Revivalisme Islam Asia Tenggara
Hery Sucipto, DIREKTUR PUSAT KAJIAN TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM (PKTTDI) FISIP-UMJ
Sumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011
Perang Salib telah membuat dunia Islam semakin terpuruk. Dunia Islam berada di bawah penjajahan negara-negara Barat. Sejak saat itu dunia Islam menghadapi fron perjuangan selanjutnya, yakni melawan penjajahan. Hasilnya, pada pertengahan abad 20, dunia Islam berhasil mengenyahkan penjajahan dan merebut kembali kemerdekaan. Dengan diperolehnya kemerdekaan, umat Islam punya kesempatan untuk membangun kembali kejayaan peradabannya sebagaimana pernah diraih kekhalifahan Umayah di Baghdad dan kekhalifahan Abbasiyah di Kordova.
Jika di masa lalu peradaban Islam bersinar di Timur Tengah dan Eropa, di era globalisasi sekarang ini banyak yang meyakini bahwa fajar kebangkitan Islam akan terbit dari Asia Tenggara. Indonesia dan Malaysia menjadi bagian terpenting yang berpotensi untuk memimpin dunia baru Islam. Sementara cahaya peradaban yang pernah terbit di Timur Tengah kini telah redup. Di abad modern ini tidak ada lagi optimisme bahwa Timur Tengah akan mampu mempertahankan kegemilangan peradaban yang pernah ditorehkan di pentas sejarah.
Sementara itu, Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, semakin solid. Berbagai rintangan dan krisis yang mewarnai perjalanan menuju kebangkitan dan kemajuan dapat diatasi secara perlahan tapi pasti. Konsolidasi yang semakin solid di tingkat regional dan internasional menjadi instrumen ampuh untuk mewujukan potensinya sebagai pemimpin baru dunia Islam.
Islam kontemporer
Islam di Asia Tenggara tumbuh subur dan berkembang pesat menjadi sebuah kekuatan besar yang patut diperhitungkan. John L Esposito dalam artikelnya berjudul "Islam's Southeast Asia Shift, a success that Could Lead Renewal in the Muslim World" yang dimuat Asiaweek edisi 4 April 1997 menyoroti perkembangan Islam di Asia Tenggara pada masa kontemporer ini. Ketika banyak orang mengidentikkan Islam dengan Arab, Esposito mengatakan, Islam Asia Tenggara adalah Islam periferal. Pada tahun 1990-an, Esposito mengungkapkan kekagumannya bahwa Islam di Asia Tenggara terutama di Malaysia dan Indonesia akan memainkan peranan penting dalam memimpin dunia Islam.
Ramalan bahwa fajar kebangkitan dunia Islam akan terbit dari Asia Tenggara telah banyak disampaikan para pakar dan ilmuwan, baik sarjana Barat maupun sarjana Timur (buku-buku yang membahas soal ini antara lain: Mohammed Ayoob (Ed), 1981, The Politic of Islamic Resurgence, Croom Helm London; James P Piscatory (Ed), 1983, Islam in the Political Process, Cambridge University Press; John L Esposito (Ed), 1983, Voices of Resurgent Islam, Oxford University Press). Mereka hampir memiliki keyakinan yang seragam bahwa kebangkitan Islam Asia Tenggara merupakan sesuatu yang taken for granted. Para sarjana Barat dan Timur mengakui kebangkitan Asia Tenggara, baik secara historis, sosiologis, politis, maupun secara natural.
Di samping ramalan itu, berdasarkan pada catatan sejarah, pembaruan Islam baik secara politis maupun kultural pada umumnya selalu datang dari kawasan periferal, seperti Iran, Turki Usmani, Asia Selatan, dan Asing Tenggara, yang membentangkan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan besar. Pada abad ke-21 ini, sejarah itu sepertinya akan mengulangi dirinya sendiri, yakni pembaruan akan kembali datang dari kawasan periferal. Kawasan Asia Tenggara akan terus bergeser dengan bergerak menuju 'pusat' sebagai sebuah kekuatan dinamis, yakni pembaruan dalam tubuh Islam dan masyarakat Islam. Alhasil, dunia baru Islam di era globalisasi ini akan dimulai dari Asia Tenggara.
Era globalisasi yang ditandai dengan globalisasi ekonomi menampilkan Asia sebagai sebuah pasar kuat. Komunikasi massa juga telah memacu penemuan kembali Islam Asia Tenggara, baik secara kultural maupun ekonomi. Pada saat dunia Arab dibayang-bayangi kepentingan strategis minyak dan ledakan politik Asia Barat, Malaysia dan Indonesia muncul sebagai pemain penting dalam kepemimpinan dunia Islam. Pertumbuhan ekonomi Malaysia, politik Muslim, dan pluralisme mengubur stereotip negatif yang ditampilkan oleh peristiwa-peristiwa dari Revolusi Iran sampai perang sipil Aljazair.
Ketika dunia memandang Islam tidak cocok dengan abad modern dengan tuduhan terorisme dan radikalisme, Islam Asia Tenggara memperlihatkan alternatif-alternatifnya. Islam di Asia Tenggara jauh lebih multireligius, multikultural, moderat, dan pluralistik. Di Asia Tenggara terdapat dinamisme, kesejahteraan, dan pertumbuhan yang tidak terdapat di kawasan Asia Barat. Para intelektual Muslim memainkan peran lebih besar dalam membangun Indonesia dan Malaysia.
Di Indonesia, peran Islam sudah semakin transparan dalam lanskap politik dan institusi, dalam pemerintahan sampai ke LSM-LSM. Para sarjana dan profesional sedang memformulasikan suatu bentuk pemikiran kreatif tentang pembaruan keagamaan, sosial, demokratisasi, pluralisme, dan hak-hak perempuan dalam dunia Islam.
Malaysia dan Indonesia adalah sebentuk jawaban bahwa Islam sangat kompatibel dengan era modernisasi, dan peradaban Islam juga tidak pernah berkonflik dengan Barat. Kedua negara itu juga dengan terang-terangan menegaskan identitas keislamannya, namun pada saat yang sama mempromosikan pluralisme.
Karakteristik Islam Asia Tenggara
Melihat perkembangan dan dinamikanya saat ini, Islam di Asia Tenggara sangatlah unik dan setidaknya memiliki empat karakteristik. Pertama, pluralis. Fakta sejarah memang mencatat bahwa budaya Islam Melayu dari segi keagamaannya, secara fikih yang menonjol adalah madzhab Syafi'i, dan secara teologis adalah Asy'ari. Namun, pada perkembangan kontemporer di era globalisasi ini, di mana berbagai aliran dapat masuk dan berkembang pesat, dunia Melayu semakin menonjolkan pluralisme keagamaan.
Kedua, toleran. Di samping kebudayaan orang-orang Melayu sendiri yang menonjolkan budaya toleransi yang kuat, penyebaran Islam di bumi Melayu tidak pernah mengenal model fundamentalisme Islam. Fundamentalisme tersebut hanya terjadi sekali ketika gerakan Paderi muncul di Sumatra Barat dengan menempuh jalan kekerasan. Fundamentalisme juga muncul belakangan ini, namun sudah banyak ditentang oleh arus utama yang lebih representatif.
Ketiga, moderat. Islam yang tumbuh di Malaysia dan Indonesia memiliki sikap yang lebih moderat, toleran, dan kooperatif kepada penguasa. Berbeda dengan pertumbuhan Islam di Timur Tengah yang lebih opresif terhadap lawan-lawan politiknya. Ideologi politik Indonesia dan Malaysia adalah ideologi yang sangat relevan dengan ajaran-ajaran Islam. Ideologi Pancasila di Indonesia dinilai sudah sesuai dengan Islam sehingga tidak perlu ditentang dengan kekerasan. Bahkan di Malaysia, Islam disebut agama seni sehingga persoalan-persoalan ideologis tidak akan pernah menjurus pada konflik kekerasan.
Keempat, pendekatan kultural. Di Malaysia, Islam dikembangkan dengan jalan kultural. Salah satunya dengan pembentukan Jaringan Usahawan Melayu Antarbangsa (JUMA). Begitu juga di Indonesia, sejak berlakunya kebijakan fusi partai-partai Islam umat Islam lebih memilih jalur kultural sebagai wahana perjuangannya. Berbeda dengan dunia Timur Tengah, Islam disebarkan dengan pendekatan politik sehingga sampai detik ini sering kali mengalami kegagalan. ●
Jika di masa lalu peradaban Islam bersinar di Timur Tengah dan Eropa, di era globalisasi sekarang ini banyak yang meyakini bahwa fajar kebangkitan Islam akan terbit dari Asia Tenggara. Indonesia dan Malaysia menjadi bagian terpenting yang berpotensi untuk memimpin dunia baru Islam. Sementara cahaya peradaban yang pernah terbit di Timur Tengah kini telah redup. Di abad modern ini tidak ada lagi optimisme bahwa Timur Tengah akan mampu mempertahankan kegemilangan peradaban yang pernah ditorehkan di pentas sejarah.
Sementara itu, Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, semakin solid. Berbagai rintangan dan krisis yang mewarnai perjalanan menuju kebangkitan dan kemajuan dapat diatasi secara perlahan tapi pasti. Konsolidasi yang semakin solid di tingkat regional dan internasional menjadi instrumen ampuh untuk mewujukan potensinya sebagai pemimpin baru dunia Islam.
Islam kontemporer
Islam di Asia Tenggara tumbuh subur dan berkembang pesat menjadi sebuah kekuatan besar yang patut diperhitungkan. John L Esposito dalam artikelnya berjudul "Islam's Southeast Asia Shift, a success that Could Lead Renewal in the Muslim World" yang dimuat Asiaweek edisi 4 April 1997 menyoroti perkembangan Islam di Asia Tenggara pada masa kontemporer ini. Ketika banyak orang mengidentikkan Islam dengan Arab, Esposito mengatakan, Islam Asia Tenggara adalah Islam periferal. Pada tahun 1990-an, Esposito mengungkapkan kekagumannya bahwa Islam di Asia Tenggara terutama di Malaysia dan Indonesia akan memainkan peranan penting dalam memimpin dunia Islam.
Ramalan bahwa fajar kebangkitan dunia Islam akan terbit dari Asia Tenggara telah banyak disampaikan para pakar dan ilmuwan, baik sarjana Barat maupun sarjana Timur (buku-buku yang membahas soal ini antara lain: Mohammed Ayoob (Ed), 1981, The Politic of Islamic Resurgence, Croom Helm London; James P Piscatory (Ed), 1983, Islam in the Political Process, Cambridge University Press; John L Esposito (Ed), 1983, Voices of Resurgent Islam, Oxford University Press). Mereka hampir memiliki keyakinan yang seragam bahwa kebangkitan Islam Asia Tenggara merupakan sesuatu yang taken for granted. Para sarjana Barat dan Timur mengakui kebangkitan Asia Tenggara, baik secara historis, sosiologis, politis, maupun secara natural.
Di samping ramalan itu, berdasarkan pada catatan sejarah, pembaruan Islam baik secara politis maupun kultural pada umumnya selalu datang dari kawasan periferal, seperti Iran, Turki Usmani, Asia Selatan, dan Asing Tenggara, yang membentangkan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan besar. Pada abad ke-21 ini, sejarah itu sepertinya akan mengulangi dirinya sendiri, yakni pembaruan akan kembali datang dari kawasan periferal. Kawasan Asia Tenggara akan terus bergeser dengan bergerak menuju 'pusat' sebagai sebuah kekuatan dinamis, yakni pembaruan dalam tubuh Islam dan masyarakat Islam. Alhasil, dunia baru Islam di era globalisasi ini akan dimulai dari Asia Tenggara.
Era globalisasi yang ditandai dengan globalisasi ekonomi menampilkan Asia sebagai sebuah pasar kuat. Komunikasi massa juga telah memacu penemuan kembali Islam Asia Tenggara, baik secara kultural maupun ekonomi. Pada saat dunia Arab dibayang-bayangi kepentingan strategis minyak dan ledakan politik Asia Barat, Malaysia dan Indonesia muncul sebagai pemain penting dalam kepemimpinan dunia Islam. Pertumbuhan ekonomi Malaysia, politik Muslim, dan pluralisme mengubur stereotip negatif yang ditampilkan oleh peristiwa-peristiwa dari Revolusi Iran sampai perang sipil Aljazair.
Ketika dunia memandang Islam tidak cocok dengan abad modern dengan tuduhan terorisme dan radikalisme, Islam Asia Tenggara memperlihatkan alternatif-alternatifnya. Islam di Asia Tenggara jauh lebih multireligius, multikultural, moderat, dan pluralistik. Di Asia Tenggara terdapat dinamisme, kesejahteraan, dan pertumbuhan yang tidak terdapat di kawasan Asia Barat. Para intelektual Muslim memainkan peran lebih besar dalam membangun Indonesia dan Malaysia.
Di Indonesia, peran Islam sudah semakin transparan dalam lanskap politik dan institusi, dalam pemerintahan sampai ke LSM-LSM. Para sarjana dan profesional sedang memformulasikan suatu bentuk pemikiran kreatif tentang pembaruan keagamaan, sosial, demokratisasi, pluralisme, dan hak-hak perempuan dalam dunia Islam.
Malaysia dan Indonesia adalah sebentuk jawaban bahwa Islam sangat kompatibel dengan era modernisasi, dan peradaban Islam juga tidak pernah berkonflik dengan Barat. Kedua negara itu juga dengan terang-terangan menegaskan identitas keislamannya, namun pada saat yang sama mempromosikan pluralisme.
Karakteristik Islam Asia Tenggara
Melihat perkembangan dan dinamikanya saat ini, Islam di Asia Tenggara sangatlah unik dan setidaknya memiliki empat karakteristik. Pertama, pluralis. Fakta sejarah memang mencatat bahwa budaya Islam Melayu dari segi keagamaannya, secara fikih yang menonjol adalah madzhab Syafi'i, dan secara teologis adalah Asy'ari. Namun, pada perkembangan kontemporer di era globalisasi ini, di mana berbagai aliran dapat masuk dan berkembang pesat, dunia Melayu semakin menonjolkan pluralisme keagamaan.
Kedua, toleran. Di samping kebudayaan orang-orang Melayu sendiri yang menonjolkan budaya toleransi yang kuat, penyebaran Islam di bumi Melayu tidak pernah mengenal model fundamentalisme Islam. Fundamentalisme tersebut hanya terjadi sekali ketika gerakan Paderi muncul di Sumatra Barat dengan menempuh jalan kekerasan. Fundamentalisme juga muncul belakangan ini, namun sudah banyak ditentang oleh arus utama yang lebih representatif.
Ketiga, moderat. Islam yang tumbuh di Malaysia dan Indonesia memiliki sikap yang lebih moderat, toleran, dan kooperatif kepada penguasa. Berbeda dengan pertumbuhan Islam di Timur Tengah yang lebih opresif terhadap lawan-lawan politiknya. Ideologi politik Indonesia dan Malaysia adalah ideologi yang sangat relevan dengan ajaran-ajaran Islam. Ideologi Pancasila di Indonesia dinilai sudah sesuai dengan Islam sehingga tidak perlu ditentang dengan kekerasan. Bahkan di Malaysia, Islam disebut agama seni sehingga persoalan-persoalan ideologis tidak akan pernah menjurus pada konflik kekerasan.
Keempat, pendekatan kultural. Di Malaysia, Islam dikembangkan dengan jalan kultural. Salah satunya dengan pembentukan Jaringan Usahawan Melayu Antarbangsa (JUMA). Begitu juga di Indonesia, sejak berlakunya kebijakan fusi partai-partai Islam umat Islam lebih memilih jalur kultural sebagai wahana perjuangannya. Berbeda dengan dunia Timur Tengah, Islam disebarkan dengan pendekatan politik sehingga sampai detik ini sering kali mengalami kegagalan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar