Gaya Hidup Konsumtif
Benny Susetyo, PEMERHATI SOSIAL, SEKRETARIS EKSEKUTIF KOMISI HAK PGI
Sumber : SINDO, 3 Desember 2011
Puluhan orang terjepit dan pingsan akibat saling berdesakan saat antre mendapatkan BlackBerry murah di pusat perbelanjaan Pacific Place, Jakarta (25/11).
Ribuan orang rela antre sejak malam hari. Orang rela mendapatkan barang mewah dengan harga murah. Mereka berebut memiliki BlackBerry, sebuah barang yang kini bukan saja merupakan alat memperlancar komunikasi, melainkan juga merupakan simbol kemewahan kelas.
Masyarakat Konsumtif
Fenomena ini merupakan gambaran gaya hidup masyarakat urban. “Saya membeli maka saya ada.” Status sosial seseorang ditandai dari kemampuannya memiliki produk- produk baru dan mewah. Seseorang akan merasa diri bukan bagian dari ‘modern’ bila melewatkan hiruk-pikuk kepemilikan teknologi modern sebab status sosial itulah yang penting dan harus dikejar. Eksistensi manusia diukur sejauh mana ia mampu membeli.
Kehidupan dikendalikan oleh mereka yang mampu mendikte atas apa saja yang harus dibeli. Kapitalisme tidak akan berhenti mengajari mode.Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup dan produk-produk yang membuat kehidupan lebih instan, mudah, dan menyenangkan.Iklan produk-produk terbaru begitu piawai membujuk konsumen untuk menjadi bagian terpenting dalam kehidupan.Semua menawarkan janji surga kenikmatan yang tidak akan didapatkan tanpa memiliki apa yang mereka tawarkan.
Inilah yang membuat orang akan melakukan cara apa saja tanpa memedulikan etika untuk memperoleh apa yang diinginkan.Semua dilakukan demi mewujudkan janji muluk kapitalisme dengan produkproduk yang mempermudah kehidupan. Masyarakat semakin dikendalikan oleh budaya konsumerisme. Tiada hari tanpa berbelanja dan membeli. Masyarakat pun semakin sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Konsumerisme mengajarkan agar semua ‘keinginan’ dipandang sebagai ‘kebutuhan’ yang harus dipenuhi. Kenyataan hidup seharihari dipenuhi dengan iklan yang penuh bujuk rayu.
Iklan datang bukan saja di ruang publik, melainkan juga masuk ke ruang-ruang privat individu. Tidak peduli siang dan malam. Berbagai barang baru siap ditawarkan dan didesakkan sedemikian rupa agar dimiliki dan dinikmati. Nilai-nilai yang ditawarkan kerapkali membuat pertahanan hidup kita tak berdaya akibat rayuan serta jebakan hedonisme. Materialisme membuat manusia terasing dari realitas. Tak jarang karena kesibukan mengejar materi belaka, kita kehilangan solidaritas dan memudarnya aspek kemanusiaan.
Di tengah dunia yang sibuk dengan segala urusan komersialisme dan memberikan penekanan yang sangat berat pada materialisme, kita digugah agar menyadari bahwa manusia bukan semata-mata sebagai alat produksi. Manusia hidup bukan hanya untuk kepentingan materi,yang kerap menjadikan manusia bermusuhan satu sama lain.Manusia hidup juga tidak hanya untuk dirinya sendiri dan memupuk keserakahan individualnya.
Budaya Instan
Kompetisi ekonomi yang semakin sengit memacu orang untuk melakukan tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan. Meningkatnya kriminalitas merupakan pertanda dari semakin permisifnya perilaku yang membolehkan segala cara. Orang terpancing dan terjebak untuk melakukan tindakantindakan di luar batas kemanusiaan, demi mengejar pemenuhan ‘keinginan’ yang sudah menjadi ‘kebutuhan’.
Dalam konteks globalisasi pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat pancaindra. Pilihan ini bukan digerakkan daya nalar yang sehat, melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan indrawi belaka. Media iklan yang begitu dahsyat kerapkali membuat mata kita tidak lagi awas. Ini menciptakan mentalitas konsumtif. Fenomena ini sekarang membudaya pada bangsa ini. Semua serbainstan. Budaya instan alias siap saji membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Di tengah karut-marut persoalan sosial bangsa, kita justru tidak memperoleh teladan dari elite.
Mereka yang ada di Senayan berlomba-lomba menjadi pemimpin sikap hidup individualis. Bukan teladan hidup sederhana, melainkan kemewahan. Begitu pula para pejabatnya. Seolah hilang keabsahan mereka sebagai elite bila tidak hidup dalam kemewahan. Hal ini menciptakan masyarakat tidak produktif karena gaya hidup menjadi bagian status sosial sehingga masyarakat berbudaya konsumtif. Gaya hidup seperti membuat biaya hidup menjadi tinggi karena masyarakat tidak tahu lagi mana yang penting dan urgen dalam hidup.
Dibutuhkan sebuah kesadaran baru akan pentingnya pendidikan nilai-nilai mengedepankan solidaritas dan kesetiakawanan agar pola hidup konsumerisme tidak menjadi gaya hidup masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar