapi pada dasarnya bersumber dari cita-cita reformasi yang belum tercapai. Bahkan dalam pandangan sebagian anggota masyarakat, reformasi telah diselewengkan.

Karena itu, sebagai partai yang berdiri di garis terdepan reformasi,PAN dituntut untuk mengembalikan jalur. Jalur politik dan pemerintahan yang bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketenangan, dan kenyamanan rakyat di satu pihak serta kesejahteraan sosial-ekonomi mereka di pihak lain. Masa dua tahun hingga Pemilu 2014 digelar bukanlah masa yang lama.

Persiapan yang sungguh-sungguh harus segera dilakukan meski sekadar untuk mempertahankan posisi tengah dalam hal dukungan elektoral. Keinginan untuk memperoleh kenaikan suara secara signifikan bukan merupakan hal yang harus diperbincangkan. Sebaliknya, soal itu harus segera dicerminkan dalam tindakan yang konkret.

Amien Rais telah memulai dan sampai tingkat tertentu menempatkan PAN pada posisi yang diperhitungkan dalam percaturan politik Indonesia. Sutrisno Bachir sudah berusaha untuk melakukan diversifikasi dukungan bagi PAN. Tugas Hatta Rajasa adalah mengonsolidasikan berbagai sumberdaya yang ada untuk mengembalikan semangat berpolitik yang reformis di satu pihak dan meningkatkan kekuatan elektoral PAN di pihak lain.

PAN, Koalisi, dan Parliamentary Threshold


PAN, Koalisi, dan Parliamentary Threshold
Bawono Kumoro, PENELITI POLITIK THE HABIBIE CENTER
Sumber : SINDO, 9 Desember 2011




Partai Amanat Nasional (PAN) akan menggelar rapat kerja nasional (rakernas) pada 9–11 Desember 2011 di Jakarta. Menjelang dihelatnya momen penting ini, muncul seruan di lingkup internal partai untuk melakukan reposisi keanggotaan PAN di dalam koalisi pendukung pemerintah.

gkalnya adalah kekecewaan terhadap dua anggota koalisi lainnya, Partai Demokrat dan Partai Golkar, mengenai revisi Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD,dan DPRD. Kondisi ini merujuk pada daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah yang mengusulkan besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT) sebesar 4% sesuai dengan keinginan Partai Demokrat.

Kemudian, jumlah kursi per daerah pemilihan (dapil) sebanyak tiga hingga enam, yang merupakan permintaan Partai Golkar. Sejauh ini memang dua partai tersebutlah yang mendominasi perdebatan di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi sehingga menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan anggota Setgab lainnya yang menginginkan adanya kesetaraan.

Koalisi Ideal

Kombinasi presidensialisme dan multipartai di berbagai negara terbukti sulit untuk mewujudkan demokrasi yang stabil. Di antara berbagai contoh sistem presidensial yang stabil, hanya Cile yang memiliki sistem multipartai.Pada titik inilah penyederhanaan jumlah partai politik dengan sistem multipartai sederhana menemukan urgensinya.

Untuk memperkuat sistem presidensialisme yang dianut Indonesia, dibutuhkan jumlah partai politik yang bisa bekerja secara efektif di parlemen. Jumlah partai yang tidak terlalu banyak diharapkan dapat meminimalkan fragmentasi di DPR sehingga mengurangi terjadinya gesekan politik di legislatif yang cenderung menghambat kinerja pemerintah.

Salah satu problem mendasar yang menyebabkan rapuhnya koalisi adalah agenda dan target tiap partai untuk meraih kesuksesan pada Pemilu 2014.Walhasil, insentif yang diberikan Presiden SBY kepada anggota koalisi berupa kursi di kabinet pun tidak cukup kuat mengikat komitmen untuk mendukung segala kebijakan yang dilakukan eksekutif. PAN sebagai partai yang selama ini memiliki loyalitas kuat terhadap koalisi semestinya bisa memainkan peran penting.

Meski hanya memiliki 46 kursi di DPR,PAN memiliki daya tawar yang kuat di hadapan Partai Demokrat mengingat tidak adanya kekuatan mayoritas.Apalagi dua partai anggota koalisi lainnya,yakni Partai Golkar dan PKS, kerap mbalelo dan bermain di dua kaki.Daya tawar itulah yang bisa dimainkan dalam rangka mencapai kesepakatan mengenai angka PT.

Maka isu penting lain yang perlu menjadi pembahasan dalam rakernas adalah merumuskan aturan main yang lebih implementatif serta pola komunikasi politik di dalam tubuh Setgab Koalisi pemerintah guna meminimalkan friksifriksi yang menguras energi. PAN perlu memperkeras suara dan menegaskan perlunya etika dan kesadaran dalam berkoalisi agar terwujud kedisiplinan dalam berkoalisi.

Sebab, dilema yang dihadapi dalam koalisi presidensial saat ini, dengan PAN berada di dalamnya, dirasakan sangat mengganggu jalannya pemerintahan serta menjadi tontonan dan pendidikan politik yang tidak apik bagi masyarakat.

Target 2014

Wajar saja jika usulan PT sebesar 4% yang didorong oleh Partai Demokrat menimbulkan kegelisahan bagi partai-partai kecil dan menengah, termasuk PAN.Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dalam pernyataannya yang dikutip media massa sebenarnya tidak mempermasalahkan besaran PT.

Cukup beralasan melihat perolehan suara PAN sebesar 6,01% pada Pemilu 2009 meskipun terjadi penurunan dibandingkan Pemilu 2004 sebesar 6,44%. Agar dapat mempertahankan keberadaan PAN di parlemen pada periode berikutnya, langkah-langkah taktis dan strategis dalam rangka meningkatkan elektabilitas patut menjadi perhatian utama dalam rakernas.

Apalagi saat ini partai-partai politik (parpol) menghadapi tekanan deparpolisasi. Ini terlihat dari sentimen negatif yang dimuat media massa,kalangan LSM,maupun masyarakat umum. PAN perlu melakukan evaluasi terhadap dukungan massa pemilihnya yang loyal sembari membangun basis-basis baru. Penetapan calon presiden yang akan diusung dalam Pilpres 2014 mendatang juga diharapkan dapat mendongkrak PT.

Karenanya suara-suara arus bawah agar rakernas mengusung Hatta Rajasa sebagai calon presiden merupakan hal positif. Dengan memunculkan nama Hatta lebih awal, hal itu akan membuat nama besan Presiden SBY tersebut semakin melambung sekaligus mendongkrak perolehan suara PAN nantinya. Yang tak kalah penting adalah melakukan penataan organisasi.

PAN ditantang untuk dapat membangun kelembagaan dengan paradigma baru dan memiliki basis-basis sosial yang luas.PAN mesti dapat menunjukkan dirinya bukanlah milik salah satu kelompok, melainkan bisa merangkul semua bagian masyarakat.PAN sebagai partai yang dibentuk dengan semangat reformasi memiliki tanggung jawab untuk memperkokoh demokrasi sebagai salah satu amanat reformasi.