Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 November 2011

Apa Setelah Pengakuan UNESCO?


Apa Setelah Pengakuan UNESCO?

Ignatius Haryanto  PENELITI, DIREKTUR EKSEKUTIF LSPP
Sumber : KOMPAS, 23 November 2011


Patutlah kita bersyukur. Akhirnya Pulau Komodo masuk sebagai bagian dari Tujuh Keajaiban Dunia dewasa ini. Ini bukan kali pertama bangsa dan Pemerintah Indonesia lebih senang berebut pengakuan dari luar ketimbang memperhatikan secara khusus dari dalam atas sejumlah warisan budaya dan keunikan geografis yang ada di Indonesia.

Di luar ribut-ribut soal Pulau Komodo yang jatuh pada komodofikasi, komodifikasi atas komodo, kita mengikuti pemberitaan bagaimana Pemerintah Indonesia ingin mengajukan tiga naskah kuno ke dalam daftar Ingatan Dunia 2011 UNESCO. Ketiga dokumen itu ialah Babad Dipanagara, Nagarakertagama, dan Naskah Drama Mak Yong (Kompas, 15/11/2011).

Sementara itu, situs Muaro Jambi yang terancam hancur karena penambangan juga telah lama diajukan sebagai bagian dari warisan budaya dunia UNESCO (Kompas, 14/11/2011). Tari Saman saat ini pun sedang menanti pengakuan dari UNESCO yang sebentar lagi akan melaksanakan sidang komite antarpemerintah di Bali (Kompas, 31/10/2011).

Dalam kategori ini, Indonesia telah memiliki sejumlah kekayaan yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda: wayang, keris, batik, dan angklung. Menurut pengakuan salah seorang yang ikut terlibat dalam pengurusan administrasi ihwal pengajuan obyek budaya Indonesia ke UNESCO, masih banyak warisan tak benda lain yang juga akan didaftarkan kepada UNESCO.

Sebelumnya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada April 2011 mengajukan delapan obyek pariwisata kepada UNESCO untuk mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dunia. Delapan obyek pariwisata itu adalah Candi Trowulan (Jawa Timur), Candi Muaro (Jambi), Situs Batujaya (Jawa Barat), Candi Muara Takus (Riau), Kawasan Pegunungan Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan), Bangunan Tradisional Nias Selatan, Tana Toraja (Sulawesi Selatan), dan Lanskap Budaya Bali (Kompas, 23/4/2011). Saat ini Indonesia telah memiliki tiga warisan yang telah diakui UNESCO: Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Situs Prasejarah Sangiran.

Apa yang kemudian terjadi ketika UNESCO sudah memberi pernyataan bahwa sejumlah kawasan di atas dan obyek budaya lain diakui sebagai warisan di tingkat internasional?

”Budaya” Tak Merawat Diri

Kompas terbitan 23 April 2011 menurunkan tulisan Muhidin M Dahlan yang mengajukan pernyataan tajam: bangsa ini ”bukan bangsa (bermental) perawat”. Disebutkan dalam tulisan itu kisah tragis koleksi buku milik Soekarno, Hatta, Adam Malik, kekayaan koleksi Perpustakaan Idayu yang didirikan Haji Masagung, yang lebih beredar di pasar toko buku bekas, ditinggalkan dalam kondisi tak terawat, atau habis berkalang tanah di sebuah gudang.

Saya setuju sekali dengan Muhidin tentang bangsa yang tak bermental perawat itu karena dari tulisannya kita mendapat gambaran sangat jelas. Buku yang jadi salah satu cermin peradaban suatu bangsa dan perpustakaan yang menjadi tempat pengumpul pengetahuan serta cerminan pengetahuan yang dihasilkan dari suatu zaman saja diperlakukan dengan demikian tak berharga; bagaimana kita akan menghargai dan mau merawat kebudayaan tradisional atau lanskap suatu wilayah yang lebih banyak dihargai wisatawan luar negeri ketimbang mereka yang datang dari dalam negeri sendiri?

Khusus tentang buku, bisakah kita menemukan sebuah perpustakaan terbaik di negeri ini yang memiliki koleksi informasi yang lengkap, baik koleksi tentang masa lalu maupun pengetahuan lengkap yang berkembang pada masa sekarang? Mohon maaf, menurut saya, tak satu pun perpustakaan di Indonesia yang bisa masuk dalam kategori ini.

Sekarang jika kita bicara warisan budaya dalam rupa candi, arsitektur tradisional, dan benda-benda budaya lain, apakah kita telah memiliki modal menjadi bangsa yang perawat tadi? Saya makin pesimistis melihatnya. Lihat saja Candi Borobudur yang katanya telah diakui sebagai warisan budaya dunia tadi.

Dengan segala maaf, terpaksa saya harus katakan bahwa di luar bangunan candi itu sendiri, apa beda kawasan itu dengan kawasan pasar malam? Rasanya tak ada. Untuk sebuah kawasan yang telah lama diakui sebagai warisan dunia, toh pemerintah entah pusat entah lokal terkesan tak peduli pada kondisi ketidaknyamanan para wisatawan.

Situasi berantakan, kurangnya informasi yang menarik, ketidakprofesionalan pengelolaan kawasan, dan lain-lain adalah kondisi riil yang kita lihat saat-saat ini. Itu baru bicara candi yang kita anggap terbesar di Indonesia. Bagaimana dengan kawasan candi lain yang skalanya lebih kecil? Kita mungkin makin miris melihat kondisinya. Kita bisa masukkan unsur museum dalam deret yang sama.

Buat saya, tak perlu dulu kita buru-buru mendaftar aneka warisan budaya sebagai warisan dunia kepada UNESCO sebelum kita bisa membuktikan bahwa kita bisa merawat aneka warisan budaya tersebut sebagaimana mestinya. Kita tunjukkan kesungguhan kita merawat dahulu. Itu jauh lebih penting ketimbang memegang status sebagai warisan budaya dunia, tetapi malah menipu para wisatawan dan kalangan terpelajar lain datang ke tempat-tempat tersebut.

Saya malah curiga: pengakuan yang dimintakan dari luar negeri ini apakah bukan usaha melepaskan diri dari tanggung jawab Pemerintah Indonesia merawat aneka warisan budaya itu kemudian melemparkan tanggung jawab kepada lembaga internasional seperti UNESCO? Jika ini pola pikirnya, sungguh sesat perbuatan tersebut.

Sejumlah aneka warisan budaya selalu menghadapi masalah: seberapa ia menjadi relevan untuk kondisi sekarang, bagaimana ia membuat kebutuhan akan adanya pelihat baru terus-menerus, bagaimana membuat warisan budaya ikut beradaptasi dalam kondisi yang terus berubah (kita kandangkan saja semua ini dalam istilah kondisi globalisasi, kondisi masyarakat digital), apakah ada orang-orang ahli yang memiliki kesadaran dan kemampuan memadai untuk mengelola aneka warisan itu?

Saya kaget ketika mendengar data bahwa pengelola museum di seluruh Indonesia kurang dari 10 persen yang berpengetahuan memadai atas urusan museum. Yang biasa terjadi adalah mutasi pejabat dari satu sektor ke sektor permuseuman karena yang bersangkutan menjelang pensiun, atau orang yang betul-betul buta ihwal museum (di sejumlah tempat permuseuman dikelola oleh mantan pejabat keuangan) dan kemudian yang dilakukannya pun tidak maksimal (bahkan sejumlah koleksi malah berpindah tangan secara komersial).

Di sinilah kita harus memperbanyak orang yang memiliki keahlian pengelolaan warisan budaya tersebut. Kehadiran ahli perpustakaan untuk mengelola aneka informasi dan karya ekspresi bangsa juga patut disejajarkan dalam semangat ini.

Apa motivasi perlombaan aneka budaya untuk didaftarkan tadi? Untung finansial secara 
langsung dengan mendapat bantuan perawatan warisan budaya tersebut? Bangsa yang bermartabat tak perlu minta bantuan perawatan ke tempat lain.●

Minggu, 21 Agustus 2011

Mengenal Sejarah Samurai Jepang

Hei SALAM BUDAYA!!

Hari ini aku pengen banget bahas tentang apa si Samurai? Gimana sih kerennya Samurai. yaah silahkan dibaca.

kalo menurut Wikipedia Samurai (侍 atau 士?) adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata "samurai" berasal dari kata kerja "samorau" asal bahasa Jepang kuno, berubah menjadi "saburau" yang berarti "melayani", dan akhirnya menjadi "samurai" yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan.
Istilah yang lebih tepat adalah bushi (武士) (harafiah: "orang bersenjata") yang digunakan semasa zaman Edo. Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan bangsawan, dan bukan contohnya, ashigaru atau tentara berjalan kaki. Samurai yang tidak terikat dengan klan atau bekerja untuk majikan (daimyo) disebut ronin (harafiah: "orang ombak"). Samurai yang bertugas di wilayah han disebut hanshi.
Samurai harus sopan dan terpelajar, dan semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat. Dengan reformasi Meiji pada akhir abad ke-19, samurai dihapuskan sebagai kelas berbeda dan digantikan dengan tentara nasional menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, sifat samurai yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat Jepang masa kini, sebagaimana aspek cara hidup mereka yang lain.

yang aku tau tentang cerita dari Junna-san cewe pertukaran mahasiswa asing di FIB UNDIP. Dia cerita kalo penggambaran samurai itu sudah cukup jelas di film The Last Samurai. dah pernah nonton belum? bagus lho! hehe
Pada masa Edo, masyarakat Jepang menerapkan kasta-kasta. Urutan kasta pada masa Edo adalah samurai, petani, tukang, dan pedagang, yang dalam ringkasan berbahasa Jepang dikenal sebagai shi nou kou shou, yaitu shi dari kata bushi (samurai), nou dari kata noumin (petani), kou dari kata kounin atau shokunin dan terakhir shou dari kata shounin (pedagang).Petani menempati urutan kelas dua setelah para samurai, karena pada masa Edo, beras adalah makanan vital yang dengannya para petani menjadi orang kaya dibandingkan kasta lain. Semua kasta tergantung kepada mereka dengan produksi berasnya. Mereka dihargai para daimyo dan samurai karena produksi berasnya.

Di jepang para samurai bisa disebut juga sebagai Pahlawannya. Tapi perlu temen-temen tahu, kalo Bushi di Jepang sekarang sudah ga ada.

Samurai identik banget sama Harakiri. Junna-san temen aku juga ngeri denger kata ini.
Harakiri bagi Para Samurai itu adalah Bunuh diri dengan cara menusuk dada atau perutnya lalu pedanngya di puter, trus pedangnya diarahin kebawah, kanan dan atas lagi, sampe usus keluar dan isi-isinya. hmm ngeri juga ya?
tau ga kenapa orang-orang samurai ini berani gini? Para Samurai itu sangat mengabdi pada budaya dan negaranya, apabila mereka kalah, mereka siap mati. daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati untuk negaranya, daripada hidup diselimuti rasa malu. Pemimin yang gagal dia juga bersedia di penggal kepalanya oleh orang yang dia pilih. Dan orang yang dipilih itu adalah suatu kehormatan, karena dipilih untuk memenggal kepala sang samurai itu.


yaah gitu aja si yang aku tau tetang Samurai! Banyak banget pengalaman yang bisa kita dapet dari Perjalanan Samurai. ni ada foto samurai asli lho!

Rabu, 07 Juli 2010

Keunikan - Keunikan Yang Ditemui di Jepang !

Keunikan - Keunikan Yang Ditemui di Jepang


Keunikan Di Jepang

1. Di Jepang, angka “4″ dan “9″ tidak disukai, sehingga sering tidak ada nomer kamar “4″ dan “9″. “4″ dibaca “shi” yang sama bunyinya dengan yang berarti “mati”, sedang “9″ dibaca “ku”, yang sama bunyinya dengan yang berarti “kurushii / sengsara.

2. Orang Jepang menyukai angka “8″. Harga-harga barang kebanyakan berakhiran “8″. Susu misalnya 198 yen. Tapi karena aturan sekarang ini mengharuskan harga barang yang dicantumkan sudah harus memasukkan pajak, jadi mungkin kebiasaan ini akan hilang. (Pasar = Yaoya = tulisan kanjinya berbunyi happyaku-ya atau toko 800).

3. Kalau musim panas, drama di TV seringkali menampilkan hal-hal yang seram (hantu).

4. Cara baca tulisan Jepang ada dua style : yang sama dengan buku berhuruf Roman alphabet huruf dibaca dari atas ke bawah, dan yang kedua adalah dari kolom paling kanan ke arah kiri. Sehingga bagian depan dan belakang buku berlawanan dengan buku Roman alphabet (halaman muka berada di “bagian belakang”).

5. Tanda tangan di Jepang hampir tidak pernah berlaku untuk keperluan formal, melainkan harus memakai hanko/inkan/ cap. Jenis hanko di Jepang ada beberapa, a.l. jitsu-in, ginko-in, dan mitome-in. Jadi satu orang kadang memiliki beberapa jenis inkan, untuk berbagai keperluan. Jitsu-in adalah inkan yang dipakai untuk keperluan yang sangat penting, seperti beli rumah, beli mobil, untuk jadi guarantor, dsb. jenis ini diregisterkan ke shiyakusho. Ginko-in adalah jenis inkan yang dipakai untuk khusus membuat account di bank. inkan ini diregisterkan ke bank. Mitome-in dipakai untuk keperluan sehari-hari, dan tidak diregisterkan.

6. Kalau kita membubuhkan tanda tangan, kadang akan ditanya orang Jepang: ini bacanya bagaimana ? Kalau di Jepang saat diperlukan tanda tangan (misalnya di paspor, dsb.) umumnya menuliskan nama mereka dalam huruf Kanji, sehingga bisa terbaca dengan jelas. Sedangkan kita biasanya membuat singkatan atau coretan sedemikian hingga tidak bisa ditiru/dibaca oleh orang lain.

7. Acara TV di Jepang didominasi oleh masak memasak.

8. Fotocopy di Jepang self-service, sedangkan di Indonesia di-service.

9. Jika naik taxi di Jepang, pintu dibuka dan ditutup oleh supir. Penumpang dilarang membuka dan menutupnya sendiri.

10. Pernah nggak melihat cara orang Jepang menghitung “satu”, “dua”, “tiga”.... dengan jari tangannya ? Kalau agan-agan perhatiin, ada perbedaan dengan kebiasaan orang Indonesia. Orang Indonesia umumnya mulai dari tangan dikepal dan saat menghitung “satu”, jari kelingking ditegakkan. Menghitung “dua”, jari manis ditegakkan, dst. Kalau orang Jepang, setahu saya, kebalikannya. Mereka selalu mulai dari telapak tangan terbuka, dan cara
menghitungnya kebalikan orang Indonesia. Saat bilang “satu”, maka jarinya akan ditekuk/ditutupkan ke telapak tangan. Kalo nggak percaya, coba deh… jikken dengan teman Jepang anda.

11. Sepeda tidak boleh dipakai boncengan, kecuali yang memboncengkannya berusia lebih dari 16 tahun dan anak yang diboncengkan berusia kurang dari satu tahun dan hanya seorang saja yang diboncengkan. Bila dilanggar, dendanya maksimal 20 ribu yen.

12. Kalo naik eskalator di Tokyo, kita harus berdiri di sebelah kiri, karena sebelah kanan adalah untuk orang yang terburu-buru. Jangan sekali-kali berdiri di kanan kalo kita ga langsung naik.

13. Pacaran di Jepang sungguh hemat, traktir2an bukan budaya pacaran Jepang. Jadi selama belum jadi suami-istri, siapin duit buat bayar sendiri-sendiri.

14. Nganter jemput pacar juga bukan budaya orang Jepang. Kalo mau ketemuan, ya ketemuan di stasiun.

15. Jangan pernah sekali-kali bilang ke orang jepang : “Gue maen ke rumah lu ya”. Karena itu dianggap ga sopan. Ke rumahnya cuma kalo udah diijinin.

16. “Aishiteru” yang berarti aku cinta kamu, jarang dipake sama orang pacaran, kecuali kalo mereka bener-bener udah mau nikah. Biasanya mereka make “Daisuke desu” buat ngungkapin kalo mereka sayang sama pacarnya.

17. Sebelum bepergian, biasanya orang Jepang selalu ngecek ramalan cuaca. Dan 90% ramalan cuaca itu akurat. Itu sebabnya kalo ada orang bawa payung, pasti kita bakal liat orang yang lainnya lagi bawa payung juga. Dan perempatan Shibuya adalah tempat yang paling menarik ketika hujan, karena dari atas kita akan melihat lautan payung yang berwarna-warni.

18. Bunga sakura adalah bunga yang spesial di Jepang, karena bunganya hanya tumbuh 2 minggu selama setahun. Ketika tumbuh, bunganya memenuhi seluruh pohon, tanpa daun. Setelah 2 minggu, ga ada satupun bunga sakura, yang ada hanyalah daun-daun hijau, tanpa bunga, dan jadi ga menarik lagi.

19. Di Indonesia, kita bakal dapet duit kalo kita ngejual barang bekas kita ke toko jual-beli. Tapi di Jepang, kita malah harus bayar kalo mau naro barang kita di toko jual-beli. Itulah sebabnya kenapa orang Jepang lebih milih ninggalin TV bekas mereka gitu aja kalo mo pindah apartemen.

20. Di perempatan jalan Kyoto, perempatan jalan yang kecil, ga ada mobil sama sekali, tapi ada lampu merah, pejalan kaki selalu berhenti ketika lampu tanda pejalan kaki menunjukkan warna merah. Mereka santai aja, baca koran, ngobrol, ngerokok, dan kemudian jalan lagi ketika lampu sudah hijau. Padahal ga ada mobil yang lewat satupun. Mungkin kalo mereka ngelanggar peraturan juga ga akan celaka.

21. Mereka ga percaya Tuhan (mayoritas atheis), tapi mereka bisa disiplin dan taat sama peraturan. Mungkin karena itu negara mereka maju. Entahlah