Kamis, 27 Oktober 2011

Selamat(kan) Jalan KPK (2)


Selamat(kan) Jalan KPK (2)
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA, UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
Sumber : SINDO, 28 Oktober 2011





Sebagai sebuah lembaga yang diberi posisi extraordinary dalam desain pemberantasan korupsi, waktu- waktu terakhir memperlihatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) benar-benar berada dalam ancaman serius.

Melacak perkembangan yang ada, ancaman terbesar dan yang paling serius terhadap KPK datang dari manuver sejumlah elite politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang hendak memakai kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 untuk “membunuh” KPK. Cara yang akan digunakan, mengkaji kembali eksistensi KPK dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU No 30/2002).

Upaya “membunuh” KPK dilakukan dengan langkah sistematis.Salah satu upaya tersebut adalah konsisten membangun opini bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Dengan cara pandang demikian, KPK sulit bekerja dengan nyaman menghadapi laju praktik korupsi yang kian masif.

Tidak hanya itu, dalam rentang waktu tiga tahun terakhir, ibarat seorang petinju, KPK lebih banyak bertahan di pojok ring sembari memang double cover untuk menghadapi serangan pihak-pihak yang dirugikan dengan sepak terjang KPK.

Terkait dengan hal ini, dalam Selamat(kan) Jalan KPK (SINDO, 10/6-2010), dikemukakan bagaimana gelombang badai dahsyat melanda KPK, terutama sejak Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnain. Setelah kejadian itu,KPK hampir selalu berada dalam posisi sulit.

Bukan Ad hoc

Sepanjang kehadirannya, KPK acap disebut sebagai lembaga yang bersifat sementara (ad hoc). Sebutan itu semakin berembus kencang terutama setelah KPK mampu membuktikan diri sebagai lembaga pemberantas tindak korupsi yang berbeda dengan jaksa dan polisi.

Dari catatan yang ada, KPK mampu menguak skandal-skandal korupsi yang berada di lingkaran lembaga negara seperti DPR, pejabat tinggi negara (baik di tingkat pusat maupun daerah), kekuasaan kehakiman, dan para penegak hukum yang lainnya. Karena sepak terjang tersebut, sebutan sebagai lembaga ad hoc kian menggema.

Celakanya, suara-suara seperti itu lebih sering terdengar di lingkungan DPR. Dalam berbagai perspektif, pendapat yang mengatakan KPK sebagai lembaga ad hoc dapat dikatakan sangat lemah.

Pertama, secara hukum tidak ditemukan satu pun kalimat termasuk frasa dalam UU No 30/2002 yang menyebutkan bahwa KPK sebagai lembaga ad hoc. Barangkali, alasan untuk mengatakan KPK sebagai lembaga ad hoc muncul atas pemahaman terhadap Konsiderans Menimbang huruf c UU No 30/2002, yang secara eksplisit menyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Apabila menggunakan basis argumentasi itu,pemahaman demikian sulit dibenarkan karena Penjelasan UU No 30/2002 mengatakan bahwa pemberantasan korupsi dengan cara luar biasa dengan membentuk lembaga khusus yang independen memerlukan kesinambungan.

Boleh jadi, karena memahami pesan yang ada di balik penjelasan itu, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin menyatakan penyebutan KPK sebagai lembaga ad hoc tidak berdasar. Dalam pandangan Saefuddin, korupsi perlu diberantas secara permanen karenanya perlu lembaga antikorupsi yang permanen.

Kedua, sebagai lembaga independen, KPK diperlukan untuk meningkatkan Corruption Perception Index (IPK) Indonesia. Merujuk data Transparansi Internasional Indonesia, dalam rentang 1999–2003 nilai IPK Indonesia tidak pernah bergerak dalam angka 1,9. Namun sejak kehadiran KPK sampai 2010, Indonesia mengalami peningkatan IPK menjadi 2,8. Sekiranya dibandingkan negara tetangga, misalnya Singapura (9,3), IPK Indonesia sangat jauh tertinggal.

 Ketiga, pengalaman Hong Kong,Thailand, China, Malaysia yang juga berupaya keras keluar dari ancaman korupsi, tidak menempatkan komisi seperti KPK sebagai lembaga ad hoc. Begitu pentingnya komisi khusus, Thailand menempatkan lembaga semacam KPK sampai ke level konstitusi.

Buktinya, Pasal 247–251 Konstitusi Thailand 2007 menghadirkan lembaga independen yang disebut The National Counter Corruption Commission. Dengan posisi IPK Thailand yang berada di atas Indonesia (yaitu 3,5), Indonesia pasti lebih memerlukan lembaga independen yang permanen untuk memberantas korupsi.

Menyelamatkan KPK

Selain masalah isu ad hoc tersebut,dalam upaya melakukan revisi terhadap UU No 30/2002, sejumlah pihak di Komisi III DPR berupaya membangun jalan melingkar untuk membenarkan langkah revisi tersebut.Salah satu alasan yang sering dimunculkan, dengan perubahan segera dapat diwujudkan upaya KPK guna memiliki penyidik sendiri.

Untungnya, argumentasi begitu dibantah langsung Ketua KPK Busyro Muqoddas yang mengatakan bahwa tanpa revisi UU No 30/2002 perekrutan penyidik oleh KPK dapat dilakukan (SINDO,27/10). Lalu, ada juga gagasan untuk memberikan ruang kepada KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Gagasan ini terasa seperti hendak melengkapi instrumen yang seharusnya dimiliki KPK. Namun,disadari atau tidak, gagasan memberikan wewenang untuk menerbitkan SP3 berpotensi meluruhkan posisi KPK sebagai lembaga yang extraordinary dalam memberantas korupsi. Tidak hanya itu,apabila wewenang menerbitkan SP3 direalisasikan, problem akut yang sering terjadi di polisi dan jaksa sangat mungkin terjadi di KPK.

Sebetulnya, sekiranya ada niat untuk menyelamatkan dan sekaligus memperkuat KPK, tidak perlu melakukan revisi atas UU No 30/2002. Selain memang belum ada alasan yang kuat untuk merevisi, suasana yang terjadi saat ini di DPR sangat berpotensi merusak KPK sebagai lembaga yang extraordinary dalam memberantas korupsi.

Jika tetap diteruskan, yang terjadi bukan langkah penyelamatan KPK,melainkan menjadi langkah awal untuk mengucapkan selamat jalan kepada KPK.●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar