Tampilkan postingan dengan label Kabinet Indonesia Bersatu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kabinet Indonesia Bersatu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 November 2011

Sang Maha Menteri


Sang Maha Menteri
Indera J. Piliang, DEWAN PENASEHAT THE INDONESIAN INSTITUTE
Sumber : KORAN TEMPO, 02 November 2011



Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II sudah dilakukan.Tidak banyak harapan diberikan, terutama berkaitan dengan postur politik di dalam kementerian dan kredibilitas orang-orang yang dipilih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ibarat ruang kemudi dalam sebuah
kapal, jumlah orang yang menjadi menteri dan wakil menteri terlalu banyak dan penuh. Upaya yang semula ditujukan untuk meningkatkan efisiensi justru terbentur adanya sejumlah jabatan baru, terutama dalam posisi wakil menteri.

Tanpa harus melihat aturan-aturan main yang ada, seyogianya pemilihan para menteri adalah hak prerogatif presiden. Presidenlah yang memiliki tanggung jawab atas gagal dan berhasilnya sebuah rezim. Presidenlah yang diuntungkan dan dirugikan apabila kinerja para menteri bagus
atau jeblok. Sebagai pembantu presiden, menteri bisa diganti kapan saja, dalam situasi
apa pun. Pengalaman Sukarno dan Soeharto menunjukkan bahwa rakyat sama sekali tidak ingat bagaimana kinerja menteri-menterinya. Ingatan itu langsung tertuju kepada presidennya.

Dalam era otonomi daerah sekarang, para menteri memiliki hubungan kerja dengan kepala-kepala daerah.Kewenangan pemerintahan yang sudah didesentralisasi membutuhkan koordinasi dan standardisasi. Para menteri, dengan demikian, tidak hanya wajib melayani presiden, tetapi sekaligus memiliki kemampuan untuk menggerakkan kepala-kepala daerah untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan. Konsentrasi para menteri berada di wilayah-wilayah yang memiliki keunggulan komparatif, dibandingkan dengan wilayah lain. Menteri Kelautan dan Perikanan, misalnya, beroperasi di wilayah-wilayah yang memiliki laut dan ikan, serta berkonsentrasi kepada peningkatan kesejahteraan nelayan dan daerah pesisir.

Dengan jumlah menteri yang banyak, Presiden sudah menempatkan diri pada posisi yang jauh dari jangkauan kepala-kepala daerah dan birokrasi di bawah kementerian. Belum lagi keberadaan stafstaf khusus presiden yang lebih sering bertemu dengan presiden ketimbang bertemu dengan para menteri. Presiden Soeharto, misalnya, pernah menghadapi gelombang aksi ketika para asisten pribadinya dianggap lebih berkuasa dibanding para menteri. Sementara itu, Presiden Sukarno mengalami kesulitan ketika banyak menteri diangkat untuk politik akomodasi.

***

Reshuffle kabinet kali ini sekali lagi menunjukkan bahwa Presiden SBY tidak mau ada kelompok oposisi yang kuat dari kalangan partai-partai politik. Padahal keberadaan partai-partai oposisi sangatlah penting dalam kompetisi di era demokrasi. Pilihan-pilihan kebijakan yang bersifat satu
arah dan tunggal akan cenderung keliru dalam jangka panjang karena miskin dari sisi debat-debat publik. Padahal perkembangan dan kemajuan teknologi informasi sekarang menunjukkan bahwa perdebatan adalah bensin bagi berjalannya mobil Republik Indonesia.

Ada yang mengatakan bahwa presiden telah tersandera oleh partai-partai politik. Saya cenderung menolak argumen itu. Yang terjadi adalah presiden justru berhasil melakukan penjeratan atas partai-partai politik untuk tetap berada di dalam pemerintahan, dengan memberikan kesempatan menjadi menteri bagi wakil-wakilnya. Dan ini memang khas dalam khazanah pemikiran budaya Jawa, ketika keselarasan dan keseimbangan ditafsirkan. Hal ini tidak berbeda dengan filosofi politik Sukarno dan Soeharto, namun dalam pola, cara, dan zaman yang berbeda.

Yang justru patut disikapi dengan kritis adalah penjatuhan “hukuman”kepada menteri yang memiliki prestasi, seperti Dr Fadel Muhammad, dan wakil menteri yang lama meniti karier di birokrasi, misalnya Dr Fasli Djalal.Kedua sosok ini terpental dalam penyusunan formasi menteri dan wakil menteri tanpa penjelasan memadai. Padahal keduanya lebih mengedepankan profesionalisme berdasarkan basis keilmuan, ketimbang melakukan agenda-agenda “politik”yang tidak penting dalam jangka menengah dan panjang. Dua kasus ini akan tetap menjadi titik pertanyaan dalam mekanisme “reshuffle”yang dilakukan.

Bahwa Presiden SBY juga mengangkat sejumlah wakil menteri dari kalangan kampus juga menjadi “titik didih”dalam hubungannya dengan birokrat karier di pemerintahan. Sementara di era Soeharto mimpi terbesar seorang pejabat eselon I adalah kursi menteri, sekarang mimpi itu adalah wakil menteri yang sama sekali bukan anggota kabinet.Artinya, senioritas dan pengalaman menjadi penting.Ketika aktor-aktor dari kalangan kampus muncul sebagai wakil
menteri, maka mimpi itu menjadi hilang. Ketegangan yang muncul secara diam-diam, kalau gagal dikendalikan, akan menjadi cerita yang justru menghalangi kinerja para wakil menteri ke depan.

***

Kabinet Indonesia Bersatu hasil reshuffle ini memiliki waktu yang kasip untuk menjalankan
agenda-agenda yang sudah ditetapkan dan diputuskan oleh presiden. Dalam “kalender politik”,waktu itu hanya 1,5 tahun dari 3 tahun yang tersisa. Soalnya, mulai pertengahan 2013, kalender dan jarum jam politik sudah dimulai. Para politikus akan disibukkan dengan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden 2014-2019. Selain itu, para politikus akan bergerilya ke daerah-daerah pemilihan untuk terpilih (kembali) dalam pemilu legislatif.

Kalau dihitung berdasarkan semester, berarti Presiden SBY dan para menterinya memiliki tiga semester untuk menjalankan agenda-agenda utama pemerintahan. Selain itu, dalam tiga semester awal ini juga diperlukan semacam upaya “memblokade kepentingan politik”yang akan masuk dalam tiga semester berikutnya. Program-program kementerian yang berbau politik yang akan muncul dalam tiga semester terakhir selayaknya dijalankan dalam tiga semester pertama. Sementara itu, dalam tiga semester terakhir, pemerintah melakukan semacam “moratorium politik”agar tidak terganggu oleh aktivitas para politikus.

Presiden SBY diharapkan mampu melakukan manajemen konflik yang bersifat tertutup dan terbuka atas pergesekan-pergesekan kepentingan yang terjadi. Apalagi, kelihatan sekali bahwa Presiden SBY tidak menginginkan adanya masalah-masalah sensitif yang muncul ketika ia mengakhiri pengabdiannya sebagai presiden dua periode pada 20 Oktober 2014 nanti. Catatan keberhasilan bagi Presiden SBY itu akan sangat bergantung pada pengendalian atas jalannya pemerintahan, serta tercapainya tujuan-tujuan utama yang terhubung langsung dengan tujuan-tujuan bernegara.

Tentu agenda antikorupsi menjadi vital, makanya hampir setiap keputusan yang dijalankan para menteri terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Namun, sedari sekarang, kita perlu mengingatkan presiden tentang perbedaan antara “politik antikorupsi”dan agenda-agenda antikorupsi yang terkait dengan anggaran negara. Upaya yang idealnya serius adalah terkait dengan transparansi keuangan negara, dan bukan—semata-mata—agenda menangkapi para koruptor.Transparansi keuangan negara itu antara lain dilakukan dengan cara membeberkan APBN dan APBD kepada warga negara dalam sosialisasi di tingkat apa pun.

Apalagi kita mencatat perkembangan yang signifikan dari kelompok-kelompok kritis di asyarakat.Kebebasan untuk memperoleh informasi publik sekarang berada dalam era yang paling baik. Sikap kritis ini bisa berujung pada dua hal: puas dan tidak puas. Karena itu, para menteri dituntut memiliki kemampuan lebih dalam berkomunikasi dengan publik. Para menteri tidak lagi sekadar jadi menteri biasa, melainkan menjadi “Maha Menteri”, yang sekaligus memproteksi diri dan keluarganya dari masalah-masalah yang bisa muncul nantinya.

Kerancuan Wakil Menteri (2)


Kerancuan Wakil Menteri (2)
Yusril Ihza Mahendra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 01 November 2011




Pada artikel kemarin sudah dijelaskan mengenai permasalahan pada dasar hukum adanya wakil menteri yang ternyata setelah reshuffle, jumlahnya kian bertambah banyak, bahkan melebihi setengah jumlah menteri.

Ketentuan-ketentuan tentang wakil menteri di era Presiden SBY sebagaimana digambarkan di artikel kemarin,menunjukkan kekacauan berpikir para pejabat yang berwenang merumuskan norma-norma hukum. Kalau hal ini ditarik pada permasalahan yang lebih luas, kekacauan berpikir dalam merumuskan norma hukum itu akan berdampak luas, yakni timbulnya kekacauan penyelenggaraan pemerintahan.

Kalau penyelenggaraan pemerintahan negara kacau balau, kacau balau pulalah jalannya Negara Republik Indonesia ini. Memang ada mekanisme untuk memperbaikinya, namun pekerjaan itu akan membuang banyak waktu dan energi.Padahal, persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara ini, terutama di bidang sosial dan ekonomi sudah menuntut penyelesaian segera.

Akankah Effektif?

Presiden SBY me-reshuffle kabinet pada 19 Oktober yang lalu karena banyak faktor. Faktor yang paling menentukan ialah banyaknya kritik terhadap pemerintahannya yang dinilai tidak efektif menyelesaikan persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara. Kalau pemerintahan dinilai tidak efektif,ketidakpuasan akan meluas yang berujung pada krisis kepercayaan.Suarasuara yang menuntut agar SBYBoediono turun, kini terdengar hampir setiap hari.

Untuk menjawab semua itu, reshuffle kabinet, tampaknya dianggap Presiden sebagai upaya untuk memulihkan kembali kepercayaan, sambil memperkuat dukungan politik, paling tidak dari kekuatan-kekuatan politik yang mempunyai wakil di DPR. Namun, reshuffle kabinet dengan mengganti dan memutasi sejumlah menteri, belumlah memberikan banyak harapan, selama Presiden tidak memberikan arahan dan program yang jelas dengan tenggang waktu yang cepat kepada para menterinya.

Menteri bukanlah sekadar pembantu presiden, melainkan pejabat yang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan sesuai bidangnya. Dalam sistem pemerintahan kita ini, menteri tidak dapat semata- mata pejabat politik sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan berdasarkan masukan dari jajaran birokrasi.

Menteri harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah yang harus ditangani yang menjadi tanggung jawabnya, dan leadership yang cukup pula untuk membuat keputusannya menjadi efektif. Melihat nama-nama menteri baru, atau menteri yang dimutasi ke kementerian lain ketika reshuffle kali ini, kemampuan menteri-menteri yang bersangkutan masih tanda tanya dan harus diuji dalam kenyataan beberapa bulan mendatang.

Kemampuan Gita Wirjawan menangani perdagangan, Amir Sjamsudin dalam menangani hukum dan HAM, serta Cicip Sutardjo menangani kelautan masih tanda tanya. Begitu pula menteri-menteri yang dimutasi ke kementerian lain, seperti Mari Pangestu yang kini menangani pariwisata dan ekonomi kreatif, dan Jero Wacik menangani ESDM. Pertanyaan tentang efektivitas tentu terkait pula dengan banyaknya jabatan wakil menteri dalam kabinet hasil reshuffle.

Dari ketidakjelasan kedudukan wakil menteri itu saja, sudah dapat dibayangkan bahwa kinerja kabinet hasil reshuffleini tidak akan menambah efektivitas kerjanya. Ketika rapat kabinet pertama pascareshuffle, sudah ada wakil menteri yang mengatakan secara terbuka bahwa dia tidak tahu apa yang menjadi tugasnya sebagai wakil menteri.

Dari sini dapat diketahui bahwa Presiden lebih dahulu mengangkat orang jadi wakil menteri, tanpa memikirkan secara struktur organisasi dan mekanisme kerja, apakah yang akan dikerjakan oleh wakil menteri pada kementerian tertentu,sehingga jabatan itu dipandang perlu untuk diadakan. Cara berpikir Presiden SBY ini terbalik. Seharusnya Presiden memikirkan secara matang, perlu tidaknya mengadakan jabatan wakil menteri pada kementerian tertentu dan menuangkannya dalam struktur organisasi, baru mengangkat orangnya.

Apa yang dilakukan Presiden SBY ini tampak seperti orang mengira-ngira saja: kementerian ini perlu wakil menteri, bahkan bukan hanya satu, melainkan dua wakil menteri. Tapi untuk apa keberadaan wakil menteri itu sesungguhnya? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, ruanglingkup pekerjaannya sudah mengecil dengan otonomi daerah. Lantas, apa perlunya mengangkat dua wakil menteri untuk kementerian ini?

Persaingan

Ketidakjelasan kedudukan wakil menteri, kecacauan dalam aturan-aturannya, serta ketidakjelasan tugas dan wewenangnya pada suatu kementerian, bukan saja dapat menimbulkan tumpang tindih, namun juga membingungkan jajaran birokrasi di bawahnya. Ini akan terjadi apabila wakil menterinya bersikap kreatif dan proaktif menangani hal-hal tertentu di kementeriannya.

Sikap kreaktif dan proaktif ini bukan mustahil pula akan menimbulkan suasana kurang enak antara menteri dan wakil menteri. Rasa kurang enak itu bisa muncul ke permukaan dalam bentuk yang beragam, dari mendinginnya hubungan sampai ketegangan terbuka yang menjadi tontonan publik. Pada masa Presiden Soeharto yang memiliki karisma, kewibawaan, dan kewenangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Presiden SBY, mendinginnya hubungan antara menteri dan menteri muda memang terjadi.

Walaupun hal seperti itu tidak terungkap secara luas kepada publik,karena suasana kebebasan memang belum terbuka lebar, namun publik tetap mengetahui adanya masalah antara menteri dan menteri muda.Ambillah contoh antara Menteri Keuangan JB Sumarlin dan Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura, dan antara Mensesneg Moerdiono dan Menmud Sekkab Saadillah Mursyid.

Itu sebabnya, maka dalam Kabinet Pembangunan VI dan VII, Presiden Soeharto meniadakan jabatan menteri muda itu. Keberadaan para menteri muda dianggap tidak efektif, malah menimbulkan masalah semacam persaingan antara menteri dan menteri mudanya. Pengalaman pada masa Presiden Soeharto rupanya tidak dijadikan sebagai pelajaran. Tidak apa-apa Presiden SBY dapat berpikir sendiri dan memutuskan sendiri, apa yang dianggap terbaik bagi kabinetnya.

Waktu masih tiga tahun bagi Presiden SBY untuk memperbaiki dan sekaligus meningkatkan efektifitas kerja kabinetnya. Kalau perombakan kabinet dan penangkatan wakil-wakil menteri ini efektif, akan meningkatlah kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan Presiden SBY akan “khusnul khatimah” sampai akhir masa jabatannya tahun 2014 nanti. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya,akan tambah sulit bagi Presiden SBY membangun kepercayaan rakyat. Demo-demo yang menuntut Presiden untuk turun dari jabatannya niscaya akan bertambah banyak saja.

Minggu, 30 Oktober 2011

Kerancuan Wakil Menteri (1)



Kerancuan Wakil Menteri
Yusril Ihza Mahendra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 31 Oktober 2011




Dua minggu lalu, Presiden SBY telah resmi mengumumkan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Satu hal yang menarik perhatian masyarakat ialah banyaknya wakil menteri yang diangkat dalam kabinet hasil reshuffle ini.

Dari 34 menteri anggota kabinet, setelah reshuffle jumlah wakil menteri kini bertambah dari 6 menjadi 19 orang. Ini berarti jumlah wakil menteri melebihi separuh jumlah menteri. Bagaimanakah kedudukan wakil menteri ini dalam sistem ketatanegaraan kita dan akan makin efektifkah jalannya pemerintahan dengan keberadaan 19 wakil menteri itu? Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengatakan bahwa presiden dibantu oleh menterimenteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa dalam hal beban kerja yang memerlukan penanganan khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Penjelasan pasal ini mengatakan bahwa yang dimaksud wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet. Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 mengatakan bahwa wakil menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Inilah aturan-aturan yang terkait dengan jabatan wakil menteri itu.

Kerancuan

Dalam sejarah kabinet presidensial di negara kita, hanya dalam kabinet RI pertama yang dibentuk tanggal 5 September 1945 yang memiliki wakil menteri. Kabinet pertama itu terdiri atas 12 menteri, 5 menteri negara, dan 2 wakil menteri.Wakil menteri yang ada pada waktu itu hanyalah wakil menteri dalam negeri dan wakil menteri penerangan. Kedudukan dua wakil menteri itu jelas karena namanya dicantumkan dalam daftar anggota kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Di era pemerintahan presidensial setelah Dekrit Presiden (1959–1966) dari Presiden Sukarno hingga kabinet pertama yang dibentuk Presiden SBY (KIB I), jabatan wakil menteri tidak ada walau belakangan Presiden SBY mengangkat satu orang wakil menteri, yakni wakil menteri luar negeri. Kalau kedudukan wakil menteri dalam kabinet kita yang pertama (1945) adalah jelas, maka tidak demikian halnya dengan kedudukannya di dalam KIB II Presiden SBY. Penulis pada awalnya mewakili Presiden SBY membahas RUU Kementerian Negara yang inisiatifnya berasal dari DPR.

Namun di tengah jalan, penulis diberhentikan sebagai mensesneg sehingga pembahasan RUU ini diteruskan oleh mensesneg yang baru,Hatta Radjasa,serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata hingga selesai. Dalam RUU Kementerian Negara, jabatan wakil menteri itu tidak ada. Dalam KIB I, Presiden SBY pernah mendiskusikan secara informal kepada penulis tentang perlunya mengangkat wakil menteri pada Kementerian Luar Negeri mengingat menlu sering berada di luar negeri.

Dalam pikiran penulis waktu itu, wakil menteri itu adalah anggota kabinet sebagaimana halnya wakil menteri dalam kabinet pertama RI tahun 1945.Namun,apa yang penulis pikirkan itu ternyata berbeda dengan penjelasan Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 yang penyelesaiannya dilakukan oleh Mensesneg Hatta Radjasa dan Menkumham Andi Mattalata. Norma undang-undang sebenarnya adalah apa yang tertera di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Fungsi penjelasan undangundang tidaklah lebih dari sekadar menjelaskan saja apa yang dimaksud oleh norma yang diatur di dalam pasal sehingga dimengerti maksudnya.

Penjelasan undangundang tidak boleh memuat norma baru atau norma tersendiri yang tidak diatur di dalam pasal-pasal undangundang tersebut. Ini sebuah kesalahan, baik oleh DPR maupun Presiden,dalam membahas RUU Kementerian Negara tersebut.Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 itu hanya memuat norma bahwa presiden dapat mengangkat wakil menteri. Istilah wakil menteri membawa pengertian pejabat tersebut memang mewakili menteri dalam hal-hal menangani hal-hal khusus di kementerian itu.

Ketika menterinya berhalangan, maka wakil menteri itulah yang mewakili menteri yang bersangkutan hadir dalam rapat-rapat kabinet, DPR, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Karena itu wakil menteri seharusnya adalah anggota kabinet, sebab mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas inisiatif presiden sendiri dan bukan inisiatif atau sekurang-kurangnya atas usul menteri yang bersangkutan. Namun penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 itu mengatakan bahwa wakil menteri itu adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet.

Dari sinilah muncul kerancuan kedudukan wakil menteri itu. Kerancuan di atas itu makin bertambah dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 yang mengatakan bahwa wakil menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Di satu pihak wakil menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden, tetapi di lain pihak berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri.

Sementara wakil menteri itu bukan diusulkan oleh menteri yang bersangkutan, tetapi murni inisiatif presiden. Jadi seorang menteri dapat difait accompli oleh presiden untuk menerima seseorang menjadi wakilnya dan tidak dapat memberhentikan wakil menteri karena dia diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pasal 70A Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 menambahkan lagi bahwa hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi wakil menteri diberikan setingkat dengan jabatan struktural eselon Ia. Meskipun mendapat hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon Ia, wakil menteri itu bukanlah pejabat eselon Ia.

Wakil menteri bukanlah pejabat struktural birokrasi. Kalau demikian, apa makna bahwa wakil menteri adalah pejabat karier sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011? Pejabat karier adalah pejabat birokrasi, baik sipil maupun TNI dan Polri, yang menduduki jabatan karier secara berjenjang. Jabatan itu diraih seseorang secara berjenjang, berdasarkan kepangkatan dan urutan eselon jabatan.

Untuk menduduki jabatan dalam eselon tertentu, seorang pegawai negeri harus memiliki kepangkatan tertentu, tidak sembarangan.Tidak mungkin pegawai golongan III menjadi pejabat eselon I. Lantas, bagaimana dengan sejumlah akademisi yang kini menjadi wakil menteri, apakah mereka punya kepangkatan yang sesuai untuk itu,kalau jabatan wakil menteri adalah jabatan karier?

Kasus Denny Indrayana

Denny Indrayana misalnya adalah pegawai negeri sipil golongan III/C dengan jabatan fungsional sebagai guru besar di Universitas Gadjah Mada. Denny tidak menduduki jabatan struktural apa pun di Fakultas Hukum UGM, baik ketika diangkat menjadi staf khusus presiden atau apalagi ketika diangkat menjadi wakil menteri.

Jadi, kalau jabatan wakil menteri adalah jabatan karier, maka jenjang karier apakah gerangan yang dimiliki oleh Denny Indrayana sebelum diangkat menjadi wakil menteri? Sebelum Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011, dalam Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa wakil menteri itu haruslah pejabat yang telah menduduki jabatan eselon Ia. Namun ketentuan ini dihapuskan tanpa mengubah ketentuan-ketentuan yang lain.

Guru besar Fakultas Hukum UI Professor Hikamahanto Juwana dan politikus PDIP Firman Jaya Daeli mengatakan perubahan tergesa-gesa terhadap Pasal 70 ayat (3) Peraturan Presiden No 49 Tahun 2009 itu memang sengaja dilakukan untuk memberi jalan bagi diangkatnya Denny Indrayana dan mungkin juga nama yang lain yang sebelumnya tidak memenuhi syarat menjadi wakil menteri. Pendapat kedua tokoh ini tampak ada benarnya. Profesor Hikmahanto malah mengatakan bahwa hukum yang dibuat dengan cara seperti itu tidak semestinya dipatuhi.

Presiden tentu kapan saja berwenang mengubah peraturan presiden.Presiden SBY tampaknya menganut paham bahwa hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia dibuat untuk hukum.Jadi kalau ada norma hukum yang menghalangi maksud tertentu, misalnya untuk mengangkat Denny Indrayana jadi wakil menteri,maka hukum itu tentu dapat saja diubah. Begitulah kira-kira pikiran yang ada di benak Presiden SBY.Tidak salah, memang, tetapi terkesan menggelikan.

Memaksimalkan Peran Wakil Menteri


Memaksimalkan Peran Wakil Menteri
Prof. Martani Huseini, PERISET DI FISIP DAN FE UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 31 Oktober 2011




Postur baru Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dikritik banyak pihak cenderung terlalu gendut dan tidak efisien, antara lain karena banyaknya posisi wakil menteri (wamen).

Ada kesan bahwa sense of direction peran wamen belum dikaji atau setidaknya belum dikomunikasikan secara luas,tetapi lembaga dan personelnya sudah ditetapkan. Dapat dipahami bila kemudian muncul pertanyaan mengenai fitting & alignment dalam pemantapan lembaga wamen dan operasionalisasi tugas pokok dan fungsinya. Sebenarnya format kabinet baru yang banyak dikritik tersebut masih dapat dioptimalkan secara lebih futuristik dan padat pengetahuan dengan cara memaksimalkan peran wamen dalam tatanan organisasi yang ada, tetapi ke depan perlu di-redesain struktur dan tupoksinya.

Dapur Pengetahuan Birokrasi

Dibentuknya wamen dapat dijelaskan dari beberapa perspektif. Pertama, hal itu sesuai dengan amanat Pasal 10 Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara. Kedua, lembaga wamen dapat menjadi penghubung dan peredam (boundary spanning) dinamika politik,baik internal maupun eksternal, terutama dengan banyaknya menteri berlatar belakang politik (political appointee).

Selama ini penghubung dan peredam itu diharapkan dapat diperankan oleh jajaran staf khusus yang dibentuk oleh setiap menteri. Tapi kenyataannya hal tersebut tidak selalu dapat berjalan secara optimal. Wamen dapat menjaga stabilitas tata kelola birokrasi, termasuk terjaminnya jenjang karier para birokrat profesional. Hal ini penting guna mewujudkan merit systemyang konsisten dan sistematik di tengah turbulensi sistem politik yang masih dalam proses konsolidasi. Ketiga, wamen dapat menjadi koordinasi dapur pengetahuan birokrasi, khususnya dalam hal percepatan dan harmonisasi regulasi.

Salah satu soal krusial selama ini adalah masalah percepatan dan harmonisasi regulasi. Walaupun dapat diperankan oleh sekretaris jenderal, mengingat beban kerja yang sangat tinggi, percepatan dan harmonisasi regulasi ini seringkali menghadapi leher botol (bottleneck). Wamen sangat berpontensi memecahkan problem bottleneck regulasi ini,termasuk dalam penyelesaian rancangan undangundang bersama dengan DPR dan/atau DPD. Lebih jauh, wamen juga dapat memaksimalkan peran unit-unit produksi dan diseminasi pengetahuan di kementerian, yaitu Balitbang dan Bandiklat. Selama ini ada kecenderungan bahwa kedua unit operasional ini seperti hidup segan mati tidak mau.

Wamen dan Chancellor

Di banyak perguruan tinggi, khususnya di negara-negara persemakmuran, dikenal lembaga pimpinan kampus yang bergelar chancellor dan vice chancellor.Kedua lembaga ini memiliki deskripsi dan pembagian kewenangan secara jelas.

Chancellor sebagai pemimpin tertinggi memiliki otoritas pengambilan keputusan final untuk kebijakan makro dan strategis. Chancellor juga memiliki kedudukan seremonial dan simbolik tertinggi mewakili kampus. Sementara itu, vice chancellor memimpin manajemen akademis dan administratif kampus untuk menjamin seluruh tata kelola organisasi berlangsung maksimal berdasarkan prinsip good and clean governance. Sesungguhnya lembaga menteri dan wakil menteri juga dapat dirancang dalam model pembagian kerja antara chancellor dan vice cancellor tersebut.

Otoritas pengambilan keputusan strategis kementerian sebagai perwujudan dari kewenangan kabinet tetap berada di tangan menteri. Kedudukan seremonial dan simbolis kementerian melekat pada seorang menteri.Dengan demikian sidang dalam rapat paripurna, rapat dengar pendapat, dan rapat kerja panitia khusus dengan DPR dan/atau dengan DPD tetap harus dihadiri oleh seorang menteri. Tentu saja wamen,sekjen,dan pejabat satuan teknis harus mendampingi menteri sesuai dengan bidang tugas pokok dan fungsi.

Agak berbeda dengan vice chancellor yang langsung berfungsi dalam manajemen akademis dan administrasi kampus, wamen dapat difokuskan dalam menjamin berlangsungnya tata kelola birokrasi berbasis pengetahuan.Pengelolaan administrasi kementerian tetap ditangani oleh sekjen dan jajaran teknis lainnya. Dengan demikian, kehadiran wamen tidak mengubah hierarki pengelolaan anggaran, yakni pengguna anggaran (menteri), kuasa pengguna anggaran (eselon I), pejabat pembuat komitmen (eselon II), dan seterusnya.

Payung Hukum

Sejauh ini payung hukum lembaga wamen adalah Pasal 10 Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara. Selain keputusan presiden tentang penunjukan dan pengangkatan wamen yang sifatnya beshickking, tampaknya diperlukan payung hukum yang sifatnya regelling, misalnya dalam bentuk peraturan presiden.

Dalam peraturan presiden ini dapat diatur secara lebih terperinci dan operasional tugas pokok wamen dalam kaitannya dengan menteri dan jajaran eselon I kementerian, termasuk dukungan operasionalnya. Kekhawatiran tentang kemungkinan tidak harmonisnya hubungan antara menteri dengan wakil menteri selain dapat diminimalkan dengan peraturan presiden tersebut, juga harus diselesaikan dengan kematangan kepemimpinan (leadership).