Jumat, 25 November 2011

The “Soccer Tribe”


The “Soccer Tribe”

Budiarto Shambazy, WARTAWAN SENIOR KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 26 November 2011



Ikut berduka atas tewasnya dua korban di pintu masuk Stadion Utama Gelora Bung Karno saat final Garuda Muda versus Harimau Muda. Terakhir kali nyawa melayang di GBK pada pertandingan Persib melawan Persebaya di putaran final kompetisi PSSI, Agustus 1966.
Masih segar dalam ingatan, sekitar 100.000 penonton tunggang langgang setelah aparat keamanan menembak ke udara untuk melerai perkelahian massal antarpemain. Sebagian berlindung di bawah bangku, sebagian lagi mencoba ke luar.

Seorang penonton tewas terkena peluru nyasar dan ratusan lagi luka atau pingsan terinjak massa. Presiden Soekarno turun tangan memerintahkan pertandingan yang terhenti 
dilanjutkan beberapa hari kemudian, dan semua berjalan lancar.

Bersyukur juga tragedi kematian di stadion merupakan kejadian yang amat langka di negeri ”penggila bola” ini. Di lain pihak, jajaran penyelenggara sebaiknya semakin mawas diri mengantisipasi.

Jika dihitung kasar, mungkin GBK terisi padat sekitar 120.000 penonton saat final SEA Games. Tak ada penonton meluber sampai ke trek atletik, kondisi yang membahayakan, seperti yang terakhir kali terjadi di final kompetisi perserikatan antara PSMS dan Persib medio 1980-an.

Jika ditambah penonton yang ada di luar GBK, final SEA Games menjadi salah satu penumpukan massa terbesar yang bisa jadi melibatkan sekurang-kurangnya seperempat juta orang. Final sepak bola SEA Games 1979 antara Indonesia dan Malaysia serta SEA Games 1997 antara Indonesia dan Thailand tak seramai final 2011. Apa lacur, timnas kita takluk di ketiga final bergengsi itu. Tahun 1979 kita kalah 0-1 dari Malaysia dan tahun 1997 ditaklukkan Thailand lewat adu penalti.

Kemenangan final 2011 akan bermakna bagi kita karena kita perlu kebangkitan baru, seperti kata slogan SEA Games, ”United and Rising”. Garuda Muda impresif sejak penyisihan grup sampai semifinal, terutama Titus Bonai-Patrich Wanggai.

Antusiasme penonton dahsyat, gejala yang mulai tampak sejak Piala Asia 2007 dan makin 
dahsyat saat Piala AFF 2009. Sepak bola tak lagi tontonan kelas bawah karena kembali digemari berbagai lapisan masyarakat seperti era 1970-an.

Inilah bukti sepak bola adalah industri besar yang menguntungkan jika dikelola secara profesional. Penonton datang ke stadion ingin menyaksikan pertandingan yang skornya tidak diatur wasit atau bandar judi dan pemainnya tidak disuap.

Pendek kata, penonton ingin jantungnya berdebar, berteriak sekeras-kerasnya, dan menghiasi diri dengan berbagai atribut tim nasional. Garuda di Dadaku, itu slogan yang kini populer.
Akan tetapi, kenapa, kok, kita gagal terus di ajang final SEA Games? Di final 1979 kita ditundukkan Malaysia, 0-1, karena prestasi mereka lebih baik.

Malaysia yang dimotori pemain-pemain andal seperti kiper R Arumugam (kini almarhum), dua bek tengah Soh Chin Aun-Santokh Singh, serta striker Mokhtar Dahari lolos ke Olimpiade 1972 dan 1980 serta merebut perunggu Asian Games 1974.

Kita dua kali kalah sial lewat adu penalti tahun 1997 serta 2011 dan, jangan lupa, juga di final perebutan tiket ke Olimpiade 1976 melawan Korea Utara. Mau tak mau kita terjerembab pada mitos akan selalu kalah di final apa pun di GBK.

Padahal, harus diakui jujur, Harimau Muda relatif memang lebih baik. Namun, jangan salah, Garuda Muda bukannya buruk.

Tak ada rahasia: pembinaan berjenjang dan serius Harimau Muda menjadi kunci sukses. Mesti diakui jujur itulah kekurangan kita: pembinaan berjenjang masih tetap karut-marut.
Ini akibat proses peralihan kepemimpinan dari pengurus lama ke pengurus baru masih kurang transparan. Misalnya, seperti diberitakan kemarin di harian ini, pengurus lama ternyata meninggalkan utang hampir Rp 40 miliar!

Di lain pihak, selain diwarisi sejumlah masalah pelik oleh pengurus lama, pengurus baru yang masih seumur jagung dihadang sejumlah masalah baru. Kepemimpinan kurang tegas, kompetisi kembali dilanda dualisme, kepengurusan overstaffed, Exco terpecah belah, dan lain sebagainya.

Adakah kesadaran dari rezim lama ataupun rezim baru bahwa mereka bukanlah pemangku utama sepak bola kita? Dua pemangku utama adalah para pemain dan kita para penggila bola.

Kita kembali kadung menjadi the soccer tribe. Itulah ”suku tribal” yang mencintai timnas karena berbagai alasan ideologis, kultural, sosial, politis, maupun personal.

Seperempat juta orang malam itu mengelu-elukan Garuda Muda karena rindu kepada nasionalisme walau masih berwatak flag-waving (kibaran bendera). Nyaris tak ada lagi elemen-elemen nasionalisme yang disajikan penguasa.

Kita datang ke GBK karena sumpek dengan kondisi bernegara yang dikelola pemerintah yang abai. Kita putus asa makin malas memaki pejabat-pejabat yang korupsi, lebih suka melampiaskan kekesalan dengan menonton bola.

Kita mau menjadi pencinta Tibo atau Wanggai atau Okto Maniani karena paham kekayaan Papua dijarah habis-habisan oleh Freeport. Biarlah kita mengultusindividukan mereka ketimbang dipaksa-paksa cinta pemimpin feodalistis.

Dan, kita di GBK berjumpa dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air tanpa perlu memakai topeng. Kita saling sapa, saling teriak, saling bantu, saling tawa, saling salam, dan saling peluk.

Tiba-tiba malam itu kembali ada Indonesia di GBK maupun di depan jutaan layar televisi di Nusantara. Ada harapan sekalipun kalah sial, bangsa besar yang digembalakan para pemimpin yang, sayangnya, ternyata banyak yang berjiwa kerdil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar