Kapitalisme Picu Krisis
Galih Prasetyo, ALUMNUS UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA
Sumber : SUARA KARYA, 12 Desember 2011
Belakangan ini, di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan drama demonstrasi menentang 'modal'. Menyeruaknya kerumunan demonstran itu berlangsung dalam bahasa 'resistensi' terhadap Wall Street lantaran dianggap sebagai jantung kapitalisme global.
Di saat sistem kapitalisme kian menghegemoni, di sisi lain, kapitalisme kerap menemui krisis. Terlalu banyak contoh tragedi krisis, semisal, krisis Asia yang berujung menyeret Indonesia ke jurang krisis 1997-1998. Bahkan, krisis ekonomi terjadi di Amerika tahun 2008 dan yang terbaru, Yunani juga dilanda krisis serius yang selanjutnya menular ke sejumlah negara eropa lainnya.
Sistem kapitalisme sering dikaitkan dengan rumah besar bernama globalisasi. Kapitalisme dan globalisasi seolah tak bisa dipisahkan. Sehingga, segalanya seolah makin terintegrasi. Termasuk korporasi dan negara-bangsa.
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan terkait penyebab terjadinya krisis yang merupakan bukti 'kegagalan pasar' (market failure). Sebagaimana diyakini Joseph E Stiglitz dalam Whither Socialism? (1994), kegagalan pasar terjadi lantaran munculnya kenyataan incomplete markets di mana terdapat imperfect information sehingga membuat pasar tidak efisien.
Meskipun tercipta complete market bisa dipastikan tidak akan kompetitif karena akan selalu ada pembeli potensial dalam setiap pasar. Imperfect information menciptakan ketimpangan informasi (asymmetric information) yang membuka celah para pelaku pasar bertindak sesuai kepentingan dirinya, mengejar keuntungan seluas-luasnya.
Tak terkecuali, pasar modal pun berpeluang dijadikan sarang pasar spekulatif yang digelembungkan. Itu sebabnya, persaingan yang tidak sehat mudah ditemukan. Faktor eksternalitas semacam itu yang menghadirkan sederetan konsekuensi dari aktivitas suatu pihak yang cenderung merugikan sebagian besar pihak.
Adam Przeworski dalam karyanya, States and Markets: A Primer in Political Economy (2003) berpendapat, An externality is an effect of actions of an individual that affects the welfare (utility) of others. Faktor eksternalitas memiliki sisi positif dan negatif. Eksternalitas menjadi positif apabila tindakan satu individu berpengaruh memberikan kesejahteraan terhadap individu yang lain. Sedangkan eksternalitas dinilai negatif ketika mengurangi kesejahteraan yang lain.
Contoh, soal fasilitas busway di Jakarta. Terlepas dari masalah yang kemudian muncul. Nasmun, pemerintah telah berusaha membawa eksternalitas yang positif bagi orang banyak. Contoh sebaliknya, Rajaratnam, pendiri hedge fund terbesar dunia, Galleon, disinyalir melakukan kecurangan di bursa saham sehingga memperoleh keuntungan haram dari pasar modal senilai 63,8 juta dolar dalam jangka waktu tujuh tahun. Dalam hal ini, yang dirugikan para nasabahnya.
Dia memiliki kemampuan memprediksikan lalu lintas pergerakan saham. Sebab, banyak menerima bocoran informasi dari orang dalam (insider trading).
Perdagangan berbasis informasi orang dalam di lantai bursa jelas menabrak aturan. Peristiwa semacam itu adalah bukti bahwa hampir selalu terjadi ketimpangan informasi dalam pasar.
Ternyata, bukan hanya pasar, negara pun bisa mengalami kegagalan (government failure). Tentu kita ingat saat kompromi Keynesian diterapkan di Amerika pada 1970-an. Dalam model ekonomi Keynesian, perekonomian diarahkan berdasarkan ketatnya campur tangan negara. Namun, yang terjadi adalah ledakan inflasi akibat ekspansi uang dan meningkatnya belanja publik. Dari situ ketegangan antara pasar dan negara mesti dicarikan jalan keluar. Setidaknya, untuk menemukan kebaikan di antara keduanya sekaligus.
Kaum liberal juga marak membicarakan sejauh mana peran negara dan pasar di era globalisasi. Jagdish Bhagwati dalam In Defense of Globalization (2004) menegaskan bahwa dalam pengadaan proyek liberalisasi ekonomi atas pasar bebas harus juga dibarengi dengan pengadaan jaring pengaman sosial. Karena itu, negara memerlukan seperangkat mekanisme institusional untuk mengatasi guncangan yang terkadang muncul. Jagdish Bhagwati menyebutnya dengan globalization that requires management.
Jagdish Bhagwati mencatat keberhasilan pembangunan di negara-negara Asia Timur lantaran adanya kombinasi antara pertumbuhan ekonomi pasar dengan proteksi. Dengan kata lain, terjadi campuran atas resep liberal dengan resep nasionalisme ekonomi.
Negara dan pasar harus berimbang dan saling melengkapi agar keberhasilan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Maka, negara bertindak sebagai pengawal dari mekanisme pasar yang tak jarang dinodai oleh ketamakan para pelaku pasar. Negara memiliki kewajiban melakukan suatu rekonstruksi tertentu terkait perkara-perkara proteksi, seperti mengatur kebijakan industri, menyediakan perlindungan sosial, dan sekaligus menciptakan kesejahteraan.
Menyangkut wacana pasar bebas, perdagangan masih lebih baik ketimbang tidak adanya proses perdagangan. Menurut Bhagwati, diperlukan manajemen transisi menuju liberalisasi. Serta pentingnya well-timing dan well-phased liberalisasi agar terhindar dari semacam krisis finansial Asia yang terjadi akhir 1990-an.
Banyak kalangan menyebut krisis yang terus berulang lebih dari soal kegagalan pasar atau negara, melainkan akibat krisis kapitalisme di dalam tubuhnya sendiri. Muncul dugaan kapitalisme memang melekat cacat bawaan. Apa mungkin kita dituntut meretas jalan lain di luar kapitalisme? Sementara kita tak bisa mengelak bahwa kapitalisme kian merasuk kenyataan kita.
Sebagai sebuah sistem, kapitalisme pun tidak menjamin stabil dan mapan. Selalu ada lubang yang terbuka untuk kemungkinan dilengkapi. Sekurangnya, krisis dalam kapitalisme bisa dipahami sebagai 'koreksi diri'. Layaknya manusia ada kalanya mengalami sakit. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar