Runtuhnya Sosialisme Arab
Mohammad Affan, PENELITI TIMUR TENGAH DARI UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber : SUARA KARYA, 13 Desember 2011
Tamat sudah riwayat diktator Libia Moammar Khadafi. Akhir riwayat Khadafi ini sekaligus menandai berakhirnya sosialisme Arab Islam yang dikumandangkannya sejak Revolusi Al-Fatih, 1 September 1969. Saat itu, ia dan pendukungnya berhasil menumbangkan kekuasaan Raja Idris dan mengganti sistem pemerintahan kerajaan dengan sosialisme.
Revolusi Al-Fatih, bagi Khadafi, bukanlah kudeta yang menggulingkan kekuasaan raja. Al-Fatih secara harafiah berarti pembuka atau penakluk. Artinya, permulaan atau pengantar kepada era baru yang memerangi keterbelakangan, ketidakpedulian, dan kemiskinan. Karena itulah, rakyat Libia, ketika itu, berharap revolusi Al-Fatih menjadi awal baru bagi sejarah kehidupan mereka yang merdeka, berdaulat, dan sejahtera.
Harapan itu di awal kepemimpinan Khadafi cukup menjanjikan. Sejumlah kebijakan Khadafi betul-betul pro rakyat. Misalnya, menasionalisasi aset-aset negara yang dikuasai pihak asing dan menyita semua harta kepemilikan warga negara asing yang diperoleh dari pengerukan kekayaan sumber daya Libia.
Sayang, dalam perjalanannya, kepemimpinan yang sebelumnya berbasis penuh pada kadaulatan rakyat mulai berubah menjadi rezim otoriter dan diktator. Inilah yang membawa pendulum berbalik ke arah Khadafi. Nasibnya bahkan jauh lebih parah dari Raja Idris. Ia ditangkap dalam pelariannya dan dibunuh oleh rakyatnya sendiri.
Terlepas dari praktik otoritarianisme Khadafi, ide sosialisme yang diusungnya, sesungguhnya cukup khas. Khadafi menafsirkan sosialisme (isytirakiyah) sebagai suatu sistem yang berdasarkan Alquran dan kebudayaan Arab, bukan pada gagasan Marxis atau ideologi sosialis mana pun. Ini disebutnya dengan 'sosialisme baru' atau 'sosialisme Arab Islam'.
Ciri pembeda sosialisme berkarakter Islam adalah penghargaannya terhadap hak kepemilikan pribadi sebagai sesuatu yang suci. Ini berbeda sepenuhnya dari sistem kapitalis manakala suatu kelas masyarakat menguasai seluruh kelas yang lain, dan sistem komunis di mana pemerintah menguasai seluruh kelas atas nama buruh.
Ia meyakini istilah ini selain terdapat dalam Alquran maupun Hadis, juga telah dilaksanakan oleh masyarakat zaman Nabi dan sesudahnya. Di antara prinsip tersebut adalah kepemilikan pribadi, kerja bersama atau produksi, persamaan, dan keadilan sosial. Sumber daya alam (SDA) tidak termasuk dalam kategori kepemilikan pribadi sehingga harus didistribusikan secara merata di kalangan masyarakat.
Tafsir sosialisme itu ia rumuskan dalam Buku Hijau (Kitab al-Akhdar) yang kemudian menjadi basis ideologi pemerintahannya. Ia menginterpretasi konsep Syura dalam Alquran (QS. 42:38) sebagai jawaban atas demokrasi Barat. Syura ditafsirkan dalam bentuk Komite dan Kongres Rakyat yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan ekskutif. Ia mendukung pemilihan wakil rakyat secara langsung, karena demokrasi perwakilan menurutnya salah, sebab tidak mewakili rakyat sepenuhnya.
Eksperimen baru sosialisme ini bersandar kepada 'kedaulatan rakyat secara langsung' yang mulai dipraktikkan sejak Maret 1977 dalam sebuah pemerintahan yang disebut 'Persatuan Rakyat Arab-Libia Sosialis'. Nama itu dimaksudkan untuk membedakan Libia dari sebuah negara republik yang dipimpin presiden. Dalam negara jamahir (rakyat atau massa), setiap orang adalah penguasa dan semua orang setara.
Namun, di sinilah titik krusialnya. Meskipun secara de jure Khadafi bukan pemimpin tertinggi pemerintahan, namun de facto keputusan kongres tidak bisa jalan tanpa persetujuannya. Dengan kata lain, ia sesungguhnya yang memegang kendali kongres rakyat. Di sinilah kemudian otoritarianisme Khadafi bersembunyi di balik kedok kongres rakyat yang disebut Persatuan Sosialis Arab.
Sebagai penggerak revolusi saat ini, NTC menjanjikan kebebasan baru bagi rakyat Libia. Besar kemungkinan NTC akan mengadopsi model demokrasi Barat. Ini adalah konsekuensi dari bantuan NATO dan AS yang telah mendukung penuh perjuangan NTC menggulingkan Khadafi.
Persoalannya, menerapkan demokrasi Barat di tengah kehidupan masyarakat yang sebelumnya dibangun dengan ideologi sosialisme, tentu tidak mudah. Tantangan utamanya adalah struktur sosial masyarakat yang sudah lama terbentuk di Libia. Rakyat Libia terstruktur di sekitar keluarga, klan, dan suku, yang menopang nilai dan tradisi keagamaan yang dianggap sakral, serta mengembangkan sikap konservatif dan parakis di tengah masyarakat.
Kunci langgengnya rezim Khadafi adalah kemampuannya menerapkan koalisi kelas atau kesukuan dan bukan partai politik. Sumber utama sosialisme Khadafi, selain agama juga adat atau tradisi masyarakat ('Urf) yang diterjemahkan sebagai identitas kesukuan atau kebangsaan (qawmiyah). Identitas kesukuan itu diikat dengan konsep umamiyah (nasionalisme multisuku). Jadi, kebangsaan adalah bentuk kesukuan, dan kesukuan berasal dari ikatan keluarga.
Dengan demikian, masa depan demokrasi di Libia sangat bergantung pada kemampuan mengakomodasi kepentingan suku-suku. Setidaknya ada empat wilayah yang merupakan konsentrasi suku-suku kuat di Libia, yaitu Benghazi di timur, Tripoli di barat, Fezzan di selatan, dan Sirte tempat suku utama
pendukung Khadafi. Jika kepentingan empat wilayah itu mampu disinergikan dan difasilitasi dengan baik, niscaya stabilitas akan segera terwujud di Libia.
Sebaliknya, kalau NTC tidak mampu menjembatani kepentingan suku-suku tersebut, sangat mungkin Libia akan kembali ke era sebelum Revolusi Al-Fatih yang diwarnai instabilitas sosial, konflik antarsuku, dan persaingan politik. Bahkan, Libia bisa bernasib sama dengan Irak dan Afganistan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar