Minggu, 04 Desember 2011

The Lost Decade


The Lost Decade
Iman Sugema, ANALIS EKONOMI
Sumber : REPUBLIKA, 5 Desember 2011


The lost decade atau dasawarsa yang hilang merupakan istilah yang menempel terhadap negara-negara Amerika Latin, yang mengalami kemunduran kesejahteraan sosial ekonomi setelah mengalami krisis keuangan di tahun 1980-an. Saat itu, sejumlah negara di kawasan tersebut mengalami krisis utang dan perbankan yang selanjutnya memicu resesi yang berkepanjangan. 

Mereka melakukan pengetatan fiskal dan moneter sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi mandul. Masalah pengangguran dan kemiskinan menjadi tidak tertangani dengan baik. Negara-negara tersebut di tahun 1960-an merupakan kelompok negara kaya dan di awal 1990-an kesejahteraannya menurun menjadi setara dengan kelompok negara yang berpenghasilan menengah.

Sekarang, sejumlah negara Eropa kecuali Jerman, Turki, Belanda, dan Belgia sedang menghadapi masalah yang sama. Problem terberat memang dihadapi oleh kelompok Gipsy (Greece, Ireland, Portugal, Spain, dan Italy) yang memiliki tingkat utang yang terlampau tinggi, pengangguran yang semakin melambung, dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Ada beberapa hal yang membuat kita percaya bahwa krisis di Eropa masih akan berlangsung sangat lama, dan bahkan sangat mungkin mereka mengalami the lost decade yang lebih parah dibandingkan Amerika Latin.

Masalah pertama adalah mandulnya kebijakan moneter terutama di kawasan yang mengadopsi euro sebagai mata uang tunggal (Eurozone).  Di kawasan ini, praktis masing-masing 17 negara anggota tidak lagi memiliki kekuasaan untuk mendesain kebijakan moneter sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi. Persoalan intinya bisa jadi sama, yaitu krisis utang, tetapi masalah ikutannya relatif berbeda. 

Irlandia mengalami krisis utang akibat harus melakukan bail out terhadap sektor perbankan. Persoalan Yunani lebih diakibatkan oleh terlalu borosnya pengeluaran pemerintah dalam memberi tunjangan sosial. Kebijakan moneter seharusnya disesuaikan dengan masalah yang dihadapi di setiap negara. Tetapi, itu tidak bisa dilakukan karena mereka telah kehilangan kekuasaan untuk menentukan kebijakan moneter.

Selain itu, mata uang euro tidak mungkin didevaluasi secara besar-besaran supaya kelompok Gipsy dapat memperbaiki sektor riil sehingga memiliki daya saing. Kebijakan seperti ini justru akan lebih menguntungkan Jerman yang memiliki sektor manufaktur yang sangat kuat dan responsif. Selain itu, masalah yang dihadapi oleh Amerika Serikat akan semakin berat karena daya saingnya akan turun kembali.

Masalah kedua adalah kebijakan fiskal ekstraketat yang justru akan lebih memperparah situasi sosial ekonomi. Pemotongan gaji, tunjangan sosial, dan subsidi serta menunda belanja infrastruktur merupakan salah satu cara untuk memperbesar ruang fiskal supaya utang dapat terbayar. Namun, itu juga berarti bahwa perekonomian tidak dapat diselamatkan melalui kebijakan fiskal yang ekspansif.  Negara-negara, seperti Yunani dan Italia, harus melakukan pengetatan fiskal selama 10 sampai 15 tahun ke depan agar terjadi konsolidasi fiskal yang memungkinkan mereka mencapai batas utang yang relatif aman.

Masalah ketiga adalah pengangguran yang semakin tak tertahankan. Dengan lesunya perekonomian, PHK merupakan sebuah cara agar perusahaan tetap dapat bertahan. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana ketahanan sosial yang sangat individualistis akan mampu menyangga ketegangan sosial yang diakibatkan pengangguran. Demo, kriminalitas, dan penjarahan bukanlah pemandangan yang tak lazim sekarang ini di Eropa. Semakin lama terjadi pengangguran massal, semakin hilang ikatan-ikatan sosial, dan dengan demikian ledakan krisis sosial tinggal menunggu waktu saja.

Masalah keempat adalah struktur penduduk yang semakin menua (ageing population).Sedangkan perekonomian membutuhkan tenaga-tenaga produktif untuk bangkit, yang tersedia justru adalah para lansia. Karena itu, dalam jangka panjang Eropa akan sangat sulit bangkit perekonomiannya.

Masalah yang kelima adalah tatanan demokrasi yang tak cukup lentur untuk dapat memecahkan masalah secara cepat. Alih-alih dapat memecahkan masalah, sistem demokrasi parlementer gaya Eropa justru mengalami krisis. Krisis politik yang paling mutakhir terjadi di Yunani dan Italia menyebabkan perdana menteri di kedua negara tersebut harus mundur. Krisis keuangan telah memicu krisis politik.

Krisis yang terjadi di Eropa telah menjadi krisis multidimensional yang terdiri atas krisis ekonomi, sosial, dan politik. Kita sendiri telah memiliki pengalaman yang sangat pahit menghadapi masalah seperti ini sehingga paling lamban keluar dari krisis. Luka akibat krisis masih kita rasakan sekarang.

Eropa, seperti halnya pernah dialami oleh Amerika Latin dan kita, tampaknya masih akan menghadapi masalah-masalah yang semakin pelik dalam beberapa waktu ke depan. Pertanyaannya, apakah ikatan-ikatan sosial dan nilai-nilai masyarakat Eropa akan mampu menghadapi ujian berat tersebut. Kalau tidak, yang mungkin kita akan saksikan adalah kerusuhan sosial yang semakin sulit untuk diatasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar