Selasa, 01 November 2011

Kapital Intelektual


Kapital Intelektual
Satryo Soemantri Brojonegoro, GURU BESAR ITB
Sumber : KOMPAS, 01 November 2011



Akhir-akhir ini ramai dipersoalkan mengenai remunerasi peneliti utama atau peneliti senior (penulis belum menggunakan istilah profesor riset) yang lebih rendah daripada guru sekolah dasar.
Pembandingan juga dilakukan di mana penghasilan guru besar di perguruan tinggi jauh melebihi peneliti utama. Belum lagi jika dibandingkan dengan peneliti di negara maju, remunerasi peneliti kita tampak semakin kecil.
Profesor riset, nomenklatur yang digunakan oleh peneliti yang telah mencapai tingkatan tertinggi, sejujurnya merupakan sebutan yang dipaksakan dalam sistem jabatan fungsional di pemerintahan ini. Nomenklatur tersebut sengaja dibuat supaya peneliti memperoleh tunjangan tambahan yang setara dengan tunjangan guru besar di perguruan tinggi.

Tunjangan guru besar telah lama ada dalam sistem penganggaran pemerintah, sedangkan tunjangan profesor riset baru diadakan sejak tahun 2005. Sebenarnya, bagi peneliti sudah ada tunjangan ahli peneliti utama untuk mereka yang mencapai tingkatan tertinggi dalam bidang penelitian, tetapi besarannya lebih kecil daripada tunjangan guru besar. Itulah sebabnya nomenklatur profesor riset diadakan.

Profesor riset dan guru SD

Ternyata meskipun sudah ada profesor riset, pendapatan para peneliti masih rendah, bahkan lebih rendah daripada guru SD. Pembandingan ini mudah-mudahan tidak mengganggu para guru SD yang berdedikasi tinggi karena terkesan bahwa guru SD lebih rendah statusnya daripada para peneliti, di mana peneliti tidak dapat menerima kenyataan bahwa pendapatannya di bawah guru SD.

Keliru sekali apabila peneliti dibandingkan dengan guru SD ataupun dengan guru besar di perguruan tinggi. Kita tidak selayaknya membandingkan profesi tertentu dengan profesi lainnya karena sejatinya tidak ada profesi yang lebih rendah atau lebih tinggi statusnya. Setiap profesi mempunyai ruang lingkup dan tanggung jawab cakupannya masing-masing. Setiap profesi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat dan negara.

Pemahaman masyarakat terhadap profesi peneliti juga belum utuh. Pemerintah pun bahkan belum seutuhnya paham mengenai profesi peneliti sehingga cara pemberian remunerasinya disamakan dengan struktur gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) pada umumnya. Memang itu cara yang paling mudah dan aman bagi pemerintah. Selain sesuai dengan undang-undang yang berlaku, juga mudah diaudit oleh pemeriksa.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sistem penggajian PNS tidak mengenal prestasi dan kinerja. Artinya, profesi apa pun akan sama gajinya selama golongannya sama. Selain itu, dalam sistem ini mereka yang rajin dan berprestasi juga mendapatkan gaji yang sama dengan mereka yang malas dan tanpa kinerja asalkan golongannya sama.

Pendek kata, sistem penggajian PNS sangat melemahkan peningkatan kinerja birokrasi dan tidak mendorong orang untuk menekuni profesinya, tetapi mendorong orang untuk mencari jabatan dalam rangka naik golongan. Selama pemerintah masih menggunakan sistem penggajian yang ada selama ini, persoalan disparitas penghasilan akan selalu ada dan tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu pula, para PNS akan selalu mengeluh dan protes karena pendapatannya rendah, termasuk para peneliti di lembaga pemerintah.

Penataan remunerasi

Reformasi harus dilakukan dalam penataan besaran remunerasi untuk setiap profesi yang ada di negara ini. Penetapan remunerasi tak semata-mata didasarkan pada kebutuhan pasar, tetapi harus didasarkan pada kemampuan profesi yang mumpuni.

Sangat tidak etis apabila peneliti dipersalahkan karena hasil penelitiannya hanya dalam bentuk publikasi dan tidak dapat digunakan oleh industri, bahkan peneliti disalahkan karena meneliti hanya untuk minatnya, lalu pemerintah terkesan membiarkan rendahnya remunerasi peneliti. Bahkan, perhatian pemerintah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat rendah tanpa ada kenaikan yang signifikan.
Pemerintah memang kurang peduli atau belum peduli terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sebaliknya sangat peduli terhadap ekonomi dan keuangan. Padahal, negara akan maju jika peduli terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena diyakini sebagai motor penggerak kemajuan.

Bagaimana menata sistem yang tak menganggap peneliti lebih tinggi daripada guru SD? Bagaimana menata sistem yang tak menyalahkan peneliti yang hasilnya hanya berupa publikasi dan tak digunakan oleh industri?
Perlu ada konsep yang mampu menghitung atau menilai kapital intelektual yang terkandung dalam setiap individu ataupun institusi tempat individu tersebut bernaung. Besaran kapital intelektual itu kemudian digunakan untuk menakar kelayakan remunerasi, baik bagi institusi maupun individunya.

Dengan cara ini, remunerasi akan menjadi layak, terlepas dari apa pun profesinya; bisa lebih tinggi atau lebih rendah, bergantung pada kapital intelektualnya dan bukan karena status atau status sosialnya. Kapital intelektual tidak semata-mata ditera berdasarkan IQ atau intelegensinya, tetapi berdasarkan potensi menyeluruh yang ada dalam diri individu bersangkutan. Kapital intelektual akan memberikan nilai tambah sehingga kapital intelektual tersebut seyogianya terus ditingkatkan melalui pengembangan.

Dengan kapital intelektual, setiap profesi mempunyai takaran masing-masing sehingga tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi statusnya. Dengan kapital intelektual, peneliti tidak akan disalahkan karena hanya menghasilkan publikasi, bahkan akan dihargai meskipun belum ada hasil penelitiannya. Penelitian tidak selalu berhasil. Peraih Hadiah Nobel sekalipun baru berhasil setelah selama sekian tahun mengalami kegagalan.

Penganggaran lembaga riset ataupun perguruan tinggi, termasuk SD, akan memadai dan layak jika didasarkan kepada kapital intelektual yang dimiliki institusinya. Dengan demikian, pemborosan anggaran pemerintah dapat diminimalkan karena semua institusi mendapatkan anggaran yang proporsional.

Kapital intelektual merupakan tolok ukur potensi dan kinerja sekaligus sebagai tolok ukur audit oleh publik. Reformasi sistem remunerasi di semua lini, termasuk di pemerintah, seyogianya mengacu kepada kapital intelektual sehingga asa keadilan pun bisa tercapai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar