Hasrat
Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 3 Desember 2011
Sigmund Freud-lah yang berjasa menemukan bagian bawah sadar manusia sebagai penentu gerak hidupnya melalui “psikoanalisis”.
Dia membalikkan pada zamannya apa yang dulu dipersepsikan sebagai penentu tindakan dan laku manusia yaitu “kesadaran”.Persepsi itu menjadi terbalik manakala dibaca bahwa “yang terpendam dalam bawah sadar manusia” itulah yang tanpa sadar menjadi motor gerak dan laku manusia. Di sana bersemayam secara menggelegak “hasrat” yang secara khusus dalam terminologi Freud ditunjuk sebagai “libido”. Karena itu pulalah Freud mampu menampilkan bagaimana orang-orang yang bawah sadarnya mengalami trauma, hasrat-hasrat yang direpresi melalui analisis psikologi “disehatkan” dengan metode asosiasi bebas.
Pasien bebas mengeluarkan net-uneg dan pengalaman ketaksadarannya untuk diangkat ke kesadaran dan diakui adanya meski seluka sedalam apa pun. Intinya, kesadaran manusia dilatih menerimanya dan mengiyakannya untuk menyikapi dalam hidup nyata. Untuk Freud, susunan kepribadian orang memiliki trimatra yaitu “ego”, sebagai penentu dan pengontrol apakah “hasrat” dari ID (kawah libido dan hasrat naluri seksual manusia) akan dipenuhi atau tidak dengan prinsip realitas. Sedangkan introjeksi, pembatinan norma-norma atau apa yang dilarang dan yang diperbolehkan sebagai moral dihunjamkan ke anak sebelum akil balik terutama masa umur 1-5 tahun pertama tanpa bisa menolak.
Ia mengintrojeksi semua larangan-larangan itu ke bawah sadarnya sampai dia nanti bisa mulai mengolahnya saat sudah berumur dewasa. Jadi tiga kata kunci dalam struktur pribadi manusia menurut Freud adalah ego; lalu super-ego,dan ID. Contoh paling menarik bagaimana hasrat ID muncul dalam keinginan untuk minum karena haus, ketika super-ego pendidikan sudah merasuk di kelas, meski ada minuman di meja guru, si anak tidak akan maju ke depan untuk mengambilnya, lalu serta merta meminumnya. Super-ego-lah yang melarangnya memenuhi hasrat minum itu.
Dalam perkembangan psikoanalisis ini oleh muridmuridnya, CG Jung atau Erich Fromm, mencoba menerapkannya di ranah sosial politik semisal penamaan “trauma tiap bangsa dengan wajah kekerasannya karena dipendamnya hasrat” dalam istilah “shadow”. Di kita serupa dengan “amuk massal”yang sama sumber “shadow”-nya dengan “kekejaman Hitler dengan rezimnya” sampai tega membunuh sesamanya demi pemurnian ras.
Kuasa
Pengembangan psikoanalisis Freud menjadi bertambah menarik ketika hasrat diwajahkan tampilnya dalam hasrat untuk berkuasa atau untuk menguasai. Frederich Nietzsche-lah yang dengan dahsyat memaparnya dalam the Will to Power.Hasrat untuk terus berkuasa atau mau berkuasa itu dimiliki setiap orang, yang membedakannya adalah apakah ia punya kesempatan untuk menyatakan dan mewujudkannya serta timing.
Di dekade kita,hasrat untuk berkuasa ini dipersepsikan bisa lebih cepat mewujud gelegaknya bila punya 3 M, yaitu money,media,dan mass. Karena itu, Niccolo Machiavelli dalam buku praksis kekuasaan berjudul Il Principe (The Prince) menyarankan begitu hasrat ada di tangan sang penguasa untuk menimbunnya dan mengawetkannya sang penguasa harus “kejam”,otoriter, berani menggunakan segala cara untuk mewujudkan tujuan.
Cerminan buku Machiavelli ini adalah persaingan dan rebutan kuasa di Italia atau Eropa abad pertengahan. Namun, dengan buku itu serta nama besar Machiavelli, sampai hari ini ia menjadi cermin besar betapa di abad ini rebutan kekuasaan yang bersumber dari hasrat kekuasaan itu terus hidup, berebut, bersaing dengan sarana- sarana pengawetnya dan senjata pamungkasnya melalui media cetak, digital, maupun visual; lalu melalui uang serta massa rakyat yang tiap kali bisa kita lihat menjelang pemilu dalam upayaupaya mobilisasi dan politik jual beli suaranya.
Kontrol
Dari paparan di atas nyata bahwa hasrat itu irasional; ia sesaudara dengan nafsu(desire). Maka dari itu, hasrat kuasa hanya akan dikontrol oleh kesadaran ego di individu dengan kesadaran budi dan nuraninya. Maka dari itu pula, pertarungan hasrat berkuasa yang sudah membunuh sesama manusia dalam kekejaman perang dunia dua kali PD I dan PD II, akhirnya oleh bangsa-bangsa yang ego budi sehatnya dan nuraninya belajar dari sejarah kelam hancurnya kemanusiaan dirumuskanlah counter culture kesadarannya.
Bentuknya dengan kesepakatan deklarasi bangsa-bangsa untuk melindungi yang paling berharga dari manusia yaitu “harkatnya” dengan Deklarasi HAM Universal pada 10 Desember 1948. Bayangkan baru setelah seribu sembilan ratus empat puluh delapan tahun orang sampai ke kesadaran matang untuk mengontrol hasrat berkuasa yang bisa saling membunuh sesama. Perkembangan berikutnya, kontrol terhadap hasrat kuasa ini harus dibuat sistem dengan membagi kuasa ini dalam tiga besar untuk bisa saling mengontrol agar tidak absolut,yaitu kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Inilah kemenangan peradaban, sebuah perjuangan membuat umat manusia beradab dengan mengontrol hasrat kuasanya agar tidak biadab dengan membaginya sebagai sistem. Lihatlah, makna sistem memang merupakan pengaturan rasional untuk hasrat-hasrat naluriah. Sistemadalah arationalordering of something. Ketika Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya oleh para pendiri bangsa ia dirancang dengan jelas dan jernih untuk mengatur gelegak hasrat kuasa ini dalam sebuah sistem bernegara hukum. Semua warga sama derajat dan harkat kedudukannya di depan hukum.
Saat berkonflik hukumlah penyelesainya dan sistem demokrasi dengan tiga lembaga saling mengontrol praksis kekuasaan yaitu legislatif, yudikatif,dan eksekutif. Kini terhampar di depan mata telanjang kita dan terbentang di panggung negara Indonesia gaduh riuh politik persaingan hasrat-hasrat kuasa dan rebutan kuasa yang tega mengorbankan cita-cita bernegara yaitu sejahteranya rakyat banyak. Sebenarnya di renung nurani dan budi bangsa ini harus muncul gugatan “sudah hilangkah akal sehat atau rasionalitas bangsa ini?” Justru dalam suasana sukar saling mempercayai sesama warga, pertanyaan ini mesti muncul: sejak kapankah hilang trustdan kepedulian hati?
Padahal di zaman perjuangan merdeka dalam kemiskinan total dan menyatunya kesukarelaan berkorban apa saja termasuk nyawa gelegak hasrat untuk merdeka dari penjajahan menjadi sumbu gerak perjuangan bahkan setelah terwujud disyukuri bahwa “kemerdekaan adalah berkat rahmat-Nya, rahmat Tuhan, dan adalah hak setiap bangsa”. Jadi, sudah semakin jelas inti soalnya,yaitu ketika kita meninggalkan jalan peradab-an dengan cara melampiaskan hasrat naluri kuasa kita yang tidak akan pernah terpuasi (lantaran itu adalah libido ID) dan tidak berani lagi untuk mengontrolnya dengan “kesadaran akal sehat dan nurani jernih” maka kita berada di lampu kuning jalan sejarah beradab kita.
Sebab,visi“mencerdaskan kehidupan bangsa”rangkuman dahsyat cita-cita membangsa dan menegara RI para pendiri bangsa sejak awal memuat tugas pendidikan budi cerdas dan nurani jernihnya manusiamanusia Indonesia untuk jalan panjang menapaki kehidupan berbangsa. Dan hanya bila manusia Indonesia cerdas budinya dan jernih nuraninya, mereka akan mampu membuat sistem-sistem hidup bersama yang lebih beradab dan lebih sejahtera dalam bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar