Perjuangan Harus Pro-Kehidupan, Titik!
Reza Indragiri Amriel, MANTAN KETUA DELEGASI INDONESIA PROGRAM PERTUKARAN PEMUDA, PSIKOLOG
Sumber : KORAN TEMPO, 13 Desember 2011
Aksi bakar diri di depan Istana Negara beberapa hari lalu menyisakan pertanyaan. Apakah pelaku melakukan aksi bunuh diri (suicide) namun keburu digagalkan oleh orangorang di lokasi kejadian? Ataukah pelaku pada dasarnya tidak menginginkan kematian kendati aksinya mendekati kematian (parasuicide)?
Apa pun jawabannya, tindakan mencederai diri sendiri yang ditujukan sebagai
bentuk protes terhadap ketidakadilan tampak kian berat bobotnya. Dari cap jempol darah, mogok makan, jahit mulut, menyayat kening, hingga bakar diri. Walau tidak berdarah-darah, penghilangan bagian tubuh sebagai cara menyampaikan aspirasi juga terlihat pada aksi pangkas rambut hingga gundul.
Karena dilakukan di depan Istana Negara, di tengah kondisi kehidupan bangsa yang morat-marit, mudah bagi siapa pun untuk langsung berspekulasi bahwa aksi bakar diri pekan lalu itu bermuatan politik. Memang tidak keliru kalau menduga demikian,walau juga tidak bisa digeneralisasi bahwa aksi-aksi ekstrem dalam setting yang serupa niscaya selalu mengusung misi yang sama.
Sebagai perbandingan, meski berbeda dalam modusnya, ketika John Hinckley Jr menembak Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, publik juga spontan mengaitkan aksi Hinckley dengan kampanye politik tertentu. Setelah kajian dilakukan lebih mendalam, barulah khalayak tercengang karena aksi Hinckley itu sama sekali tidak berlatar politik.
Kembali ke peristiwa bakar diri di depan Istana Negara, deskripsi ringkas Usman Hamid di Apa Kabar Indonesia Petang (TV One, 9 Desember 2011) tentang pelaku sebagai mahasiswa yang—antara lain—cerdas, gemar berdiskusi, altruistis, dan kerap ke perpustakaan Kontras, mengindikasikan bahwa pelaku tergolong melek politik. Pelaku berarti bukan tipe individu yang mudah dihasut dan diperalat pihak lain.
Artikulasi Politik
Sebagai akademisi, saya bisa membayangkan rasa kehilangan ketika mahasiswa yang dianggap potensial tidak pernah lagi terlihat di kampus. Demikian pula sebagai ayah dari tiga anak, saya tahu persis kepedihan yang merajalela akibat sang buah hati pergi tak kembali.
Tidak semata pilu, saya salut melihat anak muda yang hirau kepada nasib bangsanya. Ketika lembaga-lembaga pendidikan tinggi berlomba menyiapkan para mahasiswa mereka agar unggul di aspek akademis dan laris di dunia kerja, keberadaan kaum cendekia muda yang juga bersemangat menyalurkan energi mereka untuk memahami kehidupan bangsanya sungguh pantas diapresiasi.
Satu persoalan muncul; pendidikan politik, termasuk yang digencarkan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, ternyata belum sempurna apabila sebatas mengisi dimensi kognitif para partisipan. Laiknya pendidikan holistik, pengayaan muatan kognitif harus disertai dengan penguatan dimensi afektif. “Kurikulum” yang lebih utuh ini menjadi sangat relevan karena artikulasi atas isi kognisi (pengetahuan politik) pada kenyataannya menuntut kematangan psikologis berupa kesediaan untuk menyelami batin orang lain dan menyuarakannya lewat langgam nirkekerasan.
Pertanyaannya, sudah seberapa jauhkah program-program pemberdayaan masyarakat melalui semacam pendidikan politik juga memasukkan nilai penting afeksi itu ke dalam bahasannya? Kognisi yang tajam, namun afeksi yang majal, akan membentuk individu (tak terkecuali partisipan pendidikan politik) yang kuat pada aspek moral thought, namun belum tentu mengejawantah ke moral behavior yang baik pula. Keterputusan antara moral thought dan moral behavior itu, menurut Tangney, Stuewig, dan Mashek (2007), diakibatkan oleh tipisnya moral emotion. Padahal moral emotion inilah yang berfungsi sebagai jembatan agar—dalam konteks aksi bakar diri—pengetahuan politik juga bisa mewujud ke perilaku politik yang terbebas dari warna kekerasan. Baik kekerasan terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.
Pencederaan lewat bakar diri, jika berisikan muatan politik, memang akan melipatgandakan daya dentum dari pesan yang ingin disampaikan pelaku. Dan tampaknya efek seperti itulah yang mengemuka setelah insiden bakar diri di depan Istana Negara. Efektivitas aksi bakar diri itu sendiri masih belum terlihat.
Setidaknya, itu karena pelaku tidak mengirim satu pun pesan spesifik tentang isu politik yang sesungguhnya tengah ia usung.
Yang menonjol justru fakta bahwa, akibat aksi bakar diri, kita kehilangan satu anak muda yang sejatinya bisa diandalkan. Aksi bakar diri dan berbagai metode parasuicide lainnya menjadi momen yang mengalihkan sosok potensial-produktif ke sosok yang kehilangan keberdayaannya.
Pada saat yang sama, yang paling merisaukan adalah kemungkinan adanya duplikasi perilaku atas bakar diri tersebut.Kekhawatiran ini beralasan, karena Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) beberapa tahun lalu pernah menyimpulkan bahwa aksi bunuh diri di kawasan Asia lebih merupakan hasil peniruan (copycat suicide). Sekian banyak tindak kriminal yang menghebohkan juga produk dari pencontohan perilaku.
Duplikasi perilaku itu dipandang oleh banyak pihak sebagai efek pemberitaan media. Media terhenti pada pendeskripsian, bahkan acap sangat terperinci, dan tidak berlanjut secara kontinu dengan pesan gamblang tentang bagaimana seharusnya perilaku-perilaku ekstrem tersebut disikapi masyarakat. “Netralitas” macam itulah yang berekses pada tidak terkuncinya persepsi publik bahwa pro-kehidupan merupakan satu-satunya kampanye yang semestinya dilestarikan.
Karena itulah, meski aksi bakar diri di depan Istana Negara bukan merupakan kejahatan, saya risau membayangkan tindakan tersebut mengilhami anak-anak muda lainnya tatkala ingin mengartikulasikan pandangan politik mereka. Sekali lagi, saya respek kepada kaum muda yang melek mata terhadap politik. Tapi, karena kita butuh banyak anak muda yang punya ghirah (semangat) kebangsaan, dan karena kita semua (semestinya) sepakat bahwa politik yang ingin kita bangun adalah politik kebangsaan yang steril dari kekerasan—baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri—maka kalangan muda harus sungguh-sungguh berketetapan hati dan berkekuatan langkah pada budi perangai yang nirkekerasan pula.
Terkenang saya akan tamsil Bung Karno, “Seribu orang tua hanya sanggup bermimpi. Satu pemuda mampu mengubah dunia.” Pasti yang dimaksud oleh Bung Karno adalah pemuda yang jiwa-raganya hidup. Di situlah pemberitaan tentang aksi bakar diri dan kelakuan-kelakuan serupa lainnya harus dibubuhi tanda titik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar