Rabu, 23 November 2011

Konglomerasi dan Kompromi Media


Konglomerasi dan Kompromi Media

Veven Sp.Wardhana,PENGHAYAT BUDAYA MASSA
Sumber : KORAN TEMPO, 24 November 2011



Manakah yang lebih berbahaya, korporasi antarmedia dengan kemungkinan kompromi lintas-sektor antarinstitusi media massa atau dengan institusi lain nonmedia? Selama ini sudah cukup dipersoalkan perihal bergabungnya dua media massa, terutama televisi, ke dalam satu panji holding company. Yang terakhir adalah berkorporasinya Surya Citra Televisi (SCTV) dengan Indosiar, setelah sebelumnya tergabung pula Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan Global TV dengan Media Nusantara Citra (MNC) TV, yang sebelumnya bernama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), selain TransTV bersama TV7 yang kemudian bergantinama menjadi Trans7.

Selebihnya, Antv juga menyatu dengan Lativi, yang bermimikri menjadi TV One. Dengan demikian, jika misalnya ada 10 nama stasiun televisi, tak berarti sepuluh-sepuluhnya itu yang bersaing memperebutkan perhatian pemirsa, yang muaranya
adalah perebutan penghitungan peringkatdan penanggukan biaya pemasangan iklan,
yang dijadikan titik utama perburuan penyiaran. Jabarannya, TV One tak hanya berkurang satu pesaing bernama Antv, tapi juga tak lagi berhadapan dengan trio
RCTI-MNC TV-Global TV karena ketiganyabisa dibilang sudah menjadi satu sebagaimanamenghadapi duo TransTV-Trans7 sebagaisatu nada satu irama dalam korporasiPT Trans Corporation.

Memang akhirnya terkesan terjadi monopoli penyiaran atau kepemilikan alokasi frekuensi kepada lembaga yang itu-itu belaka. Namun, setidaknya bagi saya, terjadinya
pelbagai korporasi itu justru melahirkan minimalnya dua hal. Pertama, “mempermudah”
pemirsa untuk menentukan sikap dalam memilih menu tayangan sekaligus memilih stasiun televisi tertentu. Jika mau mencari tayangan komedi-dagelanslapstik, sekadar misal, pemirsa bisa langsung menuju TransTV dan/atau Trans7; sebagaimana pemirsa juga langsung pula memilih saluran SCTV dan/atau Indosiar jika—sekali lagi: sekadar misal—doyan sinema televisi, baik yang berpola sinetron serial berpanjang-panjang maupun sinetronlepas laiknya FTV alias film di televisi.

Hal kedua, korporasi sesama media televisi menjadikan pola penyiaran kian terkerucut
laiknya siaran televisi di Amerika Serikat yang siaran nasionalnya hanya diisi oleh tiga stasiun televisi, yakni American Broadcasting Company (ABC), National Broadcasting Company (NBC), dan Columbia Broadcasting System (CBS)—ditambah jaringan Fox.

Yang sesungguhnya perlu lebih dicermati adalah jika terjadi “korporasi”atau yang semacamnya (lebih tepatnya mungkin: konglomerasi) para pengusaha media televisi
dengan institusi bisnis dan/atau partai politik. Bergabungnya Hary Tanoesoedibjo ke
Partai NasDem memang bukan fenomena baru, namun langkahnya memperlengkap
adanya kepemilikan media sekaligus kepemilikan institusi lain yang nonmedia—yang
dalam banyak hal masing-masing sama-sama memiliki kekuatan.

Dalam beberapa hal, langkah Hary Tanoe ini memperkomplet langkah-langkah yang sebelumnya lebih konkret ditempuh Surya Paloh, sang “pemilik”Partai NasDem alias Nasional Demokrat itu—dan karenanya saya katakan lebih konkret. Bersejajar dengan kepemilikan lintas sektor ini adalah yang dilakukan Aburizal Bakrie, pengampu TV One dan ANTV yang sekaligus Ketua Umum Partai Golkar.

Jangan kata kepemilikan lintas sektor macam ini, kepemilikan silang sesama media —televisi dan media cetak, misalnya—pun terindikasi adanya kemungkinan bias.Ketika tabloid Nova, salah satu suku usaha Kelompok Kompas-Gramedia, bekerja sama dengan sebuah stasiun televisi, tabloid bersangkutan tak bakal melakukan kritik terhadap mata tayangan televisi yang menjalin kerja sama. Bersejajar dengan harian
Kompas, yang relatif paham bahwa KompasTV, yang mendaku sebagai content provider atau penyedia program tayangan, pastilah bakal semata mempertebal posisi
KompasTV sebagai content provider itu sekalipun laku operasional KompasTV lebih
mendekati sebagai lembaga penyiaran—dan hal terakhir ini yang sama sekali tak disinggung harian Kompas, mengingat lembaga regulator Kementerian Komunikasi
dan Informatika serta rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) belum meluluskan izin frekuensi untuk KompasTV.

Sama dan sebangun dengan Media Indonesia, surat kabar ini dengan gamblang
mengalokasikan sebagian halamannya menjadi semacam katalogus mata acara MetroTV, sehingga langka kemungkinan media cetak ini bersikap kritis terhadap media televisi yang berada dalam satu payung kepemilikan ini.

Jika analogi ketidakkritisan lintas media dalam satu payung ini direpresentasikan ke lingkup kepemilikan lintas sektor, yang besar kemungkinan terjadi bukan saja sikap kritis yang tidak muncul, bahkanmedia televisi bakal dijadikan corong untuk menghumaskan partai politik. Laku ala TVRI, yang memberi ruang sangat longgar dan panjang kepada Menteri Harmoko pada era Orde Baru, ditambah tayangan Laporan Khusus di TVRI sesudah jam-jam Dunia dalam Berita, yang hanya boleh diisi oleh pseudo-dialog dengan Presiden Soeharto, gelagatnya sudah dilakukan MetroTV yang memberi tempat sedemikian terhormat kepada orasi Surya Paloh dalam kunjungannya sebagai petinggi tertinggi Partai NasDem ke pelbagai daerah, itu pun masih ditambah kutipan pernyataanyang tersampaikan dalam tayangan ala laporan jurnalistik. Bisa dipastikan, kian mendekati ajang perpolitikan tahun 2014 itu tak sebatas MetroTV yang memberi ruang lapang kepada Surya Paloh dan Partai NasDem, tapi juga kelompok usaha media PT Media Nusantara Citra, yang membawahkan RCTI, MNC TV, SindoTV, surat kabar Seputar Indonesia, juga jaringan SindoRadio yang tersebar di 18 kota di Indonesia.

Menghumasi partai politik melalui media massa sesungguhnya hanya salah satu dari konsekuensi kepemilikan lintas sektor itu, yang merupakan kelanjutan dari penghumasan atas bisnis institusi niaga nonmedia para pemilik media. Saya kira, bakal
susah kita temukan pemberitaan perihal sisi-sisi negatif lubernya lumpur panas yang membentuk kuala baru di Sidoarjo, Jawa Timur, mengingat peluberan itu dimusababkan
—langsung atau tak langsung —oleh PT Lapindo, yang dimiliki pemilik TV One dan kawan-kawan. Dalam perspektif lain, jika kemudian stasiun televisi atau media massa lainnya cenderung getol memberitakan kenegatifan seputar PT Lapindo, masih perlu dipertanyakan: itu murni sebagai laporan jurnalistik yang memang mensakralkan fakta dan data ataukah itu dilakukan oleh lawan politik dan/atau lawan bisnis nonmedia yang dikumandangkan melalui kemasan media massa?

Saya tak tahu apakah kepemilikan lintas sektor ini menjadi dilema bagi media bersangkutan, setidaknya bagi pekerjanya. Jika pilihan sikap media yang menjadi corong tak memunculkan konflik batin dalam diri para pekerjanya, itu menjadi hak yang bersangkutan, selain hal itu mempertegas kredibilitas media bersangkutan bagi benak khalayaknya. Atau jika para pekerjanya bersikap “profesional” dengan terjemahan “berberita boleh menjadi humas, toh rahasia di balik ruang coblosan tetap urusan individu”, tetap saja yang tampak di hadapan khalayak atau publik adalah peran dan pemeranan humas itu. Setidaknya pada masa-masa belakangan ini saya tak menemukan sikap sebagaimana pernah dilakukan para jurnalis Seputar Indonesia
yang pada bulan-bulan sesudah Juli-Agustus 1999, pasca-pemilihan umum 1999, terhadap Pemimpin Redaksi RCTI Chrys Kelana, yakni memprotes output atau keluaran dalam pemberitaan yang berbeda dibanding outcome (hasil) peliputan yang mereka dapatkan di lapangan. Titik pijak protes itu adalah hasil pemantauan yang
saya lakukan bersama kawan-kawan di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) bersama
Article XIX.

Protes para pekerja di Departemen Pemberitaan RCTI ini bisa dikatakan sebagai langkah lanjut atau jalan keluar atau pilihan akibat munculnya dilema itu. Kini, setidaknya subyektif pemahaman saya, belum termunculkan indikasi adanya dilema
itu.Yang sesungguhnya dihadapkan pada dilema adalah publik atau khalayak konsumen media. Pasalnya, tak semua pemirsa tahu benar sisik-melik dan anatomi lembaga bisnis dan partai politik apa saja yang satu afiliasi dengan media massa komplet dengan deretan tayangan-tayangannya.

Jika khalayak terpahamkan anatomi dan sisik-melik kepemilikan lintas sektor itu, ada dua hal dapat dilakukan. Pertama, matikan atau pindahkan saluran televisi jika layar memampangkan sosok-sosok para petinggi itu. Hal kedua, tak perlu mematikan saluran siaran, namun baca secara terbalik segenap hal yang dinyatakan dalam pemberitaan atau yang sejenisnya. Jika diwartakan terjadi kisah sukses, maka nilailah secara sebaliknya: yang diberitakan adalah perihal kegagalan.

Setidaknya, macam itulah yang pernah dilakukan semasa TVRI bersinergi dengan penguasa—komplet dengan berderet anasirnya: Golkar, tentara aparat penguasa (bukan aparat rakyat), birokrat, dan seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar