Bangsa Minus Solidaritas
LAPORAN HASIL DISKUSI KOMPAS MEMPERINGATI SUMPAH PEMUDA
Sumber : KOMPAS, 29 November 2011
Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, Desk Opini Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada 28 November 2011 menyelenggarakan diskusi panel seri III bertema "Reimajinasi Keindonesiaan Kita: Kebhinekaan dan Ketahanan Nasional”. Diskusi menampilkan pembicara utama F Budi Hardiman dengan pembahas Francisia SSE Seda dan Ahmad Erani Yustika, dipandu oleh Donny Gahral Adian. Hasil diskusi dirangkum oleh wartawan ”Kompas” Irwan Julianto serta Donny Gahral Adian dan Chris Panggabean dari LMI, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.
***
Bangsa tidak lahir dari kekosongan. Dia lahir dari kebulatan tekad yang dibimbing oleh semacam utopia tertentu. Utopia mula-mula yang menggiring pembentukan ”Indonesia” adalah kemerdekaan dari kolonialisme. Kolonialisme yang mengisap segenap kekuatan sosial dan ekonomi harus dituntaskan sebab tanpa itu, sebuah bangsa tak pernah berdikari, kecuali sebagai kaki tangan asing berkedok persemakmuran. Soekarno menyebut bangsa sedemikian sebagai bangsa tanpa konsepsi, tanpa ideologi.
Utopia kolonialisme memang sudah dituntaskan dengan revolusi kemerdekaan. Namun, bangsa sebagai entitas politik belum juga menjadi. Politik mengandaikan koeksistensi. Itu sebabnya, bangsa adalah imajinasi yang perlu dirawat dengan saksama. Maka, sebentuk utopia baru harus dijadikan patokan pembangunan bangsa pasca-kemerdekaan. Utopia itu bernama solidaritas.
Kebangkitan Kebangsaan
Sebagai gagasan, ”Indonesia” tumbuh perlahan-lahan dan sarat kesukaran. Kata ”Indonesia” sendiri kali pertama dikemu- kakan dalam bentuk ”Indu-nesians” oleh pelancong sekaligus pengamat sosial asal Inggris, Georg Samuel Windsor Earl. Earl merumuskan ”Indu-nesians” sebagai kata etnografis untuk menggambarkan cabang ras Polinesia yang menghuni Kepulauan Hindia atau ”Ras-ras berwarna coklat di Kepulauan Hindia”.
Kolega Earl bernama James Logan kemudian mengoreksi Earl dengan menggunakan kata ”Indonesia” sebagai kata geografis, bukan etnografis. Dengan membedakan penggunaan ”Indonesia” secara etnografis dan geografis, Logan menjadi orang pertama yang menggunakan kata ”Indonesia” untuk menjabarkan, walau secara longgar, kawasan geografis Kepulauan Indonesia, apa pun suku atau ras yang menghuninya.
Persoalannya, bagaimana gagasan yang tadinya bersifat geografis berubah menjadi politis. Di akhir dasawarsa abad ke-20 Komite Reformasi, sebuah komite bentukan Pemerintah Hindia-Belanda, mengakui bahwa ”ada hubungan ekonomi, sosial, dan politik antara segala bagian Hindia”.
Namun, gagasan itu belum menemukan bentuk kultural-politis sebab kaum pribumi masih dipandang sebagian orang Belanda sebagai ”tidak tahu apa-apa soal nasionalisme, paling-paling rasa bermasyarakat yang batasnya tidak lebih jauh ketimbang batas desa atau kampung mereka”. Otonomi yang dapat diberikan paling banter hanya pemerintahan otonom di bawah kendali politik Belanda, semacam negara bagian.
Seorang tokoh Sarikat Islam, Tjokroaminoto, pun mengadakan Kongres Nasional Hindia. Kongres nasional tersebut mengikuti model India untuk menyatukan berbagai organisasi pribumi demi kemerdekaan dan kebebasan nasional. Tjokroaminoto pun berpidato dalam kongres tersebut, ”Janganlah kita membeda-bedakan antar-ras dan suku, orang Sumatera, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi dan Borneo, semuanya orang Hindia.”
Kongres ini, sayangnya, hanya memperoleh sedikit dukungan dan segera lenyap kembali. Namun, kesadaran sebagai satu bangsa yang bercita-cita merdeka sudah tertanam di sanubari intelektual pribumi.
Sebelum Kongres Sarikat Islam tanggal 2 Maret 1926, Semaun dan Agus Salim menyusun program nasional berbasis prinsip-prinsip Islam dan komunis. Program yang mereka presentasikan dalam Kongres Sarikat Islam pada tanggal 2 Maret tersebut antara lain sebagai berikut.
Pertama, kekuasaan negara harus di tangan rakyat dengan hak untuk menunjuk dan memberhentikan pejabat berdasarkan kepentingan umum. Kedua, sebuah dewan harus dibentuk dan terdiri atas pemimpin-pemimpin serikat buruh yang mengarahkan berbagai tugas yang akan dilaksanakan manajemen perusahaan.
Ketiga, produksi dan pencarian nafkah harus dilakukan orang per orang dengan sepenuh hati dan kekuatannya, tetapi upaya itu tidak boleh merampas hasil kerja sesamanya sehingga kekayaan dan properti yang digunakan untuk produksi harus dikembalikan ke pemilikan bersama oleh rakyat.
Keempat, Islam melarang keras penumpukan kekayaan di tangan satu orang atau kelompok dan menuntut agar kekayaan dipakai untuk kepentingan umum dan memajukan kesetaraan manusia. Untuk itu, dirasakan perlu untuk membentuk dewan perwakilan rakyat untuk memutuskan distribusi produk-produk dan profit
Solidaritas
Utopia yang menuntun Tjokroaminoto, Semaun, dan Haji Agus Salim adalah solidaritas. Bangsa imajiner hanya dapat dirawat apabila tidak ada satu warga pun yang tercecer secara politis, sosial, dan ekonomi. Rakyat Papua tidak dapat membayangkan ”Indonesia”, tetapi mereka mampu merasakan betapa kolaborasi pemerintah pusat-daerah dan pemodal asing menyengsarakan mereka.
Sosiolog Ery Seda menegaskan betapa petani di Flores Barat tidak lagi membayangkan diri mereka sebagai anggota dari ”Indonesia”, tetapi anggota komunitas lokal Manggarai yang sedang bertempur melawan globalisasi satu arah bernama investasi. Apabila ”Indonesia” akhirnya diam seribu bahasa dalam pertikaian lokal-global tersebut, maka bayangan ”Indonesia” pun kekal sebagai bayangan yang jauh, muram, dan memusuhi.
Filsuf Franky Budi Hardiman pun secara terang benderang menuduh Indonesia sedang mengalami krisis solidaritas. Pertama, kontrol publik yang lemah terhadap birokrasi dan pasar. Itu menyebabkan demokrasi yang seharusnya merehabilitasi solidaritas justru menjadi arena produksi dan distribusi risiko.
Desentralisasi adalah salah satu contoh hitam. Berbagai perizinan yang secara membabi buta diberikan pemerintah daerah terhadap kontraktor pertambangan hanya difokuskan pada peningkatan pendapatan asli daerah. Namun, aljabar yang diabaikan pemerintah tersebut adalah risiko ekologis dan kultural terhadap masyarakat asli yang berlogika ulayat, bukan kepemilikan pribadi.
Kedua, khasiat ”Indonesia” sebagai metafora solidaritas memudar. Pudarnya ”Indonesia” membuat kebutuhan terhadap heroisme dan pengorbanan kehilangan sarangnya. Akibatnya, dia menjadi liar dan eksesif sehingga mematerialisasi diri ke dalam aksi teror terhadap minoritas.
Ketika ”Indonesia” gagal menjadikan dirinya sebagai kanal-kanal heroisme, maka fundamentalisme agama pun menjadi alternatif yang menarik. Sesama anak bangsa pun akhirnya menjadikan satu sama lain sebagai serigala, bukan semut atau lebah.
Ketiga, ekspansi pasar kapitalis dalam globalisasi yang membuat uang menjadi kode baru bagi interaksi sosial. Loyalitas kebangsaan pun menjadi relatif. Uang mempersekutukan kepentingan dan jijik terhadap karakter dan identitas. Setiap pemilu kita tidak memilih seorang negarawan berkarakter, tetapi dia yang dikawal sederet bendahara umum.
Pembuatan undang-undang bukan lagi ditujukan demi kesejahteraan umum, melainkan kantong pribadi para legislator. Demokrasi pun tidak melahirkan orang- orang berkarakter, melainkan lembaga- lembaga survei yang mampu memoles citra.
Politik bukan lagi tindakan tertinggi untuk mengubah koordinat ketidakmungkinan, melainkan mencari kemungkinan- kemungkinan lumbung pendapatan baru.
Keluh kesah Franky dan Ery adalah keluh kesah kita semua. Bangsa yang belum genap satu abad umurnya ini masih berupa bayangan nan sumir bagi sebagian besar rakyatnya. Rakyat sama dengan bangsa adalah sesuatu yang abstrak.
Bagaimana rakyat yang abstrak dapat merasa sebagai anggota abstraksi lain? Ini seperti mengatakan kemiskinan adalah anggota penderitaan. Pancasila ditawarkan Franky sebagai salah satu alternatif jawaban. Pancasila adalah rumah bersama bagi kebinekaan kita. Saat orang menilai kita akan lenyap dari peta peradaban di tahun 1998, kebinekaan menjadi bendungan yang menahan kehancuran.
Namun, kebinekaan menurut Franky membutuhkan kepemimpinan demokratis yang memiliki kredibilitas publik. Kita membutuhkan pemimpin yang membuat hukum untuk melindungi warga bangsa yang paling dirugikan oleh globalisasi pasar. Itulah pemimpin yang mampu menggerakkan deliberasi publik dalam setiap kebijakan.
Ery dan Franky satu napas dalam menuduh globalisasi sebagai musuh baru bangsa muda bernama ”Indonesia”. Tantangan kebangsaan kita dewasa ini bukan kolonialisme, melainkan modal yang keluar masuk seenaknya tanpa solidaritas. Modal tidak pernah membangun solidaritas. Dia hanya membangun kompetisi brutal: si kalah ditinggalkan dalam penderitaan.
Franky dan Ery juga sepakat bahwa bangsa ini memerlukan suntikan solidaritas berdosis tinggi. Solidaritas, meski demikian, bukan utopia yang jauh bersembunyi di masa depan. Dia adalah utopia yang mampu merumuskan langkah nyata. Bahwa utopia Pembukaan UUD 1945, ”memajukan kesejahteraan umum”, dapat dimaterialisasikan ke dalam sistem jaminan sosial nasional berbasis gotong royong.
Tantangan kebangsaan kontemporer kita adalah memastikan kemenangan solidaritas trans-kelas atas kompetisi pasar bebas. Semoga Tuhan bersama patriot- patriot solidaritas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar