Tampilkan postingan dengan label Globalisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Globalisasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Desember 2011

Krisis Utang Eropa Tetap Berat

Krisis Utang Eropa Tetap Berat
Bambang Prijambodo, DIREKTUR PERENCANAAN MAKROEKONOMI BAPPENAS
Sumber : KOMPAS, 5 Desember 2011


Meskipun sudah ada kesepakatan paket untuk mengatasi krisis utang Eropa ataupun pergantian PM di Yunani dan Italia, kekhawatiran akan terjadi krisis keuangan global seperti 2008 tetap besar.

Akhir Oktober 2011, paket menyeluruh telah dikeluarkan di Brussel. Paket ini mencakup tiga langkah penting: disepakatinya pihak kreditor menanggung kerugian secara sukarela sebesar 50 persen dari nilai obligasi pemerintah Yunani, direkapitalisasinya perbankan Eropa senilai 106 miliar euro, dan dibentuknya benteng pengaman sebesar 1 triliun euro untuk mencegah meluasnya panik ke negara yang lebih besar seperti Italia.

Awal November 2011, PM Yunani Papandreou dan PM Italia Berlusconi mengundurkan diri. Kebijakan politik ini sempat memberi harapan, tetapi ternyata hanya sementara. Sentimen negatif kembali muncul, tecermin dari pergerakan bursa saham dunia dan harga komoditas yang fluktuatif. Secara keseluruhan, kekhawatiran terhadap krisis utang Eropa tetap tinggi karena beberapa permasalahan mendasar yang sulit ditangani.

Pertama, beratnya beban utang sehingga berpotensi gagal bayar. Tingkat kerentanan utang negara-negara Eropa sangat tinggi dengan sebagian besar utang luar negeri (sovereign debt).

Tahun 2010, stok utang Yunani, Irlandia, Portugal, dan Italia berturut-turut 144,9 persen, 94,9 persen, 93,3 persen, dan 118,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Negara Eropa lain yang punya stok utang besar adalah Belgia (96,2 persen PDB) meski lebih rendah daripada utang Jepang (193 persen PDB).

Gambaran utang Yunani setelah dijamin juga tidak cerah. Pada 2011 dan 2012, stok utang diperkirakan meningkat menjadi 161,8 persen dan 172,8 persen PDB. Setelah kesepakatan Brussel, stok utang baru turun menjadi 120 persen tahun 2020.

Kedua, kemungkinan risiko menjalar ke negara Eropa lain. Tak hanya pada negara lapis pertama (Yunani, Irlandia, dan Portugal), tetapi juga ke negara lapis kedua (Italia dan Spanyol) dan inti (Perancis dan Jerman). Keterkaitan utang seperti diindikasikan Bank for International Settlement (BIS) membuat krisis utang Yunani bisa mendorong gagal bayar (default) negara lapis kedua dan berpotensi meruntuhkan sistem keuangan Eropa.

Risiko Global

Risiko yang membahayakan keuangan global terjadi apabila Italia mengalami gagal bayar. Italia adalah pasar terbesar surat utang pemerintah di Eropa dan ketiga di dunia setelah AS dan Jepang. Utang Italia 2010 adalah ?1,84 triliun euro, hampir tiga kali stok utang Yunani, Irlandia, dan Portugal atau hampir seperempat dari seluruh utang Eropa. Penurunan peringkat kredit Italia tak saja berpengaruh terhadap ketahanan fiskal Italia, tetapi juga merembet ke negara Eropa lain yang punya keterkaitan utang.

Selanjutnya, Perancis juga dipastikan terkena dampak karena memegang surat utang Italia, Spanyol, dan Yunani jauh lebih banyak dibanding negara Eropa lain. Begitu nilai surat utang Italia dan Spanyol jatuh, gejolak akan cepat merambat ke perbankan Perancis dan Eropa.

Ketiga, lemahnya komitmen serta langkah konkret dari Yunani untuk mengurangi defisit anggaran dan mereformasi ekonominya. Sebelum pemberian dana talangan kedua, Yunani berjanji mengurangi belanja hingga ?6,4 miliar euro pada 2011, ?22 miliar euro hingga 2015, serta privatisasi senilai ?50 miliar euro. Komitmen ini tidak ditepati sehingga pencairan dana talangan sempat ditunda, yang berdampak sentimen negatif pada pasar keuangan global. Baru pada awal Oktober 2011, Pemerintah Yunani sepakat pengurangan belanja, tetapi implementasi dan pengurangan tahun-tahun berikutnya masih diragukan.

Tidak mudah memang bagi Athena mengurangi belanja dengan peran negara yang sangat berlebih dalam perekonomian karena berisiko memicu gejolak sosial dan politik yang besar.
Keempat, lemahnya pertumbuhan ekonomi Eropa terutama di negara-negara yang krisis utang. Dalam triwulan III-2011, pertumbuhan ekonomi Eropa—yang mencerminkan kemampuan membayar utang—hanya 0,2 persen (quarter-to-quarter), sama dengan triwulan sebelumnya. Ekonomi Yunani terus menurun sejak tahun 2009 dan pada triwulan II-2011 turun 7,3 persen (year-on-year).

Tahun 2011 ekonomi Yunani diperkirakan mengalami kontraksi ekonomi sebesar 5,5 persen dan berlanjut pada tahun 2012 dengan kontraksi sebesar 2,5 persen. Dengan suku bunga riil (imbal hasil obligasi 10 tahun dikurangi inflasi) jauh lebih besar dari pertumbuhan ekonomi, stok utang Yunani akan meningkat dari tahun ke tahun. Artinya hampir tidak mungkin Yunani terhindar dari gagal bayar, kecuali ada solusi luar biasa.

Kemampuan Jerman dan Perancis menopang Eropa juga bukan tanpa batas. Meskipun Jerman dan Perancis pada triwulan III-2011 tumbuh 0,5 persen dan 0,4 persen (quarter-to-quarter), laju tahunannya melambat. Apabila pertumbuhan ekonomi Jerman dan Perancis terus melambat, Eropa akan resesi dan dukungan menyelamatkan Yunani dan Italia akan berkurang.

Kelima, kegagalan koordinasi dan sentimen (coordination and sentiment failure) dalam penanganan krisis utang Yunani. Penyebabnya adalah besarnya perbedaan kepentingan antarnegara Eropa dan sentimen masyarakat ”utara” yang harus menanggung beban utang Yunani dan negara-negara lain yang dijamin.

Rencana pembentukan surat utang bersama (Eurobond), meskipun diperkirakan dapat menyelamatkan Eropa dan diterima kreditor, tetap ditentang keras oleh Jerman karena khawatir justru mendorong aji mumpung (moral hazard) negara-negara yang tidak disiplin anggaran.

Solusi Mendasar

Meskipun krisis utang yang dihadapi Eropa sangat berat, masih ada jalan keluar dengan penanganan bertahap.

Pertama, apabila Yunani dapat membuat penyesuaian struktural dan meningkatkan peran swasta. Kontraksi ekonomi dapat dipersingkat dan kekhawatiran dapat dikurangi dengan cepat.

Memang tidak mudah apabila Yunani masih dalam kawasan Eropa. Yunani tidak bisa memanfaatkan depresiasi mata uang untuk mendorong ekspor. Namun, yang lebih sulit adalah bahwa semua itu menuntut kepemimpinan yang tegas dan langkah konkret yang meyakinkan rakyat bahwa perubahan dilakukan untuk masa depan yang lebih baik.

Kedua, mengatasi kelemahan mendasar dari kesatuan moneter, yaitu dengan meningkatkan disiplin fiskal setiap negara. Ini yang sedang didorong oleh Jerman dan Perancis agar disiplin fiskal masuk dalam konstitusi. Resolusi ini ideal, tetapi hanya berjalan apabila negara-negara Eropa tidak menghadapi pilihan dilematis seperti saat ini untuk mengurangi defisitnya.

Ketiga, yang paling memungkinkan, mengeluarkan Yunani dari zona euro. Meskipun ada risiko jangka pendek yang diakibatkan oleh kompleksitas utang Yunani dengan negara-negara Eropa lain, kemungkinan ini mencuat dalam pertemuan pemimpin G-20 di Cannes awal November 2011.

Secara politis, pilihan ini berat karena menyangkut reputasi Eropa yang tetap ingin menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Pengeluaran Yunani dari zona euro dapat mengakibatkan koalisi semakin rentan.

Semoga Eropa mampu mengatasi krisis utangnya mengingat risikonya yang besar terhadap perekonomian dunia. ●

Selasa, 22 November 2011

ASEAN dalam Pusaran Globalisasi


ASEAN dalam Pusaran Globalisasi

Ahmad Erani Yustika,GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Sumber : SINDO, 23 November 2011



Dalam tiga tahun terakhir aneka ujian ekonomi silih berganti menerpa negara-negara di dunia, tidak terkecuali negara di kawasan ASEAN.Pada 2008 lalu krisis keuangan dunia sempat menghancurkan beberapa negara di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Namun, pada 2010 negara-negara tersebut beranjak pulih dan sepenuhnya kemudi ekonomi bisa dikendalikan lagi. Tidak lama setelah itu,ujian datang dalam wujud kerja sama ekonomi ASEAN plus China (ASEAN China Free Trade Agreement/ ACFTA). Umumnya, negara-negara anggota ASEAN kalah bersaing dengan China sehingga neraca perdagangannya cenderung defisit berhadapan dengan China, termasuk Indonesia.

Saat ini ASEAN juga dihadapkan dengan krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara maju (AS, Uni Eropa, dan Jepang) sehingga pasti akan memengaruhi kinerja ekonomi 2012. Situasi inilah yang menjadi latar belakang penyelenggaraan KTT ASEAN pekan lalu.

Kapasitas Ekonomi ASEAN

Jika dibagi dalam dua kategori besar, anggota ASEAN terdiri atas lima negara yang memiliki kekuatan ekonomi cukup besar dan lima negara yang ukuran ekonominya kecil. Lima negara yang mempunyai kekuatan cukup besar adalah Indonesia,Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Lima negara ini karakteristik ekonominya sebetulnya hampir sama, kecuali Singapura. Empat negara ekonominya berpijak pada sektor pertanian, industri, dan perdagangan; sedangkan Singapura kuat di sektor jasa.Sementara itu,Vietnam, Myanmar,Laos, Kamboja, dan Brunei Darussalam tergolong kecil ukuran ekonominya.

Negara-negara ini juga relatif sama konsentrasinya, kecuali Brunei yang mengandalkan kepada minyak. Dengan deskripsi ini, kerja sama ekonomi di tingkat ASEAN sebetulnya juga tidak mudah dilakukan karena perbedaan keadaan “dua blok”itu. Besar kecilnya ukuran ekonomi suatu negara biasanya diasosiasikan dengan produk domestik bruto (PDB). Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar (240 juta) memiliki PDB yang paling besar, yaitu USD706,74 miliar.

Setelah itu disusul olehThailand (USD312,61 miliar), Malaysia (USD237,96 miliar), Singapura (USD194,62 miliar),danFilipina(USD188,72 miliar). Sedangkan Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Brunei kekuatan PDB-nya jika digabung masih di bawah USD75 miliar (IMF, 2011). Sungguh pun begitu, PDB itu tidak secara otomatis menunjukkan daya beli rata-rata suatu negara.

Daya beli lebih dekat dengan menggunakan ukuran pendapatan per kapita (PDB dibagi jumlah penduduk),yang dari sisi ini Singapura,Thailand, dan Malaysia menyisihkan Indonesia. Jadi,PDB Indonesia besar lebih banyak disebabkan jumlah penduduk. Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi dari blok yang pertama, dalam tiga tahun terakhir relatif cukup seimbang, kecuali pada 2009.

Pada 2009 itu, Indonesia tumbuh 5,4%, Malaysia 4,6%,Thailand -2,3%, Singapura 4%, dan Filipina tumbuh 1,1%. Namun, pada 2010 pertumbuhan ekonomi Thailand amat fantastis, yakni 7,8%. Pertumbuhan tersebut hanya kalah dibandingkan Singapura 12%.Sementara itu, pada 2010 Indonesia tumbuh 6,1%, Malaysia 4,8%, dan Filipina 6,1%. Pada 2011 ini diproyeksikan 4 dari 5 negara akan tumbuh di atas 4,5%, hanya Thailand yang diprediksi tumbuh rendah, sekitar 2,6% saja (IMF,2011).

Titik Pijak Kerja Sama

ASEAN sebetulnya mempunyai daya tarik ekonomi yang tinggi, bukan semata karena pertumbuhan ekonominya yang bagus, melainkan juga memiliki potensi lain yang besar.Penduduk di ASEAN cukup besar, yaitu 700 juta jiwa, sehingga ini merupakan pasar yang potensial. PDB-nya mencapai USD1,5 triliun (2010), investasi asing sebesarUSD75,8 miliar(2010),danpertumbuhan investasi asing menyentuh angka 131,8%.Ini menandakan wilayah ini merupakan salah satu tujuan investasi asing langsung, di samping China dan India.

Berikutnya, pertumbuhan perdagangan intra-ASEAN sebesar 31,2%/tahun dan nilai transaksi perdagangan intra- ASEAN pada 2010 sebesar USD519,7 miliar.Nilai transaksi itu melonjak amat signifikan dibanding 2009, di mana pada tahun tersebut nilai perdagangan intra-ASEAN baru USD76,2 miliar (Bloomberg,2011). Keadaan seperti itulah yang menjadikan ASEAN berada dalam pusaran tarikan kepentingan negara-negara raksasa ekonomi, khususnya AS dan China.

Pada KTT ASEAN minggu lalu Obama dan Hu Jintao sama-sama datang ke Bali,yang tentu saja dimaksudkan hendak berebut pengaruh di ASEAN.Dalam konteks seperti ini kerja sama ekonomi ASEAN mesti bersandar kepada dua titik pijak. Pertama, membuat pemerataan pembangunan ekonomi antaranggota ASEAN agar daya saing mereka dalam memasuki persaingan ekonomi dunia menjadi merata.

ASEAN hanya akan relevan apabila semua negara merasa mendapat manfaat dari kerja sama ekonomi. Jika tidak, ikatan regional ini mudah lepas dan menjadi sasaran godaan dari wilayah/ negara lain. Kedua, AS saat ini sangat agresif dalam menawarkan kerja sama ekonomi (Trans- Pacific Partnership/TPP) kepada beberapa negara yang masuk dalamASEAN,termasuk tawaran kepada Indonesia.

Sebaiknya, keikutsertaan maupun penolakan masing-masing negara untuk terlibat dalam TPP sudah dibicarakan pada level ASEAN. Jika memang satu kesepakatan tidak bisa diambil,sekurangnya negara yang ikut dalam TPP telah diketahui dan disetujui oleh anggota ASEAN lainnya.

Celakanya,proses ini tampaknya tidak dilakukan, terbukti Singapura,Thailand,Malaysia, dan Vietnam sudah setuju bergabung dalam TPP sebelum KTT ASEAN diselenggarakan, sedangkan Indonesia sampai hari ini sikapnya menolak bergabung. ASEAN perlu lebih kritis lagi membaca peta perubahan ekonomi global agar keputusan yang diambil tidak menjerat kawasan ini dalam pusaran globalisasi ekonomi yang demikian buas. ●

Selasa, 15 November 2011

Menggugat Dominasi Wallstreet


Menggugat Dominasi Wallstreet

Harun Ni’am,PENELITI LABORATORIUM POLITIK UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
Sumber : SUARA KARYA, 16 November 2011



Aksi unjuk rasa anti-Wall Street, baru-baru ini semakin membesar dan menyebar dari New York ke seluruh negara bagian di AS. Meski hampir seribu pengunjuk rasa ditangkap polisi saat melalui Jembatan Brooklyn, awal Oktober lalu, namun tidak menyurutkan langkah mereka menduduki gedung Wall Street yang menjadi jantung perekonomian AS. Aksi itu sendiri dilaporkan telah mengguncang sekitar 1.000 kota besar di seluruh dunia.

Gerakan bertajuk Occupy Wall Street atau "Duduki Wall Street", awalnya hanya dilakukan oleh aksi lusinan mahasiswa yang bermalam di Taman Zuccotti, depan Wall Street pada 17 September lalu. Namun, dalam waktu sekejap jumlahnya menjadi ribuan, jutaan dan terus membesar. Insiden penangkapan pengunjuk rasa justru menyulut masyarakat luas untuk bergabung dalam gerakan tersebut. Ditambah lagi, peran media sosial seperti Facebook dan Twitter yang semakin signifikan dalam gerakan massa.

Secara umum, motivasi gerakan ini adalah ketidakpuasan rakyat AS karena ketidakadilan begitu nyata sehingga mengganggu perkonomian nasional. Mereka tidak percaya gagasan bahwa akan terjadi trickle down effect (penetesan ke bawah) dalam sistem kapitalis. Sebaliknya, mereka menuding keserakahan para pengusaha besar (korporasi) sebagai musuh bersama yang menyebabkan bangkrutnya ekonomi nasional.

Demokrasi yang dibanggakan justru malah dibajak para korporat untuk mengeruk dan menumpuk kekayaan. Para korporat itu telah 'membeli' politisi untuk membela keserakahan mereka dengan aturan main di Kongress. Pengadilan juga dituduh terlalu memihak kepada mereka yang kaya dan berkuasa.

Mereka dengan santai menelanjangi dominasi Wall Street sebagai tempat istimewa di mana para petinggi korporasi yang jumlahnya hanya 1% dari total penduduk tapi pendapatan komulatif mereka bisa lebih besar dari pendapatan 50% penduduk. Sementara para pengunjuk rasa yang mengidentifikasi diri mereka dengan simbol 99% penduduk diaksa berebut sisa pendapatan korporasi tadi. Mereka merasa dilemahkan dan disingkirkan dalam perekonomian. Wajar kalau akhirnya mereka menggugat dominasi ini.

Mereka menolak gagasan bahwa hanya orang kaya saja yang mampu memahami perekonomian dan harus dipercaya untuk menjaga kemakmuran. Sementara mereka dipaksa untuk ikut alur pemikiran orang kaya dan menonton kemegahan di tengah ketidakadilan.

Mereka menolak pandangan orang kaya bahwa kemajuan kehidupan manusia hanya diukur dengan produk domestik bruto dan pertumbuhan yang bersifat kuantitatif. Sebaliknya, mereka mempertanyakan kondisi kualitatif seperti mengapa anggaran negara habis untuk berperang sementara lapangan kerja domestik dan jaminan sosial masih rendah. Demikian juga persoalan pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup yang masih memprihatinkan.

Tipologi Gerakan

Sebenarnya gerakan untuk menggugat ketidakadilan ekonomi sudah sering dilakukan. Namun, gerakan Occupy Wall Street memiliki beberapa tipologi khas yang membedakannya dengan gerakan lainnya.

Pertama, gerakan ini dilakukan oleh orang AS sendiri sebagai negara kiblat perekonomian dan langsung menusuk pada pusat kekuasaan korporasi. Wall Street selama ini telah menjelma menjadi ikon dominasi korporasi terhadap nasib kehidupan rakyat AS bahkan dunia. Dari kawasan itulah, propaganda globalisasi, pasar bebas, kapitalisme dan liberalisme dikumandangkan ke seluruh penjuru dunia dan dipaksakan untuk diterima.

Kedua, gerakan ini dilakukan tanpa adanya basis ideologi tertentu. Motivasi yang menggerakkan mereka hanyalah kondisi kehidupan riil mereka sehari-hari. Karena itu, gerakan ini dilakukan secara sederhana tanpa ada argumentasi akademik yang kaku. Mereka hanya berkumpul, bernyanyi, berkemah, menginap dan membawa poster-poster seadanya. Tidak ada agitasi yang membakar emosi mereka. Namun, di sinilah letak kelebihan gerakan ini karena mampu memotret secara empirik kehidupan mereka tanpa harus tersandera pada perdebatan 'ilmiah' yang tidak jarang malah mengaburkan substansi gerakan.

Ketiga, gerakan ini dilakukan tanpa adanya durasi waktu yang terbatas, karena memang gerakan ini tidak menempel pada sebuah pertemuan atau event forum perekonomian dunia seperti IMF, World Bank, WTO dan sebagainya. Jadi, gerakan ini bisa dilakukan secara santai dan tidak tergesa-gesa. Karena itulah, gerakan ini menjadi lebih terbuka dan menarik untuk semua kalangan, tidak hanya terbatas pada kalangan aktivis semata.

Demikianlah, meskipun sudah membesar dan menyebar, namun sampai sekarang gerakan itu belum memunculkan seorang figur pemimpin yang menonjol. Tipologi gerakannya pun masih bersifat cair. Akan mengarah ke mana arah gerakan ini?
Kelompok yang sinis dan pesimis menyebut bahwa gerakan ini hanya bersifat lokal yang menjadi alat politik menjelang pemilihan presiden tahun 2012 mendatang.

Sebaliknya, bagi kelompok optimis menginginkan adanya perubahan dasar yang besar dalam hal tata kelola perekonomian dan mengembalikan makna luhur demokrasi. Mereka meyakini bahwa gerakan ini akan menjadi bola salju yang terus menggelinding dan mendunia, seperti revolusi yang sedang terjadi di kawasan Timur Tengah.

Tentu tidak mudah menjawab beragam pertanyaan, sinisme dan pesimisme di atas. Waktu yang akan menguji gerakan ini. Yang jelas, gerakan ini sudah mencuri perhatian dunia secara luas. Bahkan Presiden Barrack Obama pun mulai memberi perhatian dan mengenali tantangan gerakan ini. Ia bersimpati pada kondisi frustasi para pengunjuk rasa itu terhadap kondisi perekonomian AS saat ini. Namun, perlu diingat bahwa rasa frustasi yang terus membesar bisa membuat gerakan cair menjadi gerakan politik massa padat yang luar biasa.