Koruptor Generasi Gayus
Masduri, PENELITI DI PUSAT KAJIAN FILSAFAT DAN POLITIK IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
Sumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011
Korupsi benar-benar telah membuat negara kita limbung. Tidak jelas akan berarah ke mana karena semua kekayaan negara sekarang sedang digerogoti koruptor. Korupsi tidak saja monopoli elite pusat, tapi juga sudah menyebar ke berbagai daerah. Bahkan, pelakunya pun tak lagi para penguasa dan pemilik kebijakan, tapi juga mereka yang masuk dalam kelompok generasi muda.
Berdasarkan penemuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada 1.800 rekening bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah milik pegawai negeri sipil (PNS). Yang mengherankan, para pemiliki rekening tersebut berusia antara 28-38 tahun. Secara logika, jika hanya bekerja sebagai PNS tidak mungkin pada usia yang begitu muda, mereka dapat mengumpulkan uang sebesar itu. Karena gaji maksimal seorang PNS hanya 12 juta per bulannya.
Temuan ini tentu semakin memprihatinkan kita semua. Sebab, kasus korupsi yang besar saja masih banyak yang belum terselesaikan (menumpuk), sekarang muncul lagi kasus baru yang tak kalah besarnya. Kita berharap, PPATK segera mengungkap secara terang-terangan dan menyerahkan hasil temuannya itu kepada penegak hukum. Kepolisian, kejaksaan, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bergerak cepat dan tangkas dalam menyelesaikan kasus temuan PPATK tersebut.
Persoalan seperti ini merupakan realitas memprihatinkan bagi masa depan negara Indonesia. Kekhawatiran akan ancaman kesejahteraan bangsa semakin merisaukan. Sebab, korupsi sudah mengjangkiti para pegawai negeri sipil (PNS) yang berusia muda. Seharusnya, para generasi muda ini, bersuara lantang dalam menyuarakan pemberantasan korupsi, bukan malah terlibat dalam perbuatan tak terpuji itu.
Tentu kita sangat prihatin karena korupsi yang sudah sangat menggurita. Semakin hari, korupsi bukannya makin berkurang, malah berkembang biak sangat cepat. Berbagai hukuman yang diberikan kepada koruptor tampaknya tidak membuat mereka jera untuk berhenti melakukannya. Alih-alih malu dan menghindarinya, sebaliknya malah semakin menjadi dan merajalela.
Ketidakjeraan para koruptor yang sudah dihukum ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum kita masih gagal dalam menjalankan tugasnya. Hukuman yang harusnya dibuat untuk memberikan efek jera dan rasa takut dalam melakukan tindak pelanggaran, malah makin didekati dan dilaksanakan. Faktanya, hukuman bagi mereka yang sudah di penjara, justru memancing yang lain untuk menikmati hal yang sama.
Ketidakjeraan orang untuk berbuat korupsi membuktikan bahwa hukuman yang diberikan tak berhasil. Hukum belum membuat mereka berhenti untuk melakukannya. Seakan, tinggal di penjara justru sangat mengenakkan dibanding di luar penjara. Mereka pun sepertinya berlomba-lomba untuk melakukan korupsi dan merampas uang negara.
Apalagi, hukuman bagi koruptor yang hanya berkisar antara tiga hingga empat tahun. Kemudian bila sudah menjalani hukuman hingga dua per tiganya, mereka berkesempatan menghirup udara bebas secara bersyarat. Belum lagi bila mendapatkan remisi atau pemotongan masa hukuman. Kondisi ini jelas tidak adil. Sebab, merampok uang negara hingga puluhan bahkan ratusan miliar, tapi hanya dihukum tak lebih dari lima tahun, menunjukkan bahwa banyak orang yang ingin melakukan upaya serupa.
Belakangan ini, makin santer terdengar adanya fasilitas mewah di penjara. Kondisi ini bagaikan surga bagi pelaku korupsi sebab mereka bisa menikmati kemewahan kendati berada di balik terali besi. Ketika realitas hukum kita seperti ini, tidak usah heran jika koruptor kian hari terus berkembang biak.
Kita makin tambah prihatin dengan hasil survei KPK baru-baru ini. Sebab, dari 22 instansi pusat yang disurvei, Kementerian Agama (Kemenag) menempati peringkat pertama instansi paling korup. Fakta ini tentu mengejutkan kita semua. Karena, Kementerian Agama yang seharusnya menjadi panutan dan contoh bagi instansi lain dalam melakukan perbuatan baik, justru terindikasi lebih korup dibandingkan lainnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa keberagamaan masyarakat Indonesia masih jauh dari nilai-nilai esensial yang diajarkan dalam agama. Jika dulu tokoh agama sering mengkritik pemerintah, sekarang saatnya mereka melakukan gebrakan baru internalisasi nilai-nilai agama dalam setiap pemeluknya.
Kita tentu tak bisa begitu saja membantah hasil survei tersebut. Sebab, survei memiliki bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya konkret dari setiap lembaga untuk memperbaiki kinerjanya.
Sekarang ini tantangan korupsi semakin berat. Apa yang ditemukan oleh PPATK itu telah menambah panjang daftar kasus korupsi yang makin menumpuk. Karenanya, semua pihak harus berupaya maksimal untuk secara aktif melakukan pemberantasan korupsi. Para penegak hukum harus berjuang mati-matian melawan korupsi. Begitu juga eleman masyarakat lainnya untuk bahu membahu menghapus praktik kotor dan tak terpuji itu dari Tanah Air ini. Para tokoh masyarakat dan agama kita harapkan lebih maksimal lagi dalam membentengi umat, terutama generasi muda dalam menghadapi godaan korupsi.
Regenerasi Koruptor
Temuan PPATK terkait dengan rekening gendut para anggota PNS yang rata-rata masih muda adalah fenomena lama korupsi di Indonesia. Tidak begitu lama, kita pernah dihebohkan dengan kasus Gayus Halamoan Tambunan, mantan pegawai Ditjen Pajak yang tersangkut kasus korupsi. Usianya masih muda setara dengan kisaran umur PNS yang dipaparkan oleh PPATK.
Munculnya koruptor-koruptor muda seperti hasil temuan PPATK menunjukkan bahwa di negara kita ada gejala regenerasi koruptor. Kasus rekening gendut PNS tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kasus Gayus, pasti ada keterkaitan antara uang yang ada di rekening itu dengan atasanya. Sekjen Transparancy Internasional Indonesia, Teten Masduki, menyebut PNS itu hanya operator dari bos-bosnya. Tidak mungkin dengan jabatan yang masih rendah akan bisa melakukan penyelewengan secara maksimal.
Jika persoalan ini tidak usut secara tuntas dengan hukuman yang setimpal dan seberat-beratnya, akan ada kemungkinan regenerasi koruptor yang semakin besar. Karena gereget darah muda yang dimiliki PNS atau jajaran elite kita masih panas. Mereka suka mencoba-coba, apalagi melihat hukuman bagi koruptor tidak terlalu berat. ●
Berdasarkan penemuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada 1.800 rekening bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah milik pegawai negeri sipil (PNS). Yang mengherankan, para pemiliki rekening tersebut berusia antara 28-38 tahun. Secara logika, jika hanya bekerja sebagai PNS tidak mungkin pada usia yang begitu muda, mereka dapat mengumpulkan uang sebesar itu. Karena gaji maksimal seorang PNS hanya 12 juta per bulannya.
Temuan ini tentu semakin memprihatinkan kita semua. Sebab, kasus korupsi yang besar saja masih banyak yang belum terselesaikan (menumpuk), sekarang muncul lagi kasus baru yang tak kalah besarnya. Kita berharap, PPATK segera mengungkap secara terang-terangan dan menyerahkan hasil temuannya itu kepada penegak hukum. Kepolisian, kejaksaan, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bergerak cepat dan tangkas dalam menyelesaikan kasus temuan PPATK tersebut.
Persoalan seperti ini merupakan realitas memprihatinkan bagi masa depan negara Indonesia. Kekhawatiran akan ancaman kesejahteraan bangsa semakin merisaukan. Sebab, korupsi sudah mengjangkiti para pegawai negeri sipil (PNS) yang berusia muda. Seharusnya, para generasi muda ini, bersuara lantang dalam menyuarakan pemberantasan korupsi, bukan malah terlibat dalam perbuatan tak terpuji itu.
Tentu kita sangat prihatin karena korupsi yang sudah sangat menggurita. Semakin hari, korupsi bukannya makin berkurang, malah berkembang biak sangat cepat. Berbagai hukuman yang diberikan kepada koruptor tampaknya tidak membuat mereka jera untuk berhenti melakukannya. Alih-alih malu dan menghindarinya, sebaliknya malah semakin menjadi dan merajalela.
Ketidakjeraan para koruptor yang sudah dihukum ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum kita masih gagal dalam menjalankan tugasnya. Hukuman yang harusnya dibuat untuk memberikan efek jera dan rasa takut dalam melakukan tindak pelanggaran, malah makin didekati dan dilaksanakan. Faktanya, hukuman bagi mereka yang sudah di penjara, justru memancing yang lain untuk menikmati hal yang sama.
Ketidakjeraan orang untuk berbuat korupsi membuktikan bahwa hukuman yang diberikan tak berhasil. Hukum belum membuat mereka berhenti untuk melakukannya. Seakan, tinggal di penjara justru sangat mengenakkan dibanding di luar penjara. Mereka pun sepertinya berlomba-lomba untuk melakukan korupsi dan merampas uang negara.
Apalagi, hukuman bagi koruptor yang hanya berkisar antara tiga hingga empat tahun. Kemudian bila sudah menjalani hukuman hingga dua per tiganya, mereka berkesempatan menghirup udara bebas secara bersyarat. Belum lagi bila mendapatkan remisi atau pemotongan masa hukuman. Kondisi ini jelas tidak adil. Sebab, merampok uang negara hingga puluhan bahkan ratusan miliar, tapi hanya dihukum tak lebih dari lima tahun, menunjukkan bahwa banyak orang yang ingin melakukan upaya serupa.
Belakangan ini, makin santer terdengar adanya fasilitas mewah di penjara. Kondisi ini bagaikan surga bagi pelaku korupsi sebab mereka bisa menikmati kemewahan kendati berada di balik terali besi. Ketika realitas hukum kita seperti ini, tidak usah heran jika koruptor kian hari terus berkembang biak.
Kita makin tambah prihatin dengan hasil survei KPK baru-baru ini. Sebab, dari 22 instansi pusat yang disurvei, Kementerian Agama (Kemenag) menempati peringkat pertama instansi paling korup. Fakta ini tentu mengejutkan kita semua. Karena, Kementerian Agama yang seharusnya menjadi panutan dan contoh bagi instansi lain dalam melakukan perbuatan baik, justru terindikasi lebih korup dibandingkan lainnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa keberagamaan masyarakat Indonesia masih jauh dari nilai-nilai esensial yang diajarkan dalam agama. Jika dulu tokoh agama sering mengkritik pemerintah, sekarang saatnya mereka melakukan gebrakan baru internalisasi nilai-nilai agama dalam setiap pemeluknya.
Kita tentu tak bisa begitu saja membantah hasil survei tersebut. Sebab, survei memiliki bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya konkret dari setiap lembaga untuk memperbaiki kinerjanya.
Sekarang ini tantangan korupsi semakin berat. Apa yang ditemukan oleh PPATK itu telah menambah panjang daftar kasus korupsi yang makin menumpuk. Karenanya, semua pihak harus berupaya maksimal untuk secara aktif melakukan pemberantasan korupsi. Para penegak hukum harus berjuang mati-matian melawan korupsi. Begitu juga eleman masyarakat lainnya untuk bahu membahu menghapus praktik kotor dan tak terpuji itu dari Tanah Air ini. Para tokoh masyarakat dan agama kita harapkan lebih maksimal lagi dalam membentengi umat, terutama generasi muda dalam menghadapi godaan korupsi.
Regenerasi Koruptor
Temuan PPATK terkait dengan rekening gendut para anggota PNS yang rata-rata masih muda adalah fenomena lama korupsi di Indonesia. Tidak begitu lama, kita pernah dihebohkan dengan kasus Gayus Halamoan Tambunan, mantan pegawai Ditjen Pajak yang tersangkut kasus korupsi. Usianya masih muda setara dengan kisaran umur PNS yang dipaparkan oleh PPATK.
Munculnya koruptor-koruptor muda seperti hasil temuan PPATK menunjukkan bahwa di negara kita ada gejala regenerasi koruptor. Kasus rekening gendut PNS tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kasus Gayus, pasti ada keterkaitan antara uang yang ada di rekening itu dengan atasanya. Sekjen Transparancy Internasional Indonesia, Teten Masduki, menyebut PNS itu hanya operator dari bos-bosnya. Tidak mungkin dengan jabatan yang masih rendah akan bisa melakukan penyelewengan secara maksimal.
Jika persoalan ini tidak usut secara tuntas dengan hukuman yang setimpal dan seberat-beratnya, akan ada kemungkinan regenerasi koruptor yang semakin besar. Karena gereget darah muda yang dimiliki PNS atau jajaran elite kita masih panas. Mereka suka mencoba-coba, apalagi melihat hukuman bagi koruptor tidak terlalu berat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar