Kamis, 27 Oktober 2011

Bahasa Ingkari Sumpah


Bahasa Ingkari Sumpah
Acep Iwan Saidi, KETUA FORUM STUDI KEBUDAYAAN, FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN, ITB BANDUNG
Sumber : KOMPAS, 28 Oktober 2011




Delapan puluh tiga tahun lalu, pada 28 Oktober 1928, sumpah itu diucapkan. Lagu ”Indonesia Raya” juga untuk pertama kali dikumandangkan penciptanya, WR Supratman. Itulah yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, yang awalnya—sebagaimana disebut Muhammad Yamin—bertajuk ”Soempah Jang Tiga”.

Demikian bunyi aslinya.

Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah Darah jang satoe, Tanah Indonesia.

Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa Jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng Bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Hilangnya teks bersama

Sengaja saya kutip dalam ejaan asli dengan maksud kita dapat menangkap auranya. Ini penting sebab sumpah yang dirayakan tiap tahun itu telah lama kehilangan daya magis. Kita menyikapinya seperti menonton foto lukisan pelukis besar, bukan lukisan aslinya.

Di samping merupakan representasi nasionalisme yang membuncah dari pemuda pejuang saat diikrarkan, Sumpah Pemuda juga merupakan peristiwa budaya yang dijelmakan melalui bahasa, sebuah teks bersama.
Teks bersama adalah medan tempat seluruh kepentingan individu dilucuti. Dalam hal ini, yang dilucuti itu adalah ego etnisitas. Kita tahu melalui catatan sejarah bahwa para pelibat sumpah adalah mereka yang datang dari berbagai pelosok Nusantara.

Artikulasi pelucutan kepentingan tersebut, saya pikir, diniscayakan oleh ikrar ketiga: bahasa yang dianggap mampu mewadahi seluruh ekspresi. Bahasa Indonesia saat itu diyakini oleh para pencetusnya sebagai ruang bagi keberagaman karakter etnisitas sedemikian.

Di dalamnya terdapat pengandaian sekaligus pesan bahwa, dalam perjalanannya ke depan, bahasa Indonesia harus diurus atas nama dan untuk kepentingan keberagaman tersebut.

Namun, di situlah kemudian kita temukan masalahnya. Bahasa Indonesia dipaksa menulis sejarahnya sendiri. Ia terus-menerus digiring dari titik pusat sejarah yang dicatat tahun 1928 itu. Ia tidak lagi menjadi ruang yang bagus bagi ekspresi bersama.

Jika Anda menulis kalimat, ”Rumahnya Pak Nazaruddin sama mewahnya dengan rumahnya Pak Gayus”, Anda akan divonis bersalah bukan karena menyebut dua penjahat kerah putih pada kalimat Anda, melainkan karena -nya pada kalimat itu dianggap sebagai pengaruh bahasa daerah, yakni Jawa (omahe) atau Sunda (bumina). Bayangkan, bagaimana bisa karakteristik budaya sendiri diharamkan dan keberagaman karakter bangsa dinafikan.

Baiklah, perubahan poetra menjadi putra, mendjoendjoeng menjadi menjunjung, satoe menjadi satu, dan seterusnya pada teks Sumpah Pemuda—juga seluruh bangun struktur bahasa Indonesia kemudian—kita terima sebagai perubahan positif demi kemangkusan dan demi rasionalitas. Namun, hendaknya juga diingat bahwa ejaan oe bukan semata-mata persoalan u (lama), melainkan juga permasalahan kebudayaan.

Di setiap huruf, suku kata, kata, kalimat, dan seterusnya terdapat karakteristik budaya yang tidak bisa dianggap remeh. Sekali disikapi demikian, pada saat itu pula penuturnya akan kehilangan karakter.
Lebih jauh perlu disampaikan di sini bahwa modernisasi bahasa mesti disikapi dengan hati-hati. Bahasa Indonesia tidak bisa dirasionalisasi secara membabi buta.

Kita malah justru harus menyadari bahwa modernisme adalah proyek hegemoni dan dominasi yang, dalam berbagai bidang kehidupan, telah menyebabkan kita ”kehilangan identitas”.

Bahasa kebudayaan

Sesungguhnya telah banyak yang menyampaikan soal ini dalam berbagai forum.

Namun, sejauh yang saya amati, para pemilik otoritas dalam pengelolaan bahasa tampak tidak memiliki kesadaran demikian. Terdapat ambisi ilmu pengetahuan yang ”sulit diredam” sehingga di institusi bahasa yang melibatkan para ilmuwan, bahasa Indonesia terus-menerus dirumuskan melalui persandingannya dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris.

Riset-riset mahasiswa dalam berbagai strata juga cenderung mengarah ke wilayah yang dianggap memiliki martabat tertentu dalam wacana ilmu pengetahuan. Seperti ada sebuah keyakinan bahwa merumuskan bahasa Indonesia dengan istilah-istilah asing adalah cara mengangkat harkat bahasa Indonesia di tingkat global. Beberapa pihak bahkan memiliki ”kegenitan” tersendiri, yakni ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Atas hal tersebut, kita tentu segera bisa bertanya: bagaimana mungkin sebuah bahasa bisa menjadi media ilmu pengetahuan jika bahasanya sendiri telah kehilangan karakter. Bahasa bukanlah sesuatu yang hadir tanpa sejarah. Ia tidak bisa disterilisasi dari realitas yang menjadi referennya sebagaimana dilakukan kaum strukturalis.

Artinya, untuk dapat menjadi bahasa ilmu pengetahuan, yang pertama mesti digalakkan adalah membangun gairah riset demi terciptanya ”komunitas ilmu pengetahuan” itu sendiri. Interaksi dalam ranah ilmu pengetahuan itulah yang meniscayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Memindahkan ilmu pengetahuan ke dalam bahasa dengan menyandingluruskannya dengan istilah alih teknologi hanyalah sebuah modus pengalihan dari ilmuwan yang tidak berdaya, yang kehilangan subyek bahasanya.

Barangkali kita masih bisa menerima bahwa kehendak untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan tersebut sebagai cita-cita mulia, tetapi hal itu jangan sampai melupakan potensi diri sendiri.

Pada hemat saya, potensi bahasa Indonesia ada pada wilayah budaya. Bahasa Indonesia adalah bahasa kebudayaan. Hanya dengan menyelisik ke dalam dan membangun dari dalam (kebudayaan), martabat bahasa Indonesia akan ”bergema” di luar dalam pergaulan global.

Tragedi berbangsa

Namun, fakta hari ini justru menunjukkan hal sebaliknya. Alih-alih membangun dari dalam sehingga tercipta karakteristik bahasa sekaligus budaya di tingkat global sedemikian, bahasa Indonesia yang telah disempurnakan (EYD) dan terus-menerus dirasionalisasi itu diam-diam telah menjadikan penuturnya tidak percaya diri.

Lihatlah, misalnya, dalam banyak pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu menambahkan kata-kata asing untuk menegaskan uraian tertentu. Pak SBY bahkan pernah menerbitkan buku dengan judul yang keren, yaitu Transforming Indonesia dan Indonesia on the Move.

Apakah ini sebuah tragedi yang lain bangsa ini?

Barangkali, untuk sebuah karakter, juga untuk nasionalisme, kita mesti kembali bersumpah, tentu untuk tidak diingkari!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar