Jangan Samakan Tembakau dengan Narkotika
Mangku Sitepoe, ANGGOTA PERSATUAN DOKTER HEWAN INDONESIA DAN IKATAN DOKTER INDONESIA
Sumber : SINAR HARAPAN, 29 November 2011
Pembaca yang budiman tentu ingat bahwa pada 1 November lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan atas perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 mengenai judicial review UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya terkait Pasal 113 Ayat 2 yang menyebutkan tembakau adalah zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan.
Pihak yang mengajukan uji materi terhadap UUD 1945 adalah para petani tembakau di Temanggung.
Dalam pertimbangan di amar putusan kasus itu, MK menyebutkan dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan dasar pengaturan terhadap tembakau dalam UU No 36 Tahun 2009 akan menimbulkan konsekuensi besar, yakni punahnya tembakau dari bumi Indonesia.
Dalam hal ini penulis sama sekali bukanlah pendukung tembakau atau menyuarakan kepentingan industri rokok, namun sangatlah keliru memasukkan tembakau sebagai zat adiktif sama seperti narkota atau napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) sesuai dengan UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Harap diingat dalam Pasal 12 Ayat 1 dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan, “dilarang diproduksi melalui budi daya maupun ditanam bagi tanaman yang mengandung narkotika”. Ayat 2 menyebutkan tembakau adalah zat adiktif. Karena itu, bila mengacu pada pasal itu berarti menanam tembakau di Indonesia dapat dianggap sama dengan menanam narkotika yang terlarang itu.
Sejumlah Kontroversi
Dalam pemahaman penulis, tembakau adalah tanaman, bukan zat kimia. Selain dalam tembakau, nikotin dapat dijumpai juga pada berbagai tanaman familinya, Solanaceae, misalnya tomat dan kentang. Selain itu, tembakau juga dipergunakan sebagai anti-insektisida, misalnya disusur dan dihisap asapnya atau merokok.
Tembakau juga tidak berbahaya bagi tubuh. Jutaan masyarakat di Jawa, Bali, Aceh, Nusa Tenggara Barat, maupun Nusa Tenggara Timur menyusur/nyuntil tembakau, dan itu tidak mengakibatkan kematian. Nikotin hanya akan mengganggu kesehatan bila dibakar tembakaunya dan diisap alias merokok. Jadi, tembakau adalah tanaman bukan zat adiktif.
Karena itu, jelaslah sudah bahwa nikotin adalah zat adiktif, sedangkan tembakau adalah tanaman. Dalam ilmu farmakologi, zat adiktif didefinisikan sebagai bahan kimia adiktif (bukan tanaman) yang bila dikonsumsi akan menyebabkan ketagihan dan ketergantungan, seperti alkohol, nikotin, mariyuana, dan morfin.
Menurut Goodman and Gillman (1965), zat adiktif dibedakan menjadi legal adiktif, misalnya nikotin dan alkohol, dan ilegal adiktif yang disebut juga narkotika, misalnya mariyuana dan morfin.
Di Indonesia, sesuai UU No 5 Tahun 1997 tentang UU Psikotropika, zat adiktif legal maupun ilegal dikategorikan sebagai napza. Dengan demikian, kalau Pasal 113 Ayat 2 UU No 36 Tahun 2009 tembakau dimasukkan sebagai zat adiktif, dia dikategorikan sebagai narkotika.
Padahal, walau terdapat 4.300 jenis zat berbahaya bagi kesehatan dalam asap rokok, zat-zat berbahaya seperti CO, CO2, NO, dan tar tidak dijumpai dalam tembakau. Nikotin hanya ada di dalam asap rokok dan menjadi biang kerok ketagihan.
Supaya bisa ketagihan merokok diperlukan mengonsumsi nikotin 4-6 mg per hari (Benoitz NL, 1998) atau tiga batang rokok filter 4,5 mg per hari. Menurut NIDA (1998), ada zat kimia lainnya dalam asap rokok (tidak di tembakau) seperti MAO yang bersifat sinergisme dengan nikotin sehingga perokok pemula ketagihan. Jadi, nikotin bukan memonopoli seseorang menjadi ketagihan merokok.
Beda Cara Hitung
Selain itu harus diketahui cara menghitung kadar nikotin dalam tembakau secara kimiawi, berbeda dengan cara menghitung kadar nikotin dalam asap rokok yang menggunakan smoking machine, sehingga tidak ada kaitan antara tinggi rendahnya kadar nikotin dalam tembakau dengan kadar nikotin dan tar dalam asap rokok yang dihisap.
Misalnya kadar nikotin dalam tembakau dalam sebuah rokok filter 8,77 mg per batang dan kadar nikotin dalam asap rokok 1,5 mg per batang. Rokok kretek kadar nikotin dalam tembakau 6,31 mg per batang tetapi dalam asap rokok 2,46 mg per batang. (Sumber: Jarum Kudus 1992).
Meski demikian, harus diketahui tinggi rendahnya kadar nikotin dalam tembakau tidak berkolerasi dengan tinggi rendahnya kadar nikotin dalam asap rokok yang dihisap.
Penelitian menghasilkan bibit tembakau rendah nikotin tidak bermanfaat untuk mencegah bahaya merokok. Dengan begitu bahaya merokok bagi kesehatan ditentukan kadar nikotin dalam hisapan asap rokok, bukan kadar nikotin dalam sebatang rokok yang dihisap.
Saya sebagai dokter telah mengarang buku tentang bahaya merokok, mulai dari rambut di kepala sampai di kuku ujung kaki, yang dapat mengakibatkan kematian. Jadi, yang berbahaya adalah asap rokok yang dihisap melalui alat pernapasan, bukan mengonsumsi tembakau, sedangkan tembakaunya tidak berbahaya bagi kesehatan.
Karena itu, kontroversi soal pasal tembakau itu janganlah akhirnya menjadikan tembakau dijadikan sebagai tanaman terlarang di Indonesia seperti narkotika, karena pengertiannya sebagai zat adiktif.
Namun yang terjadi, amar putusan MK berdasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan pengaturan terhadap tembakau. Dengan demikian para petani Temanggung atau pun para petani tembakau di seluruh Indonesia, maupun PTP II Sumatera Utara, penghasil tembakau Deli yang tidak ada duanya di dunia itu, dilarang menanam tembakau di Indonesia.
Asal Tiru Saja
Berbagai hal yang janggal dalam amar putusan MK itu sekali lagi memperlihatkan ketidakpahaman soal perhitungan nikotin dan tar dalam tembaku dan asap tembakau. Berdasarkan aturan WHO 1996, untuk mengetahui derajat bahaya kesehatan sebatang rokok harus mencantumkan bahan berbahaya, di antaranya nikotin dan tar.
Aturan WHO itu langsung diduplikasi di Indonesia tanpa mengadopsi situasi dan kondisi di Indonesia dengan menetapkan batas kadar nikotin dan tar dalam rokok yang boleh beredar: nikotin 1,5 mg per batang dan tar 20 mg per batang.
Rokok putih dari luar negeri: nikotin 1,5 mg per batang dan tar 16, mg per batang, sehingga rokok luar negeri diizinkan beredar di Indonesia. Sementara itu, salah satu rokok kretek asli Indonesia kadar nikotin 2,78 mg per batang dan tar 35,8 mg per batang tidak diizinkan beredar di Indonesia. Banjirlah rokok luar negeri masuk ke Indonesia dan rokok kretek tidak boleh diperdagangkan.
Demikian halnya Pasal 113 Ayat 2, tembakau sebagai zat adiktif diduplikat langsung dari FCTC (frame work convention on tobacco control) dari WHO, 2003, bahwa tembakau adalah zat adiktif.
Di luar negeri ada pembatas antara zat adiktif dengan narkotika tetapi di Indonesia tidak membedakan antara ilegal adiktif maupun legal adiktif, sehingga semua zat adiktif dikategorikan sebagai narkotika.
Jadilah tembakau ditetapkan sebagai zat adiktif sesuai Pasal 113 Ayat 2, dan menjerumuskan tembakau sebagai narkotika sesuai UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar